Lonceng Korona Berdentang di Luar Ibu Kota
Setelah muncul pertama kali tanggal 2 Maret 2020, virus SARS-CoV-2 menyebar dengan cepat dan luas. Tercatat hanya dalam 39 hari, kasus positif Covid-19 menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia.
Pada tanggal 10 April 2020, Gorontalo menjadi provinsi terakhir yang mengumumkan kasus pertama Covid-19. Kini, semua provinsi di Indonesia telah mengalami kasus positif Covid-19.
Cepatnya penyebaran virus ini tidak lepas dari mobilitas dan aktivitas yang dilakukan masyarakat. Seperti pasien kasus pertama di Gorontalo yang memiliki riwayat perjalanan ke Gowa, Sulawesi Selatan, untuk mengikuti acara keagamaan pada 20-22 Maret 2020. Meski acara itu ditunda, menurut BNPB, sekurangnya 8.000 peserta dari 48 negara sudah telanjur berkumpul di kabupaten itu.
Selama pandemi Covid-19, acara-acara serupa yang mengumpulkan banyak orang memang kerap menjadi pusat penyebaran virus. Sebelum kasus di Gorontalo, pasien positif Covid-19 pertama di Lampung juga menghadiri acara keagamaan di Bogor. Acara yang diselenggarakan 26-29 Februari 2020 itu diikuti 685 peserta dari 26 provinsi di Indonesia.
Banyaknya partisipasi peserta dari berbagai lokasi di Indonesia ini disebabkan oleh mudahnya akses transportasi yang kian banyak dirasakan masyarakat, baik transportasi darat, laut, maupun udara. Contohnya transportasi udara yang menurut data BPS tahun 2018 terdapat 190 bandara di 34 provinsi di Indonesia yang melayani penerbangan dalam negeri.
Luasnya jaringan transportasi di Indonesia bukan hal yang salah. Sebab, kondisi ini dapat menciptakan pemerataan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga pelosok Indonesia sekalipun. Namun, bagai pisau bermata dua, kemajuan transportasi justru menjadi saluran penyebaran penyakit manakala wabah Covid-19 masuk ke Tanah Air.
Baca juga: Virus Korona Tiba di Indonesia
Persebaran
Konsentrasi persebaran kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta berangsur-angsur menurun. Meski terdengar bagus, pada satu sisi hal ini bukanlah berita yang baik. Sebab, di sisi lain, muncul indikasi kasus Covid-19 semakin banyak menyebar di luar Ibu Kota.
Tren ini terlihat dari data laporan harian Kemenkes yang dilaporkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Pada laporan tanggal 23 Maret 2020, jumlah kasus positif di DKI Jakarta sebanyak 353 orang atau setara dengan 61,0 persen dari total 579 kasus di Indonesia. Sisanya sebanyak 226 orang atau 39,0 persen kasus tersebar di 22 provinsi lain di Indonesia.
Seminggu kemudian, tanggal 30 Maret 2020, proporsi kasus di DKI Jakarta berkurang menjadi 49,4 persen. Begitu seterusnya hingga sebulan kemudian tanggal 20 April 2020 turun menjadi 45,8 persen dari total kasus 6.760 di Indonesia. Konsekuensinya proporsi kasus di provinsi lainnya meningkat lebih besar menjadi 54,2 persen.
Selain penurunan konsentrasi kasus di DKI Jakarta, selama sebulan itu proporsi kasus di sejumlah provinsi juga mengalami dinamika. Contohnya Banten, satu-satunya provinsi yang mengalami tren yang sama dengan Jakarta. Jika DKI Jakarta mengalami rata-rata penurunan proporsi kasus 3,8 persen per minggu, Banten juga turun 1,2 persen per minggu.
Penurunan konsentrasi kasus di Banten juga membawanya turun peringkat provinsi dengan proporsi kasus Covid-19 terbanyak. Tanggal 23 Maret 2020 proporsi kasus di provinsi ini sebesar 9,7 persen dan berada di peringkat ke-3 teratas. Sementara tanggal 20 April 2020 proporsinya menjadi 5,0 persen dan turun menjadi peringkat ke-6.
