Menakar Kedaulatan di Tengah Potensi Krisis Pangan
Ketergantungan Indonesia akan impor kebutuhan pokok yang masih besar menjadi lampu kuning di tengah merebaknya wabah Covid-19.
Ketergantungan Indonesia akan impor kebutuhan pokok yang masih besar menjadi lampu kuning di tengah merebaknya wabah Covid-19. Agar terhindar dari krisis pangan, kedaulatan pangan nasional penting dikedepankan kembali.
Akhir Maret lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengingatkan negara-negara di dunia adanya potensi krisis pangan dunia akibat pandemi Covid-19. Terganggunya aktivitas tenaga kerja dan rantai pasokan akibat kebijakan pembatasan di sejumlah negara bisa berdampak pada ketersediaan pangan maupun melonjaknya harga pangan.
Bahkan FAO memprediksi jika berbagai negara tak melakukan antisipasi sejak dini, krisis pangan bisa mulai terasa pada Mei dan Juni mendatang. Lebih buruk lagi, tak menutup kemungkinan akan berlanjut hingga dua tahun ke depan menjelang situasi dunia kembali normal.
Kendati tekanan akibat Covid-19 dalam rantai pasokan bahan pangan hingga kini masih minim. Namun, alur logistik masih menjadi tantangan. Hal ini juga karena distribusi bahan makanan perlu berjalan tanpa batasan, dan sesuai dengan standar keamanan pangan yang ada. Untuk mengurangi dampak pandemi pada pangan dan pertanian, FAO meminta negara-negara di dunia untuk memenuhi kebutuhan pangan dari populasi rentan.
Meskipun pasokan makanan pokok memadai, terlepas dari tenaga kerja dan tantangan logistik, setiap pembatasan oleh negara yang memesan pasokan strategis akan meningkatkan risiko. Negara-negara penghasil utama yang telah menerapkan pembatasan ekspor, antara lain Vietnam yang telah menghambat ekspor beras, dan Rusia yang telah menghentikan ekspor biji-bijian olahan. Kazakhstan juga menangguhkan ekspor tepung terigu, gandum, gula, minyak bunga matahari, dan beberapa sayuran
Peringatan dari FAO tersebut tentunya juga menjadi peringatan bagi Indonesia yang hingga kini masih bergantung pada impor sejumlah kebutuhan pokok dari negara-negara lain. Lantas seberapa jauh upaya Indonesia mewujudkan kedaulatan pangan?
Baca juga: Problem Distribusi Picu Disparitas
Impor pangan
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), upaya Indonesia mewujudkan kedaulatan pangan tampaknya masih jauh dari kata tercapai. Ketergantungan Indonesia pada impor kebutuhan pangan dari tahun ke tahun masih relatif besar. Kebijakan impor komoditas pangan tersebut terutama untuk memenuhi kebutuhan domestik dan kebijakan menstabilkan harga.
Data BPS dan Kementerian Pertanian menunjukkan, dari delapan komoditas tanaman pangan yang diimpor, ada empat komoditas dengan volume sangat besar, yakni beras, gandum, jagung, dan kedelai. Keempat komoditas rata-rata menyumbang 19,7 juta ton atau 95 persen dari seluruh impor subsektor tanaman pangan.
Untuk komoditas beras, selama periode 1993-2018, Indonesia mengimpor beras rata-rata 1 juta ton per tahun. Bahkan, pada 2018, impor beras mencapai 2,25 juta ton dengan nilai sebesar 1,03 miliar dolar AS. Angka impor beras meningkat drastis dibanding pada 2017 yang sebesar 0,29 juta ton dan pada 2016 sebesar 1,28 juta ton.
Adapun impor barang konsumsi berupa makanan dan minuman untuk rumah tangga tahun 2018 menurut data BPS senilai 6,5 miliar dolar AS. Sebagian besar berupa sayuran, buah-buahan, susu dan produk susu, telur, serealia dan produk turunannya, daging, camilan, makanan bayi, serta minuman.
Besarnya impor pangan itu berdampak pada neraca perdagangan pangan yang defisit. Hal itu terlihat sejak 2007. Nilai defisit tertinggi terjadi pada 2011, yaitu sebesar 4,2 miliar dollar AS. Defisit pangan bisa ditekan hingga hanya 0,6 miliar dollar AS pada 2015, namun membengkak kembali dalam tiga tahun terakhir. Pada November 2018, defisit kembali meningkat menjadi 2,9 miliar dollar AS.
Besarnya nilai impor pangan tersebut merepresentasikan belum adanya kedaulatan pangan di negeri ini. Padahal ketergantungan pada impor pangan beresiko besar terhadap ketahanan pangan dan bisa mengancam kedaulatan kebijakan pangan NKRI.
