Kartu Prakerja: Disambut Antusias, tetapi Diragukan
Program Kartu Prakerja disambut antusias oleh publik, tetapi program ini tidak diyakini mampu menjadi solusi untuk mengatasi problem sosial, seperti kebijakan PHK yang menimpa pekerja akibat Covid-19.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Kelas pekerja dihadapkan pada kemungkinan pemotongan gaji, dirumahkan, bahkan di-PHK di masa pandemi Covid-19. Salah satu upaya pemerintah mengatasi situasi pengangguran adalah dengan Kartu Prakerja. Sayangnya, hal itu dianggap tidak efektif dan menuai keraguan.
Keresahan kehilangan pekerjaan bakal menjadi panji-panji Hari Buruh pada tahun ini. Data Kementerian Ketenagakerjaan per-20 April 2020 menunjukkan, hampir 2,1 juta pekerja dari lebih 116.000 perusahaan terdampak Covid-19. Rinciannya, sebanyak 1,3 juta pekerja formal dirumahkan, 241,4 ribu pekerja formal di-PHK, dan 538,4 ribu pekerja dari sektor informal kehilangan pekerjaan.
Selain fakta banyak pekerja yang terdampak, hasil jajak pendapat Kompas pada 22-24 April lalu pun merekam keresahan publik terkait situasi ini. Sebanyak 19,1 persen responden khawatir kehilangan pekerjaan atau sulit mendapatkan pekerjaan baru di masa pandemi ini. Sementara 23,8 persen publik berharap pemerintah dapat memastikan tidak ada pemecatan sepihak oleh perusahaan pada karyawan.
Sudah jatuh tertimpa tangga, bagi kelas pekerja yang terdampak, kehilangan pekerjaan makin mempersulit perjuangan hidup di tengah wabah. Salah satu program pemerintah yang telah dimodifikasi untuk mengatasi situasi ini juga direspons pesimistis oleh publik.
Awalnya, pemerintah mengalokasikan Rp 10 triliun untuk membiayai pelatihan dan insentif bagi dua juta peserta Kartu Prakerja.
Program yang dimodifikasi itu adalah program Kartu Prakerja. Dalam lintasan waktu, Kartu Prakerja telah disebut-sebut dalam kampanye Pemilu 2019 oleh pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sejak Maret 2019.
Awalnya, Kartu Prakerja bertujuan untuk membekali angkatan kerja dengan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan Revolusi Industri 4.0. Pemerintah mengalokasikan Rp 10 triliun untuk membiayai pelatihan dan insentif bagi dua juta peserta.
Satu tahun berselang setelah dicetuskan, pada Maret 2020 program Kartu Prakerja menghangat dibicarakan. Pemerintah mempercepat penerapan Kartu Prakerja dan mengubah fokus program yang disesuaikan dengan kondisi pandemi Covid-19.
Program ini berada di bawah Komite Cipta Kerja yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja.
Diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan Wakil Ketua Kepala Staf Kepresidenan, Komite beranggotakan enam menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Perindustrian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. Bertindak sebagai Sekretaris Komite, Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Anggaran Kartu Prakerja dinaikkan menjadi Rp 20 triliun dan jumlah penerima manfaat ditambah menjadi 5,6 juta orang.
Pada 20 Maret laman Kartu Prakerja www.prakerja.go.id diluncurkan. Kini, program ini diprioritaskan bagi pencari kerja dan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang terdampak penghidupannya karena wabah Covid-19.
Anggaran Kartu Prakerja dinaikkan menjadi Rp 20 triliun dan jumlah penerima manfaat ditambah menjadi 5,6 juta orang. Untuk pekerja informal, tahap awal Kartu Prakerja akan diberikan pada sektor transportasi daring, ritel, pariwisata, transportasi, konstruksi, dan properti.
Seleksi penerima Kartu Prakerja dijadwalkan akan dibuka hingga tiga puluh gelombang. Gelombang pertama dilaksanakan pada 11-16 April yang diikuti oleh 3,3 juta akun terverifikasi. Sebanyak 168.111 peserta lolos mendapatkan manfaat Kartu Prakerja. Saat berita ini diturunkan, gelombong ketiga sudah mulai dilaksanakan pada 27-30 April 2020.
