Dua Sisi Biaya Penanggulangan Wabah Korona
Inilah pengalaman baru pengelolaan anggaran bencana bagi hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa faktor non-alam bisa menjadi bencana wabah yang memerlukan biaya besar.
Kerugian akibat bencana alam yang kerap terjadi di seluruh pelosok Indonesia belum pernah mencapai nilai sebesar bencana kesehatan wabah Covid-19. Dana cadangan bencana alam yang dianggarkan pemerintah pusat berkisar Rp 3 triliun-Rp 5 triliun per tahun seolah tiada artinya apabila disandingkan dengan anggaran pencegahan wabah Korona yang mencapai ratusan triliun rupiah.
Pada tahun 2009-2018, Indonesia rata-rata terjadi sekitar 2.000 bencana alam yang menelan banyak korban jiwa serta kerugian harta-benda hingga Rp 22 triliun per tahun. Banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, angin ribut, kebakaran hutan, dan berbagai bencana alam lainnya silih berganti menerjang sejumlah tempat di Indonesia.
Lokasi Indonesia, yang berada pada pertemuan lempeng dunia sekaligus berbentuk kepulauan, menyebabkan semua bencana alam bagaikan siklus rutin yang selalu terjadi setiap saat. Wilayah daratan, pegunungan, hingga lautan menyimpan semua potensi bencana alam.
Pada tahun ini, selain diintai berbagai macam bencana alam, Indonesia sedang dilanda wabah virus korona baru penyebab penyakit Covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pandemi Covid-19 yang merebak secara global sejak awal tahun 2020 ini sudah melanda 207 negara hanya dalam kurun tiga bulan. Termasuk di dalamnya Indonesia yang secara resmi mengumumkan adanya penderita positif Covid-19 sejak awal Maret lalu.
Penularan Cepat
Khusus di Indonesia, kasus penularan Covid-19 ini juga terbilang sangat cepat mirip dengan masifnya penyebaran di negara-negara lain. Sekitar sebulan sejak dua warga Kota Depok dinyatakan positif Covid-19, penderita di Indonesia kini sudah mencapai lebih dari 2.000 orang. Tingkat kematiannya mencapai 9,13 persen atau sebanyak 191 kasus. Angka itu menempatkan Indonesia di tertinggi kedua setelah Italia yang mencapai besaran 12 persen.
Menurut laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 per 4 April 2020, hampir semua provinsi di Indonesia tertular virus korona. Kecuali, Provinsi Gorontalo dan NTT yang sama sekali belum ditemukan kasus positif Covid-19 di wilayahnya.
Dari 32 provinsi yang dilaporkan terjadi penularan wabah ini, DKI Jakarta adalah daerah yang paling tinggi jumlah temuan kasusnya. Untuk sementara sampai 4 April, jumlah pasien positif Covid-19 di Jakarta mencapai 971 orang dengan tingkat kematian mencapai 9,26 persen atau 90 jiwa. Selanjutnya, disusul daerah lainnya, seperti Jawa Barat dengan jumlah kasus Korona 225 orang, Jawa Timur 155 orang, serta Jawa Tengah dan Yogyakarta yang mencapai 141 orang.
Diskripsi tersebut menunjukkan jika pusat penularan penyakit tertinggi di Indonesia saat ini berpusat di Pulau Jawa. Dengan titik pusat utamanya berada di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.
Kerugian akibat bencana alam yang kerap terjadi di seluruh pelosok Indonesia, belum pernah mencapai nilai sebesar bencana kesehatan wabah Covid-19.
Baca juga : Alasan Kenapa Covid-19 Begitu Menular
Penanganan
Pada akhir Maret lalu, tepatnya 31 Maret 2020 presiden menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Dengan terbitnya PP ini, maka menutup opsi pengajuan karantina wilayah dari seluruh daerah di Indonesia. PSBB menjadi solusi yang dipilih pemerintah pusat dalam memutus mata rantai penularan Covid-19. Tidak ada opsi yang lain untuk sementara ini.
Bersamaan dengan terbitnya PP tentang PSBB itu, Presiden Joko Widodo menginstruksikan adanya tambahan belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun. Teralokasikan untuk bidang kesehatan Rp 75 triliun, jaring pengaman sosial Rp 110 triliun, insentif perpajakan dan stimulus KUR Rp 70,1 triliun, dan pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional Rp 150 triliun.
Dari keempat sasaran alokasi itu, jaring pengaman sosial adalah kebijakan yang relatif paling terasa dampaknya secara langsung dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Terutama untuk masyarakat golongan miskin. Setidaknya akan ada enam program jaring pengaman sosial yang akan diterapkan pada masyarakat pada masa PSBB ini.
Pertama, Program Keluarga Harapan (PKH) akan dinaikkan jumlah penerimanya. Dari 9,2 juta keluarga penerima manfaat (KPM) menjadi 10 juta KPM serta menaikkan besaran nilai manfaatnya sekitar 25 persen.