Berbeda dengan DKI Jakarta dan Banten, mayoritas provinsi lain justru mengalami sebaliknya. Bahkan, ada provinsi yang proporsi kasusnya meningkat cukup tajam. Contohnya Sulawesi Selatan yang terpantau naik rata-rata 1,3 persen per minggu. Pada 23 Maret 2020, provinsi ini hanya memiliki dua kasus (0,3 persen), tetapi tanggal 20 April 2020 meningkat menjadi 370 kasus (5,5 persen).
Jika Banten mengalami penurunan peringkat, kasus di Sulawesi Selatan ini justru mengantarkannya merangkak ke peringkat lima besar. Dari semula berada di peringkat ke-11, sebulan kemudian bertengger di peringkat keempat. Selain Sulsel, hal serupa juga dialami oleh Provinsi Jawa Timur, Papua, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara.
Baca juga: Wabah Korona dari Jakarta sampai Pelosok Indonesia
Mobilitas pekerja
Selain perjalanan jarak jauh antarpulau atau antarprovinsi, mobilitas masyarakat juga terjadi di dalam provinsi. Salah satunya perjalanan menuju ke tempat bekerja yang menjadi tujuan mobilitas mayoritas masyarakat. Data Sakernas BPS Agustus 2018 menunjukkan, jumlah penduduk bekerja di Indonesia 124 juta orang dan 9,1 persen di antaranya melakukan mobilitas.
Mereka merupakan pekerja komuter sebanyak 8,6 juta orang (6,9 persen) dan pekerja sirkuler 2,7 juta orang (2,2 persen). Pekerja komuter ini bekerja di luar kabupaten/kota tempat tinggal mereka dan rutin pergi pulang pada hari yang sama. Sementara pekerja sirkuler mirip dengan pekerja komuter, tetapi pergi pulang setiap minggu atau setiap bulan tetapi kurang dari enam bulan.
Di setiap provinsi, pekerja jenis ini memiliki proporsi jumlah yang berbeda-beda. Di tahun yang sama, BPS mencatat proporsi pekerja komuter paling banyak ada di Jawa Barat. Jumlahnya 2,3 juta orang atau setara 27,0 persen dari total pekerja komuter di Indonesia. Selanjutnya disusul Jawa Tengah (12,8 persen), Jawa Timur (12,1 persen), DKI Jakarta (12,1 persen), dan Banten (9,3 persen).
Sementara untuk pekerja sirkuler, terbanyak proporsinya ada di Jawa Barat. Di provinsi ini jumlahnya sebanyak 801.100 orang atau setara 29,6 persen dari total pekerja sirkuler di Indonesia. Setelah Jawa Barat proporsi terbanyak juga ditemukan di Jawa Tengah (22,9 persen), Jawa Timur (12,9 persen), Banten (4,5 persen), dan Sumatera Utara (3,5 persen).
Pergerakan para pekerja ini perlu lebih diantisipasi karena dapat menjadi aktivitas yang berpotensi menyebarkan virus. Terbukti dari korelasi antara lima provinsi dan proporsi jumlah pekerja komuter terbanyak terhadap konsentrasi kasus Covid-19. Kelimanya pernah menduduki peringkat lima besar provinsi dengan proporsi jumlah kasus Covid-19 terbanyak.
Jika diamati lebih luas lagi, korelasi ini juga terlihat pada provinsi dengan proporsi jumlah pekerja komuter terbanyak ke-6 hingga ke-10. Berturut-turut di antaranya Sumatera Utara (5,4 persen), Yogyakarta (3,2 persen), Bali (3,1 persen), Sulawesi Selatan (1,9 persen), dan Lampung (1,8 persen). Empat dari lima provinsi ini tercatat pernah menduduk peringkat 10 besar proporsi jumlah Covid-19 terbanyak.
