Urgensi Pembatasan Sosial dan Tes Cepat dalam Menangani Covid-19
Penelitian vaksin dan obat bagi Covid-19 masih memerlukan waktu lama dan kini baru memasuki uji klinis. Maka, rekayasa nonmedis berupa intervensi sosial harus dilakukan beriringan agar wabah tak makin meluas.
Laju penularan wabah Covid-19 tidak cukup dihambat dengan intervensi medis. Penelitian vaksin dan obat masih memerlukan waktu lama dan kini baru memasuki uji klinis. Maka, rekayasa nonmedis berupa intervensi sosial harus dilakukan beriringan agar wabah tak makin meluas.
Pada 7 Maret 2020 atau empat hari sebelum diumumkan sebagai pandemi, Covid-19 menembus 100.000 kasus di 93 negara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tanggal itu, mengeluarkan rilis yang mengingatkan semua negara bekerja sama guna menekan penyebaran Covid-19.
WHO menegaskan, kolaborasi tingkat dunia diperlukan untuk menahan lonjakan kasus, menyelamatkan lebih banyak orang, dan memberi ruang dalam upaya penemuan vaksinnya. Dari tujuan ini, ada dua aspek yang dapat dilakukan dunia, yaitu sisi medis lewat penemuan vaksin dan obat serta nonmedis berupa intervensi sosial guna menahan laju penularan.
WHO menegaskan, kolaborasi tingkat dunia diperlukan untuk menahan lonjakan kasus.
Dari aspek medis, hingga 4 April 2020, WHO mencatat ada 62 penelitian vaksin Covid-19. Dua vaksin di antaranya telah menjalani uji klinis.
Di luar upaya penemuan vaksin, penanganan penyakit Covid-19 juga dilakukan melalui pengobatan. Saat ini setidaknya ada 87 jenis pengobatan yang dikembangkan, dengan 12 di antaranya sudah diuji coba ke manusia. Kebanyakan metode pengobatan menggunakan lisensi produk untuk penyakit lain, seperti influenza, HIV, hepatitis, dan malaria.
Salah satu jenis pengobatan yang dapat digunakan untuk mengatasi Covid-19 ialah obat malaria, yaitu klorokuin. Selain itu, ada tablet obat anti-influenza Avigan yang diproduksi Fujifilm, Jepang.
Uji klinis terhadap Avigan dilakukan kepada 100 pasien hingga Juni 2020 untuk menguji efektivitas obat antiflu bagi pasien Covid-19, menyusul laporan yang menjanjikan dalam uji obat itu di China.
Namun, hingga kini, WHO belum menyebut satu obat pun yang resmi dapat mengatasi Covid-19. Karena itu, selain upaya medis, strategi mencegah penularan Covid-19 juga harus diimbangi dengan intervensi nonmedis, dalam hal ini adalah intervensi sosial.
Menekan wabah
Salah satu sumber yang dapat dirujuk untuk memahami intervensi nonmedis adalah kajian dari Imperial College Covid-19 Response Team. Dalam kajian berjudul ”Impact of non-pharmaceutical interventions (NPIs) to reduce Covid-19 mortality and healthcare demand” disebutkan, ada dua strategi mendasar intervensi nonmedis yang bisa dilakukan, yaitu mitigasi dan penekanan.
Intervensi berupa mitigasi berfokus pada upaya memperlambat pertumbuhan kasus penularan dan melindungi golongan masyarakat yang paling rentan terkena Covid-19. Bentuknya adalah penerapan isolasi rumah bagi orang dalam pemantauan, karantina di rumah kepada mereka yang tinggal satu kediaman dengan pasien Covid-19, serta mengisolasi kaum rentan, yaitu warga lansia dan orang dengan penyakit berat.
Meluasnya wabah membuat Covid-19 membutuhkan tindakan lebih keras untuk menanganinya. Hingga akhir pekan lalu, ada 1.787.766 kasus positif korona dengan 109.691 orang meninggal.
Intervensi berupa mitigasi berfokus pada upaya memperlambat pertumbuhan kasus penularan.
Atas dasar ini, kajian Imperial College Covid-19 Response Team mengusulkan skenario yang bertujuan menekan (suppression) pertumbuhan wabah. Riset Imperial College telah membuat skema jumlah kasus Covid-19 di Inggris dan Amerika Serikat, termasuk seberapa parah situasi yang mungkin terjadi jika pemerintah kedua negara tak melakukan intervensi yang berarti.
Prediksi terburuknya, jika pemerintah kedua negara tidak segera bertindak, ada lebih dari 500.000 warga Inggris dan 2 juta warga AS terancam meninggal akibat infeksi Covid-19.
John Hopkins University and Medicine mencatat, hingga 12 April 2020, terdapat 530.006 kasus Covid-19 di AS yang mengakibatkan 20.608 orang meninggal. Di Inggris, ada 79.885 kasus virus korona dan 9.892 warga meninggal.
Karena itu, diperlukan langkah untuk mengurangi jumlah reproduksi virus hingga ke titik terendah. Pemerintah Inggris memberlakukan karantina wilayah (lockdown) sejak 23 Maret 2020 sebagai bagian dari upaya menekan penularan Covid-19.
