Covid-19, Pelajaran Berharga bagi Perencanaan Kota
Merancang kota seharusnya tak sekadar memenuhi aktivitas manusia, tetapi membuktikan juga ketangguhannya dalam menghadapi berbagai gejolak, termasuk pandemi penyakit.
Pada masa lalu, pandemi penyakit memberikan pelajaran berharga kepada perencana kota. Abad ke-19, pola dan struktur ruang sejumlah kota diubah untuk menghindari terjadinya pandemi.
Sejarah perencanaan kota di dunia, menurut ”Healthy Cities and The City Planning Process” (WHO, 1999), didasari oleh dua hal. Pertama, karena idealisme, utopianisme, ataupun dengan tujuan sebagai simbolisme. Kedua, merencanakan kota karena terjadinya bencana alam dan epidemi penyakit.
Artikel ”Pandemics are Also an Urban Problem” dalam laman Citylab menyebutkan, penyakitlah yang membentuk perkotaan. Hal tersebut didasarkan pada pengalaman Perencanaan Kota London, seperti ”London’s Metropolitan Board of Works” dan pembangunan jaringan sanitasi kota pada pertengahan abad ke-19. Perencanaan dan pembangunan kota tersebut dilakukan sebagai solusi untuk mengatasi masalah wabah kolera.
Tak hanya London. Pada 1853, Louis Napoleon yang terinspirasi dengan London juga merombak kota Paris dengan alasan kebersihan kota dan pencegahan penyakit. Louis Napoleon menunjuk Baron Housmann untuk melebarkan jalan utama hingga puluhan meter, membangun taman dan kanal, serta memasang pipa-pipa raksasa. Keponakan Napoleon Bonaparte tersebut juga membongkar permukiman kumuh dan menggantinya dengan apartemen.
Kota Philadelphia pada 1908 juga melakukan pembenahan kota terkait dengan endemi penyakit demam tifoid dan kolera yang mengakibatkan ribuan orang meninggal. Mengutip dari laman How Phillys Neighborhoods can Helps Understand Pandemics Pemerintah Kota Philadelphia membeli lahan di kanan kiri sungai sepanjang aliran sungai.
Selanjutnya, lahan tersebut dijadikan taman yang ada di bantaran sungai. Taman tersebut dikenal dengan Fairmount Park yang berfungsi untuk ”membentengi” sungai sebagai saluran pembuangan ataupun tempat sampah.
Dalam perkembangannya, taman tersebut tidak hanya menjadi ”benteng” sungai, tetapi juga menjadi taman dan ruang publik besar yang digunakan oleh masyarakat untuk berolahraga dan berekreasi.
Baca juga: Kota, Korona, dan Covid-19
Wabah di Batavia
Apa yang dilakukan oleh kota London, Paris, ataupun Philadelphia tidak ditiru oleh Pemerintahan Kolonial Belanda pada Kota Batavia. Awal abad ke-18, Batavia yang semula menjadi pusat perdagangan berubah menjadi tempat yang tidak layak huni. Mengutip dari buku Jakarta Sejarah 400 Tahun (Blackburn, 2011), sistem kanal di Batavia tidak bisa berfungsi sebagai drainase kota. Air pasang yang membawa sedimentasi menghambat aliran air sungai.
Penyumbatan kanal tidak hanya mengakibatkan banjir. Namun, juga memunculkan penyakit disentri, tifus, dan malaria. Nyamuk Anopheles penyebab malaria berkembang biak di genangan air di seluruh kota, termasuk kolam-kolam yang biasanya digunakan untuk memelihara ikan di sepanjang pantai berawa.
Kondisi tersebut semakin parah saat masyarakat terpaksa mengonsumi air sungai karena sebagian besar air sumur tidak aman dikonsumsi. Udara di Batavia pun berbau busuk karena tersumbatnya kanal. Akibatnya, banyak orang Eropa meninggal, termasuk sebagian awak kapal Kapten Cook yang berlabuh di Batavia.
Namun, Pemerintah Kolonial Belanda tidak menyelesaikan masalah wabah penyakit di Batavia tersebut. Hal yang dilakukan adalah membangun kota baru di selatan Jakarta yang disebut dengan Weltevreden (sekitar Lapangan Banteng, Senen, dan Pejambon).
Awalnya, kota baru tersebut hanya diperuntukkan bagi para pejabat pemerintahan Batavia. Namun, lama-kelamaan semua penduduk di Batavia mengikutinya dan membangun permukiman di sekitar Weltevreden. Tercatat dalam buku Blackburn, pada 1779, penduduk Batavia turun menjadi 12.131 orang dan 160.986 orang memilih tinggal di luar kota di sisi selatan.