Berbeda dengan pekerja komuter, korelasi serupa tidak terlihat lebih kuat di 10 peringkat provinsi dengan proporsi jumlah pekerja sirkuler terbanyak. Korelasi hanya ditemui pada delapan dari 10 provinsi. Sementara dua provinsi lainnya, yaitu Lampung (2,3 persen) dan Kalimantan Selatan (1,6 persen), tercatat tidak menjadi konsentrasi kasus Covid-19.
Tersedianya hunian sementara di sekitar lokasi kerja dapat menjadi alasannya. Karena itu, ketika pandemi Covid-19 mulai merebak, para pekerja sirkuler ini memiliki dua pilihan, tetap bertahan di kota/kabupaten tempat mereka bekerja atau jika memungkinkan dapat pulang ke kampung halaman mereka. Hal ini yang membuat mobilitas para pekerja sirkuler relatif lebih minim.
Lonceng peringatan
Semakin menyebarnya kasus Covid-19 di daerah dengan pola pergerakan para pekerjanya dapat menjadi lonceng peringatan bagi pemerintah daerah untuk segera bertindak. Tujuaannya agar penyebaran virus tidak semakin meluas di masing-masing provinsi. Hal ini ditunjang dengan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Covid-19 sebagai Bencana Nasional.
Melalui keppres yang berlaku sejak 13 April 2020 ini, kepala daerah, seperti gubernur, bupati, dan wali kota, ditetapkan presiden sebagai ketua gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 di daerah. Mereka juga memiliki mandat untuk menetapkan kebijakan daerah yang sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat.
Seturut dengan peraturan itu, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menjadi salah satu kebijakan yang banyak dibuat kepala daerah. Kebijakan ini pertama kali diterapkan di DKI Jakarta sejak 10 April 2020. Kemudian disusul daerah lain, yakni Bogor, Depok, dan Bekasi sejak 15 April 2020. Setelah itu Tangerang dan Tangerang Selatan sejak 18 April 2020.
Selain Jabobetabek, penerapan PSBB secara bertahap juga diberlakukan di beberapa daerah lain. Hingga 20 April 2020, tercatat sudah ada dua provinsi dan 18 kota/kabupaten yang permohonan PSBBnya disetujui Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Melalui kebijakan itu, aktivitas masyarakat dibatasi seperti peliburan sekolah sejumlah tempat kerja.
Sejumlah kabupaten/kota sudah mulai merasakan dampak dari kebijakan PSBB ini. Salah satunya DKI Jakarta yang menerapkan PSBB paling awal. Terlihat dari penurunan proporsi jumlah kasus dari minggu ke minggu. Begitu juga Banten, yang walaupun menerapkan PSSB lebih lama, tetapi dampaknya juga terasa mirip dengan DKI Jakarta.
Sebelum resmi memberlakukan PSBB, sejumlah kabupaten/kota di Banten telah menginisiasi antisipasi penyebaran Covid-19. Contohnya Pemkot Tangerang yang membatasi jumlah penumpang 50 persen dari kapasitas angkutan umum. Selain itu, ada juga sanksi bagi masyarakat pengguna transportasi umum yang tidak mengenakan masker.
Meski demikian, PSBB tidak dapat diberlakukan di sembarang daerah. Terdapat kriteria yang harus dipenuhi sesuai dengan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB, mulai dari peningkatan jumlah kasus yang signifikan, penyebaran kasus yang cepat, hingga terjadinya transmisi lokal. Selain itu, pemda juga harus mempertimbangkan alokasi bantuan bagi keluarga terdampak.
Penanganan pandemi Covid-19 sudah seharusnya menjadi perhatian semua pihak. Tidak hanya tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi juga semua lapisan masyarakat. Kuncinya adalah kurangi mobilitas dan hindari kegiatan kerumunan banyak orang. Semakin cepat dan tegas pemerintah memutuskan kebijakan, semakin cepat penyebaran virus dapat ditekan. (LITBANG KOMPAS)