Prosedur Penanganan Pasien Ganjal Tenaga Medis
Penanganan pasien Covid-19 oleh tenaga medis cukup mengkhawatirkan. Keterbatasan fasilitas kesehatan dan alat pelindung diri menjadi prosedur yang kerap menghambat kinerja tenaga medis.
Situasi penanganan pasien Covid-19 oleh tenaga medis di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan dan alat pelindung diri (APD), prosedur penanganan pasien juga acap kali menjadi pisau bermata dua.
Prosedur penanganan pasien Covid-19 terus diganti seiring dengan perkembangan pandemi Covid-19 di Indonesia. Hal ini menciptakan kebingungan dan berpotensi menimbulkan kekeliruan dalam penanganan pasien. Alih-alih memutus rantai penularan, prosedur penanganan yang tidak jelas justru menempatkan tenaga medis dalam bahaya.
Dalam wawancara Kompas dengan pengurus Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia, Tri Maharani, protokol penanganan pasien Covid-19 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan terus diubah sehingga membingungkan petugas medis.
Hal yang serupa diungkapkan dokter spesialis paru-paru dari RSUD dr Abdul Rivai, Robert N, yang menyebut protokol pelayanan pasien Covid-19 belum sepenuhnya tersosialisasikan kepada publik. Akibatnya, banyak pasien dengan gejala Covid-19 langsung datang ke unit gawat darurat sehingga berpotensi menularkan virus kepada petugas medis dan pasien lain (Kompas.id, 11 April 2020).
Penelusuran penulis menemukan bahwa protokol kesehatan penanganan Covid-19 telah direvisi hingga empat kali. Protokol kesehatan sendiri pertama kali dipublikasikan oleh Kantor Staf Presiden pada 6 Maret 2020 atau empat hari setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua orang pertama yang positif terinfeksi virus SARS-CoV-2.
Protokol kesehatan tersebut memuat informasi singkat bagi warga yang merasakan gejala terinfeksi virus korona untuk mendatangi fasilitas kesehatan. Tidak disebutkan secara spesifik, fasilitas jenis apa yang dapat dirujuk. Di tengah rumah sakit yang belum siap, anjuran ini justru berpotensi menjadi awal mula penyebaran virus kepada petugas medis.
Protokol kesehatan ini dikeluarkan bersamaan dengan empat protokol lain yang terdiri dari protokol komunikasi, pengawasan perbatasan, area pendidikan, serta area publik dan transportasi.
Dua minggu berselang, merujuk pada Surat Edaran Nomor HK.02.02/II/753/2020 yang ditandatangani Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Achmad Yurianto pada 16 Maret 2020, pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (Covid-19) disebut telah direvisi untuk ketiga kalinya.
Perubahan terdapat pada bab pendahuluan, surveilans dan respons, pencegahan dan pengendalian infeksi, serta pengelolaan spesimen dan konfirmasi laboratorium.
Sementara itu, per 27 Maret 2020, dikeluarkan kembali pedoman yang sama yang telah mengalami revisi kembali. Perubahan yang dilakukan terkait surveilans dan respons, manajemen klinis, pencegahan dan pengendalian infeksi, pengelolaan spesimen dan konfirmasi laboratorium, serta komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat.
Hingga artikel ini diturunkan, pedoman revisi keempat ini merupakan prosedur resmi yang ditujukan untuk petugas kesehatan sebagai acuan dalam kesiapsiagaan menangani Covid-19.
Secara umum, tenaga medis yang bertugas menangani pasien Covid-19 harus memakai APD sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Sayangnya, protokol ini tidak dapat dijalankan karena minimnya ketersediaan APD. Lebih lagi, minimnya ketersediaan fasilitas kesehatan, seperti ventilator dan tempat tidur, membuat penerapatan social distancing tidak berjalan di rumah sakit.
Amnesty International Indonesia bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mengeluarkan petisi untuk melindungi hak-hak para tenaga medis yang menangani Covid-19 (Kompas.id, 23 Maret 2020).
Hingga 16 April 2020, petisi tersebut telah ditandatangani oleh 7.806 dari 10.000 partisipan yang diharapkan terlibat. Salah satunya menyoroti tanggung jawab pemerintah untuk memastikan implementasi protokol pelayanan dan penanganan infeksi Covid-19 bagi pekerja kesehatan, termasuk memastikan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja mereka.