Sebenarnya tak hanya wabah kolera, tifus, atau disentri yang pernah sampai ke Batavia. Abad ke-19, flu spanyol juga menjadi pandemi di seluruh wilayah Hindia Belanda. Virus flu tersebut kemungkinan masuk melalui jalur laut dan menjangkiti kota-kota pelabuhan.
Awalnya, pemerintah tidak memperhatikan dan menganggap sebagai penyakit flu biasa karena masih berfokus pada penanganan penyakit menular lain, seperti kolera, pes, dan cacar. Bahkan awalnya, penyakit ini sempat dianggap sebagai gejala awal penyakit kolera.
Korban akibat penyakit ini cukup banyak. Tercatat ada 1,5 juta jiwa yang telah menjadi korban selama 1918-1920 (Kompas.id/21/03/2020). Solusi yang diambil oleh Pemerintah Hindia Belanda hanya dengan membentuk Influenza Commmissie pada 16 November 1918. Tujuan komisi yang beranggotakan orang Belanda dan Indonesia tersebut untuk menginvestigasi penyakit flu spanyol dan memberikan rekomendasi mengenai tindakan yang harus dilakukan.
Hasil dari komisi tersebut adalah mengeluarkan tujuh poin rekomendasi pada Mei 1919 yang salah satunya mendorong penerbitan pamflet dan poster dalam bahasa setempat. Baru tahun 1920, Pemerintah Kolonial Belanda memublikasikan dua buku panduan mengenai pencegahan dan penanganan influenza.
Melihat dari dua kasus wabah yang melanda di Indonesia, penanganannya pun sangat telat. Solusi yang diambil pun bukan langkah antisipatif seperti pembenahan kota ataupun perbaikan lingkungan. Malah Pemerintah Kolonial Belanda saat itu cenderung untuk meninggalkan wilayah yang telanjur rusak dan tidak sehat, seperti Batavia.
Baca juga: Jakarta dan Sekitarnya Menjadi Episentrum Covid-19
Kesehatan lingkungan
Bagaimana hubungan antara perencanaan kota dan sistem kesehatan? Hendricus Andy Simamarmata, narasumber dalam Diskusi Webinar ”Perencanaan Perkotaan, Pandemi, dan Ketangguhan Sistem Kesehatan” melalui aplikasi Zoom menyebutkan, peran perencana kota adalah menyiapkan lingkungan kota yang sehat dan menyehatkan warga kotanya. Teori The Environment of Health Model (Blum, 1974) menyebutkan, sistem kesehatan lingkungan terdiri dari keturunan genetik, layanan kesehatan, perilaku sosial, dan lingkungan.
Selama ini perencana kota sudah ambil bagian dengan merencanakan beberapa hal, di antaranya menghitung kebutuhan sarana kesehatan, rencana tata bangunan dan lingkungan, tata perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan, serta perencanaan sarana prasarana lingkungan.
Kebutuhan sarana kesehatan dihitung dari jumlah penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut. SNI Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan (BSN, 2004) menyebutkan, ada tujuh sarana kesehatan yang harus disediakan oleh sebuah kota, seperti posyandu, balai pengobatan, klinik bersalin, puskesmas pembantu dan puskesmas, tempat praktik dokter, serta apotek.
Melalui SNI tersebut juga dapat diketahui bagaimana ketentuan teknis untuk persyaratan fisik rumah yang layak dan sehat serta sarana pendukungnya, di antaranya taman, vegetasi pendukung, sarana persampahan, drainase, sanitasi, kesehatan, pelayananan umum, dan pendidikan.
Tata bangunan dan lingkungan diatur dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum (2007). Panduan RTBL untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, penataan bangunan, dan lingkungan.
Dokumen RTBL dilaksanakan pada beberapa kawasan, seperti kawasan baru berkembang cepat, terbangun, dilestarikan, rawan bencana, dan gabungan semua kawasan. Kedudukan RTBL ini merupakan bagian dari rencana tata ruang kawasan strategis perkotaan/kabupaten yang bisa berupa rencana aksi/kegiatan komunitas, rencana penataan lingkungan, dan panduan rancang kota.
Kota tangguh
Di luar ketentuan teknis dari Kementerian Pekerjaan Umum tersebut, sebenarnya sudah ada Konsorsium Resilient Cities yang melibatkan 100 kota di dunia. Mengutip dari paparan ”Leveraging Network to Build Resilience (Sorkin, 2019), misi Resilient Cities dunia adalah membantu kota-kota menjadi lebih tangguh dalam merespons dampak globalisasi, urbanisasi, dan perubahan iklim yang semakin meningkat pada abad ke-21 ini. Kota Semarang terpilih menjadi salah satu bagian dari 100 Resilient Cities tersebut.