Pada kondisi saat ini, tekanan akibat pandemi Covid-19 bisa berimplikasi pada ketersediaan kebutuhan pokok dan memengaruhi harga di pasar. Produktivitas pertanian berpotensi turun akibat turunnya jumlah tenaga kerja dan penurunan investasi. Untuk sektor peternakan, bisa menghambat akses terhadap pangan yang juga mempengaruhi kapasitas produksi industri pertanian.
Produksi Pangan
Kendati sudah sejak lama dicita-citakan, mewujudkan kedaulatan pangan di negeri ini bukanlah perkara mudah. Beragam persoalan klasik masih menyelimuti sisi peningkatan produksi pangan maupun kesejahteraan petani.
Di sisi produksi, kendati regulasi terkait perlindungan lahan pertanian telah dibuat sejak 2009 namun tekanan terhadap lahan pertanian semakin besar. Konversi lahan tersebut terjadi seiring pertumbuhan penduduk dan kebutuhan tanah untuk keperluan nonpertanian, di antaranya perumahan, industri, dan infrastruktur seperti jalan.
Pemerintah sebenarnya telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sementara di tingkat daerah, sampai saat ini ada 257 pemerintah kota/kabupaten yang menetapkan peraturan daerah tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Namun dalam praktiknya, penyusutan lahan pertanian masih terjadi setiap tahunnya, berkisar antara 150 ribu hingga 200 ribu hektar. Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat jika pada 2013, masih ada 7,75 juta hektar lahan sawah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun, lima tahun kemudian turun menjadi 7,1 juta hektar atau menyusut sekitar 650.000 hektar.
Tekanan terhadap areal pertanian di Pulau Jawa paling besar dibandingkan daerah lain di Indonesia. Pasalnya, sekitar 60 persen penduduk Indonesia tinggal di pulau yang hanya memiliki luas 6 persen dari total luas wilayah negara ini. Data Kementerian Pertanian menunjukkan, Pulau Jawa memiliki luas lahan sawah 3,4 juta hektar, sekitar 44 persen dari total luas persawahan di Indonesia yang mencapai 7,75 juta hektar.
Jika penyusutan lahan tersebut terus dibiarkan, area persawahan Indonesia berpotensi habis dalam 38 tahun ke depan. Peningkatan produksi pangan berkejaran dengan alih fungsi, degradasi, dan perebutan lahan untuk nonpertanian. Hal ini tentunya mengancam ketahanan pangan nasional di masa depan.
Selain penyusutan lahan, persoalan lain adalah ketimpangan penguasaan lahan. Hal itu tampak dari indeks gini lahan pertanian yang sebesar 0,59. Hal itu berarti 1 persen penduduk menguasai 59 persen aset lahan. Sedangkan sebanyak 56 persen rumah tangga tani menguasai 13,3 persen lahan pertanian. Dengan luas kepemilikan rata-rata kurang dari 0,5 hektar, upaya mendongkrak produksi pangan menghadapi tantangan berat.
Sarana dan prasarana produksi pertanian, seperti pupuk, pestisida pembasmi hama, dan alat-alat pertanian juga masih dianggap kurang memadai untuk memacu produktivitas pangan. Kelangkaan ini disebabkan oleh distribusi yang kurang baik dan tidak tepat sasaran sehingga mengakibatkan biaya produksi pertanian pun lebih tinggi.
Selain itu, kurangnya kemampuan teknis untuk melakukan budidaya tanaman pangan berdampak pada produktivitas petani yang rendah. Persoalan lain yang dihadapi adalah minimnya permodalan, minimnya penguasaan teknologi dan inovasi serta penanganan pascapanen.
Kesejahteraan Petani
Kedaulatan pangan juga berkaitan dengan kesejahteraan petani. Bila petani sejahtera maka mewujudkan kedaulatan pangan dapat dilakukan dengan baik. Namun kenyataannya, kesejahteraan petani hingga kini masih jauh dari harapan. Apalagi di tengah pandemi korona saat ini, kesejahteraan petani bisa kian tertekan.
BPS mencatat sebanyak 49,41 persen rumah tangga miskin pada 2019 menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan sumber penghasilan lain dari rumah tangga miskin lainnya. Rumah tangga miskin terbanyak yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian terdapat di desa, yaitu sebesar 63,73 persen. Sementara yang berada di perkotaan sebesar 26,71 persen.