Lagi-lagi, keterbatasan alat pelindung diri (APD) dan keterbatasan fasilitas kesehatan memicu protokol kerja yang dapat membahayakan tenaga medis. Dalam sebulan terakhir, cerita-cerita tenaga medis yang berjuang di garda depan tanpa ”senjata” tidak asing lagi di pemberitaan ataupun di media sosial.
Misalnya saja cerita dokter Debryna Dewi Lumanauw yang bertugas di RSD Wisma Atlet, Kemayoran, dalam bentuk video yang ditayangkan Voice of America (VOA) Indonesia dalam akun Instagram-nya pada 15 April 2020. Dokter Debryna menceritakan bagaimana petugas medis memilih untuk tidak makan dan tidak ke kamar mandi agar tidak perlu melepas APD demi menghemat stok APD sekali pakai. Beberapa juga mengenakan popok agar tidak perlu ke kamar mandi dan menambal APD yang bolong demi tetap bisa dipakai.
Petugas medis memilih untuk tidak makan dan tidak ke kamar mandi agar tidak perlu melepas APD demi menghemat stok APD sekali pakai.
Belajar dari negara lain
Di tengah situasi genting yang mendunia ini, bukan berati tidak ada hal baik yang bisa dipelajari. Misalnya saja berguru pengalaman dari tenaga medis di negara lain yang efektif menangani pasien korona lewat platform Global MediXchane.
Kanal yang diinisiasi The Jack Ma Foundation dan Alibaba Foundation ini menyediakan ruang komunikasi dan kolaborasi antartenaga medis di dunia untuk berbagi pengalaman dalam memerangi pandemi Covid-19.
Kanal ini juga telah menerbitkan dua buku panduan yang disusun berdasarkan pengalaman klinis dokter dan tenaga medis lainnya di China dalam menangani pasien dan menekan jumlah tenaga medis yang terinfeksi virus.
Buku yang pertama berjudul Handbook of Covid-19 Prevention and Treatment yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Buku kedua baru saja terbit, berjudul The Second Affiliated Hospital Zhejiiang University School of Medicine Guidebook of Covid-19 Outbreak Hospital Response Strategy.
Selain itu, berkaca dari keberhasilan negara lain dalam menangani wabah juga bukan hal yang sulit. Negara tetangga, Singapura, misalnya, menjadi salah satu negara yang dianggap memiliki tenaga medis yang disiapkan dengan baik untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Sedari awal, tenaga medis sudah ditempatkan sebagai aset yang paling berharga dalam skema penanganan wabah. Menteri Kesehatan Singapura Gan Kim Yong, dalam pernyataan resminya di laman Kementerian Kesehatan Singapura pada 25 Maret 2020, menempatkan tenaga medis sebagai sumber daya terpenting dalam menghadapi wabah.
Ia memastikan ketersediaan APD, kesehatan fisik dan mental staf medis, serta menyediakan akomodasi yang diperlukan untuk tetap menjaga kehidupan tenaga medis.
Dalam Why are there so few coronavirus infections in Singapore’s health workers? yang diterbitkan South China Morning Post pada 28 Maret 2020, penulis mengungkapkan bahwa Singapura secara serius mengasah kewaspadaan dalam menghadapi pandemi sejak wabah SARS.
Negara menerbitkan Rencana Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi Influenza pertama pada 2005 sembari terus menguji coba skenario-skenario jika terjadi wabah.
Saat Covid-19 mewabah, stok APD, ketersediaan dokter dan perawat, serta ketersediaan tempat tidur sudah menjadi persoalan yang terjawab. Prosedur penanganan pasien juga melampaui standar, misalnya pekerja medis menjaga jarak aman sejauh 2 meter pada pasien yang diinkubasi meski belum dinyatakan positif Covid-19.
Menggunakan masker bedah dan N95 sebagai standar yang dapat menyaring 95 persen partikel udara. Ada kesadaran bahwa prosedur standar tidak akan melindungi dari infeksi. Pemerintah juga menyarankan agar warga tidak gandrung membeli masker supaya stok masker terjaga untuk tenaga medis.
Ada kalanya negara kelimpungan dalam memprioritaskan agenda, apalagi di tengah kondisi wabah yang serba mengejutkan. Mendukung sambil tetap kritis mengawal kebijakan negara menjadi tugas warga yang saat ini berjuang dengan porsi masing-masing. (LITBANG KOMPAS)