Peserta yang lolos seleski akan menerima Rp 3.550.000 dengan rincian Rp 1 juta yang hanya bisa digunakan untuk biaya pelatihan, insentif sebesar Rp 600.000 yang akan diterimakan per bulan selama empat bulan, dan insentif survei sebesar Rp 150.000.
Cara mendaftar dengan menyertakan data diri dan situasi terkini terkait pekerjaan. Mengikuti tes pengetahuan umum lalu ditanya soal nomor rekening. Lalu menunggu evaluasi untuk menentukan apakah pendaftar lolos atau tidak.
Publik antusias, tetapi pesimistis
Publik memberikan respons terkait perubahan dan eksistensi program Kartu Prakerja saat ini. Hasil jajak pendapat Kompas memotret, responden menunjukkan antusiasme terhadap program ini, sayangnya pesimistis terhadap keberhasilannya.
Kelompok publik berusia 22-30 tahun merupakan golongan yang menunjukkan antusiasme tertinggi.
Mayoritas publik (76,5 persen) mengetahui tentang program Kartu Prakerja. Sebagian lainnya (9,2 persen) bahkan sudah mencoba untuk mendaftarkan diri sebagai peserta. Hanya 14,2 persen yang tidak tahu mengenai program ini.
Kelompok publik berusia 22-30 tahun merupakan golongan yang menunjukkan antusiasme tertinggi. Sebanyak 69 persen mengetahui dan 21,1 persen sudah mendaftar diri. Publik yang berusia di atas 30 tahun juga menunjukkan antusiasme yang tinggi, tetapi cenderung tidak ikut berpartisipasi untuk mendaftarkan diri. Kelompok usia 31-40 dan 41-52 tahun hanya sekitar 8,5 persen yang mendaftarkan diri.
Hal ini senada dengan proporsi penduduk menganggur yang ada di rentan usia muda. Menurut siaran pers Kemenko Perekonomian pada 20 Maret 2020, terdapat sekitar tujuh juta penduduk yang menganggur dan 3,7 juta-nya berusia 18-24 tahun. Sebanyak 78 persennya berpendidikan SMA ke atas.
Hanya 16,7 persen publik yang yakin program ini dapat membantu angkatan kerja mendapatkan pekerjaan.
Di tengah jumlah publik yang terbilang tinggi terkait pengetahuan pada program Kartu Prakerja, keyakinan pada keberhasilan program ini justru rendah. Hanya 16,7 persen publik yang yakin program ini dapat membantu angkatan kerja mendapatkan pekerjaan. Sebagian besar justru pesimistis.
Sebanyak 78,6 persen publik pesimistis terhadap keberhasilan program. Alasan yang disampaikan oleh 43,8 persen publik, persoalan sesungguhnya terkait pekerjaan adalah lapangan pekerjaan yang tetap sempit. Alasan lain yang dikemukakan oleh 34,8 persen responden lainnya adalah karena program ini rentan disalahgunakan.
Selama Maret hingga April 2020, pro dan kontra juga terus menghiasi pemberitaan. Arsip Kompas pada rentan waktu tersebut merekam kekhawatiran publik yang menganggap program tersebut tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan, hal yang dibutuhkan adalah bantuan insentif langsung dan pekerjaan baru. Bukan pelatihan yang disediakan oleh program ini.
Dari sisi usia, ketidakyakinan tertinggi ditunjukkan oleh kelompok usia 31-52 tahun. Sebanyak 80 persen lebih publik dari kelompok ini tidak yakin dengan keberhasilan program karena alasan yang sudah disampaikan di atas.
Sementara itu, kelompok usia yang paling berpartisipasi dengan program (22-30 tahun) sekaligus menunjukkan optimisme terhadap program ini. Sebanyak 20 persen publik dari kelompok ini yakin dan merupakan proporsi tertinggi di antara kelompok usia lainnya.
Di tengah usaha pemerintah, publik masih tetap khawatir. Kekhawatiran ini juga dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan kepada pemerintah dalam mengusahakan penanganan Covid-19.
Sebanyak 36,7 persen publik menganggap pemerintah setengah-setengah dalam mempertahankan kualitas pelayanan publik, tidak terkecuali di bidang ketenagakerjaan. (LITBANG KOMPAS)