Besarnya angka kemiskinan di pedesaan itu sudah barang tentu dimiliki oleh petani. Dengan menggunakan alat ukur Nilai Tukar Petani (NTP) dapat dilihat bahwa kesejahteraan petani kian menurun dalam tiga bulan terakhir. BPS mencatat NTP turun dari 104,16 pada Januari 2020 menjadi 103,35 pada Februari, lalu turun lagi menjadi 102,09 pada Maret.
Bulan Maret lalu, penurunan nilai tukar petani bahkan terjadi di semua subsektor, yakni mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan. Situasi itu menjadi tanda turunnya kesejahteraan petani yang merupakan produsen pangan.
Secara umum salah satu penyebabnya adalah lemahnya akses petani terhadap pasar. Hal ini menyebabkan petani terus terikat dengan institusi-institusi di desa yang tidak efisien, seperti tengkulak dan pengepul, yang sering kali membeli produk petani dengan harga yang rendah. Dengan begitu, petani hanya mendapatkan keuntungan sedikit.
Selain itu, rendahnya penghasilan petani menyebabkan terbatasnya modal petani sehingga petani terpaksa melakukan transaksi utang-piutang dengan sistem ijon. Petani biasanya meminjam sejumlah uang kepada tengkulak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagai gantinya, petani akan menjual padinya kepada tengkulak tersebut pada saat panen.
Tingkat kesejahteraan yang masih rendah di sektor pertanian menyebabkan sektor ini tak menarik bagi angkatan kerja muda. Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, jumlah petani pada 2025 nanti hanya berkisar 6 juta orang.
Hal tersebut tentunya menjadi persoalan baru bagi kedaulatan pangan dalam negeri. Ketika kebutuhan pangan meningkat, pekerja di sektor pertanian justru menurun.
Secara khusus, merebaknya pandemi Covid-19 di Tanah Air dalam tiga bulan terakhir, bisa berdampak buruk bagi kehidupan petani. Penyebabnya, adanya potensi ketidakkepastian penyerapan, yakni hasil panen dengan harga layak. Padahal petani perlu mendapatkan penghasilan agar tetap memiliki kemampuan memproduksi pangan. Kesejahteraan petani kian rentan di tengah belum tuntasnya penanganan wabah korona.
Baca juga: Fokus Pada Kesejahteraan Petani
Pekerjaan besar
Menuju kedaulatan pangan tentu bukanlah seperti menelusuri jalan lurus nan elok. Kedaulatan pangan yang berdampak pada peningkatan penghasilan petani dan serentak menuju kemandirian pangan tidak lain daripada menelusuri jalan panjang dan berliku.
Untuk itu, kebijakan yang komprehensif guna mewujudkan kedaulatan pangan perlu dikedepankan kembali. Salah satunya dengan membuat peta jalan kedaulatan pangan yang tidak hanya meningkatkan produktivitas hasil pertanian tapi juga untuk mengangkat kesejahteraan petani.
Di sisi produksi, ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian perlu terus ditingkatkan untuk meningkatkan produksi pangan. Produsen pangan juga perlu didorong agar kapasitas panennya meningkatkan, dan mengurangi kerugian pascapanen sehingga bisa meningkatkan pendapatan petani. Penyediaan mesin-mesin pertanian yang penjualannya disubsidi, hingga pengadaan pusat sewa mesin-mesin pertanian sehingga petani yang tidak mampu membeli juga bisa menyewa alat tersebut.
Pemerintah juga diharapkan mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif agar investor tertarik menanamkan modal pada usaha-usaha yang terkait dengan rantai nilai pertanian. Infrastruktur perdesaan dan jumlah penyuluh pertanian lapangan perlu ditingkatkan sehingga produksi beras meningkat, baik dalam kuantitas maupun kualitasnya.
Di sisi petani, strategi kedaulatan petani perlu dirumuskan kembali agar kehidupan mereka bisa lebih sejahtera. Distribusi pendapatan untuk petani selaku pelaku pertama dalam mata rantai produksi dan distribusi pangan perlu dibuat lebih adil.
Akhirnya, krisis yang dipicu virus korona ini bisa membuka mata bahwa persoalan pangan bukan sekedar soal ketersediaan pangan di pasaran, namun juga bagaimana upaya negara mewujudkan kedaulatan pangan. Ketergantungan impor pangan bisa membuat pangan Indonesia rentan pada faktor ekternal atau dengan kata lain indonesia semakin tidak berdaulat.
Untuk itu, semangat menciptakan kedaulatan pangan semestinya didukung dengan langkah konkret dan program yang efektif untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan pangan. Pembenahan sistem pangan bisa menjadi pekerjaan besar ke depan. (LITBANG KOMPAS)