Kedua, jumlah penerima kartu sembako dinaikkan menjadi 20 juta penerima manfaat dengan besaran nilai kenaikan 30 persen. Dari Rp 150.000 menjadi Rp 200.000 per bulan. Kartu sembako ini akan diberikan selama 9 bulan.
Ketiga, menaikkan anggaran prakerja dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun. Penerima manfaatnya 5,6 juta orang, terutama kalangan pekerja informal serta usaha mikro/kecil yang usahanya terdampak wabah korona. Nilai manfaatnya berkisar Rp 650.000-Rp 1 juta per bulan yang akan diberikan selama empat bulan.
Selain itu, pemerintah juga akan menggratiskan 24 juta pelanggan listrik 450 VA selama tiga bulan. Pelanggan listrik 900 VA yang jumlahnya sekitar 7 juta pelanggan juga akan diberikan keringanan 50 persen selam tiga bulan.
Program kelima, pemerintah mencadangkan Rp 25 triliun untuk operasi pasar dan logistik untuk menjaga harga kebutuhan pokok tetap terkendali. Terakhir, pemerintah berupaya memberikan keringanan pembayaran kredit bagi pekerja informal yang terdampak wabah ini untuk beberapa saat. Misalnya saja, UMKM, nelayan, sopir taksi, dan ojek yang mengandalkan penghasilannya dari usaha harian.
Semua kebijakan tersebut akan berlaku secara efektif mulai April ini. Dengan digelontorkannya dana pengaman sosial tersebut harapannya pelaksanaan PSBB dapat kian efektif setidaknya dalam tiga bulan ke depan. Kebijakan itu idealnya bisa menopang perekonomian masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah dan pekerja informal.
Baca juga : Membendung Tsunami Covid-19 di Indonesia
Mahalnya karantina
Secara biaya, kebijakan karantina memang memiliki konsekuensi anggaran yang relatif sangat besar dan membebani keuangan negara. Maklumat UU Karantina Kesehatan yang menyebutkan selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar penduduk dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Namun, untuk Indonesia hal itu relatif sangat berat untuk dijalankan. Ilustrasinya dapat terlihat dari hitungan jumlah penduduk dan besaran nilai konsumsi per kapita.
Merujuk data sosial ekonomi BPS pada Maret 2020, jumlah penduduk Indonesia diprediksi 261 juta orang dan besaran konsumsi per kapita rata-rata per bulan senilai Rp 1,17 juta. Nilai konsumsi ini dipecah menjadi dua, yakni konsumsi pangan dan nonpangan.
Khusus untuk pengeluaran konsumsi pangan, apabila di rata-rata besarannya sekitar 49 persen atau senilai Rp 572.000/kapita/bulan. Jika diasumsikan besaran dana yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan pangan selama masa karantina mengacu pada data BPS itu, kebutuhan dana tiap bulan yang harus dianggarkan pemerintah mencapai Rp 149 triliun.
Dari 34 provinsi di Indonesia, enam provinsi di Pulau Jawa merupakan pusat berkumpulnya penduduk sehingga Jawa memerlukan pasokan dana terbesar dibandingkan pulau lainnya. Sekitar Rp 86 triliun atau 57 persen anggaran per bulan khusus untuk makanan akan terserap di wilayah ini.
Khusus untuk DKI Jakarta, estimasi anggaran yang dibutuhkan tiap bulan mencapai Rp 9,1 triliun. Nilai ini sekitar 10 persen dari APBD DKI Jakarta yang pada tahun 2019 mencapai Rp 89 triliun.
Dana ini belum termasuk anggaran untuk kebutuhan pakan ternak di daerah karantina. Nilai estimasi ini jauh lebih besar dari dana jaring pengaman sosial program PSBB yang sudah dianggarkan sekitar Rp 110 triliun untuk kurun waktu setidaknya tiga bulan ke depan.
Dari estimasi penghitungan tersebut terlihat betapa besarnya anggaran dana yang diperlukan pada masa karantina hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan satu bulan saja.
Kebijakan karantina juga berisiko memicu kecemburuan sosial. Sebab, undang-undang karantina mengamanatkan bahwa bantuan dari pemerintah wajib diberikan kepada seluruh penduduk tanpa terkecuali, termasuk mereka yang mampu secara ekonomi. Semua penduduk di wilayah karantina mendapatkan bantuan yang sama baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya
Jadi, untuk masa seperti saat ini, kebijakan PSBB beserta penyiapan dana hingga Rp 400 triliun itu relatif cukup tepat. Meskipun menuai pro dan kontra, setidaknya penyiapan anggaran ini tergolong realistis dengan kondisi perekonomian Indonesia.
Pun juga dengan kondisi sosial-ekonomi dan karakter masyarakat secara luas. Tinggal pemerintah menyempurnakannya dengan disertai kontrol yang relatif ketat di lingkungan masyarakat agar kebijakan PSBB berikut alokasi anggaran yang digelontorkan tidak sia-sia. (LITBANG KOMPAS)