Pada kajian Imperial College, kebijakan karantina wilayah masuk ke dalam kategori upaya menekan pertumbuhan jumlah kasus positif dalam versi ekstrem. Jika dilakukan dengan tepat, intervensi ini diperkirakan bisa mengurangi hingga dua pertiga kasus penularan dan mengurangi jumlah kematian akibat Covid-19 hingga 50 persen. Contoh keberhasilan model karantina ini adalah penekanan jumlah kasus penularan wabah ebola dan SARS.
Model keberhasilan intervensi sosial dalam kasus Covid-19 terjadi di China dan Korea Selatan. Di Korsel, melalui pembatasan sosial, pemerintah berhasil menekan kasus baru, yaitu menjadi hanya 74 kasus baru pada 16 Maret 2020. Sebelumnya, ada 909 kasus baru pada 29 Februari 2020.
Hal yang lebih ekstrem terjadi di Wuhan, China, yang memberlakukan karantina wilayah selama sekitar empat bulan. Kasus infeksi anyar di wilayah tersebut bisa ditekan, bahkan tak ditemukan kasus baru pada 30 Maret 2020.
Berdasarkan tes
Salah satu pertimbangan utama dalam memutuskan intervensi nonmedis adalah lonjakan jumlah kasus penularan. Untuk mendapatkan data ini, pemerintah perlu melakukan tes Covid-19 sebanyak-banyaknya. Dengan begitu, akan terlihat seberapa banyak kasus di tengah masyarakat.
Tes semakin penting karena ditemukan banyak kasus positif, tetapi si penderita tidak mengalami gejala. Di Wuhan, kasus tersembunyi ini hampir mencapai 60 persen dari total kasus positif.
Menyadari kondisi tersebut, Korsel tidak main-main dalam melakukan tes. Hingga 13 April 2020, negara itu telah memeriksa lebih dari 514.000 warganya.
Dengan demikian, tingkat pengecekan di Korsel berada di angka 10.038 per 1 juta penduduk. Dengan tingkat pengecekan yang tinggi, Pemerintah Korsel bisa melakukan kebijakan intervensi nonmedis melalui isolasi kasus positif dan pelacakan interaksi penderita dengan orang lain di masyarakat secara cepat dan tepat.
Adapun tingkat pengecekan di Indonesia jauh tertinggal. Hingga 13 April 2020, Indonesia baru melakukan pengecekan terhadap 27.075 warganya. Maka, tingkat pengecekan di Indonesia baru berada di angka 99 per 1 juta penduduk. Untuk bisa menyamai tingkat pengecekan Korsel, Pemerintah Indonesia harus bisa mengecek sedikitnya 2 juta warganya.
Intervensi nonmedis, seperti pembatasan sosial atau karantina wilayah, digunakan sebagai salah satu strategi menekan hingga memutus rantai penyebaran virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19.
Langkah tersebut juga merupakan upaya untuk memberikan waktu kepada para ilmuwan mengembangkan pengobatan dan vaksin, mendapatkan data yang stabil terkait penyebaran virus, serta mendapatkan kejelasan tentang kebiasaan virus.
Majalah Forbes menulis, intervensi sosial dapat dicabut secara bertahap berdasarkan pola musiman penyebaran virus, ketersediaan vaksin, kekebalan komunitas, dan mutasi virus. Berdasarkan empat variabel tersebut, intervensi nonmedis diperkirakan paling cepat berakhir September 2020.
Perkiraan ini berpijak dari indikator pola musiman penyebaran virus. Diharapkan, virus korona jenis baru ini memiliki sifat seperti virus influenza, yakni penyebarannya menurun saat musim panas berlangsung. Hal ini diprediksi terjadi pada September 2020 setelah musim panas terjadi di belahan bumi utara.
Jika melihat ketersediaan vaksin, skenario berakhirnya intervensi sosial akan berakhir pada Februari 2021 sesuai cetak biru penelitian vaksin WHO. Namun, jika melihat dari aspek kekebalan komunitas dan mutasi virus, intervensi sosial dapat berlangsung berbulan-bulan hingga tahunan.
Lamanya waktu pencabutan intervensi sosial seiring dengan harapan virus korona jenis baru ini bermutasi menjadi lebih lemah sehingga mudah dikalahkan oleh imunitas manusia atau saat sejumlah besar populasi dunia telah menjadi imun terhadap virus korona jenis baru ini.
Mengingat hal itu, tindakan nonmedis berupa intervensi sosial merupakan urgensi kebijakan yang harus diterapkan. Intervensi ini intinya berupa pembatasan fisik yang dapat berupa isolasi kasus hingga karantina wilayah. Namun, kebijakan tersebut harus diimbangi dengan intervensi lanjutan berupa tes massal agar berlaku efektif.
Masyarakat dapat berpartisipasi mandiri dalam intervensi nonmedis. Jika masyarakat disiplin menerapkan pembatasan fisik, masa berlaku intervensi sosial ini bukan tidak mungkin akan cepat berakhir. (LITBANG KOMPAS)