Ketentuan Kota Tangguh, kota harus tahan guncangan pada cuaca ekstrem, keresahan sosial, kegagalan infrastruktur, krisis ekonomi, dan banjir. Selanjutnya, juga tahan pada tekanan penurunan kualitas lingkungan, kesenjangan ekonomi, perubahan iklim, penurunan kualitas udara, kurangnya kerekatan sosial, dan minimnya transportasi publik.
Definisi Program 100 Resilience Cities tersebut hampir sama dengan versi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang meluncurkan program Kota Tangguh pada 2015. Kota Tangguh versi BNPB adalah kota yang mampu menahan, menyerap, beradaptasi dengan dan memulihkan diri dari akibat bencana secara tepat waktu dan efisien, sambil tetap mempertahankan struktur dan fungsi dasarnya. Kota yang tangguh juga mampu menahan guncangan dan tekanan dari ancaman bencana alam ataupun ancaman terkait iklim.
Dua program Kota Tangguh tersebut sama sekali belum menyebutkan soal mengenai ancaman pandemi penyakit seperti Covid-19. Padahal, dalam UU Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007, telah disebutkan ada tiga potensi bencana di Indonesia, yakni bencana alam, non-alam, dan sosial. Kategori bencana alam disebut juga mengenai epidemi dan wabah, selain gempa bumi, banjir, dan tanah longsor.
Ketangguhan Kota Sehat
Dalam diskusi ”Perencanaan Perkotaan, Pandemi, dan Ketangguhan Sistem Kesehatan”, sejumlah perencana kota mengusulkan agar perencanaan kota dan wilayah jangan hanya sekadar menghitung jumlah fasilitas kesehatan dan sanitasi saja. Ataupun hanya menentukan lokasi. Bahkan, jika perlu meninjau kembali standar-standar perencanaan perkotaan.
Standar perencanaan perkotaan juga harus mengaitkan dengan Ketangguhan Sistem Kesehatan (Health Resilience). International Health Regulation (2005) mengatur peningkatan kapasitas untuk pencegahan, pendeteksian, tindakan, serta pintu masuk dan bahaya lain, seperti bahan kimia berbahaya dan radiasi. Ketangguhan sistem kesehatan, membuat pelaku kesehatan, institusi, serta masyarakat untuk siap tanggap secara efisien dan menjaga layanan rutin kesehatan terhadap krisis serta belajar dari pengalaman krisis untuk menyesuaikan kapasitas dan ketangguhan pelayanan.
Perencana kota bisa ikut serta dalam mewujudkan ketangguhan kota sehat. Caranya dengan memberikan rekomendasi tempat yang paling efektif dan efisien untuk pemeriksaan serta tempat yang memenuhi standar sebagai fasilitas ruang isolasi para penderita.
Ke depan, hendaknya tak hanya fasilitas kesehatan saja yang siap dengan fasilitas tanggap bencana epidemi, tetapi juga fasilitas publik seperti gedung pertemuan/olahraga, kantor pemerintahan, bahkan bisa jadi pusat perbelanjaan. ”Tempat sementara” ini jangan sekadar sebagai tempat evakuasi bencana alam, tetapi juga harus memenuhi kaidah kesehatan yang telah ditentukan.
Saat penanganan krisis pun, perencana dapat ikut merekomendasikan sistem lockdown yang tepat bagi pihak berwenang. Jalur keluar/masuk kendaraan umum/pribadi, terutama dari simpul-simpul pergerakan besar, dapat diidentifikasi. Juga dengan tempat berkumpulnya warga.
Bencana Covid-19 ini menjadi pelajaran berharga bagi sebuah kota dan perencana kota. Perencana kota tak sekadar menciptakan kota yang nyaman, hijau, pintar, berkelanjutan, ataupun tangguh pada bencana, tetapi juga mempersiapkan kota yang tangguh untuk menghadapi pandemi penyakit. Tak hanya infrastruktur kota, tetapi juga warganya.
Jika dulu kota London, Paris, ataupun Philadelphia bisa bertahan menghadapi wabah penyakit tanpa harus memindahkan kota. Sekarang pun, kota-kota di Indonesia pasti bisa bertahan. Tentu saja melibatkan kerja sama dengan berbagai pihak. (LITBANG KOMPAS)