Pengembara Jalanan, Penjaga Kebersihan Kota
Jauh sebelum Indonesia merdeka, fenomena gelandangan sebagai cikal bakal pemulung telah ada di masyarakat Jawa tradisional.
Gelandangan yang menjadi awal munculnya pemulung, pada masanya identik dengan pengembara yang dianggap memiliki makna romantis.
Makna romantis, menurut buku Pemulung Jalanan Yogyakarta (Argo, 1999), tersemat dalam diri para pengembara berkat kegiatan mulia yang mereka lakukan. Selama perjalanan dari satu kerajaan ke kerajaan lain, pengembara ini membagi pengetahuan, adat kebiasaan di lingkungan kerajaan, etika, dan spiritual.
Kondisi ini mulai berubah saat Pemerintah Kolonial Belanda menentukan batas teritorial desa pada 1830. Langkah ini dilakukan Belanda agar dapat mengontrol masyarakat dan mempertahankan kekuasaannya di Indonesia. Kekuasaan Belanda saat itu sering diganggu oleh pemberontakan yang dilakukan para pengembara.
Makna pengembara kemudian terbagi dua. Bagi masyarakat Indonesia, aktivitas menggelandang yang dilakukan pengembara tersebut adalah hal yang positif. Pengembara dianggap sebagai orang yang membantu perang gerilya melawan Belanda. Sebaliknya, makna pengembara menjadi negatif di mata pemerintah Belanda.
Belanda terus mengkonstruksi label negatif keberadaan gelandangan. Bahkan, aktivitas ini dilarang menurut hukum kolonial Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië yang kini diadopsi menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Aturan ini disahkan melalui Staatsblad tahun 1915 Nomor 732 dan berlaku sejak 1 Januari 1918.
Pasca Kemerdekaan
Pasca-kemerdekaan, aktivitas pergelandangan kian marak, tetapi bukan dalam konteks peperangan. Tahun 1950-an, mulai berkembang teknologi plastik. Berbagai produk seperti pakaian, makanan, dan minuman juga mulai dibungkus dengan plastik.
Banyak gelandangan kemudian memungut sampah bungkus plastik dan memasukkan ke dalam keranjang kayu di punggung mereka. Kegiatan ini dilakukan sebab sampah dinilai memiliki nilai dan ada orang lain yang mau membelinya kembali. Sejak itu sebutan pemulung ramai digunakan untuk memanggil gelandangan yang melakukan aktivitas memungut sampah tersebut.
Meski demikian, label negatif terhadap para gelandangan pengais sampah tersebut masih melekat. Hal tersebut dikuatkan oleh pemberlakuan KUHP di seluruh Indonesia melalui UU Nomor 73 Tahun 1958. Tidak ubahnya masa pemerintahan Belanda, pelarangan aktivitas pergelandangan tertuang dalam KUHP Pasal 505 dengan pidana kurungan maksimal tiga bulan.
Seiring berjalannya waktu, jumlah gelandangan yang menggantungkan hidup melalui kegiatan memulung semakin banyak. Menurut pemberitaan Kompas, jumlah pemulung di Jakarta pada1980 sudah mencapai 3.000 orang dan tahun 1988 meningkat sepuluh kali lipat. Selain karena tekanan ekonomi perkotaan, juga dipicu banyaknya sampah karena peningkatan penduduk kota.
Di tengah pekerjaan yang dipandang sebelah mata oleh banyak orang, harkat para pemulung sempat diangkat oleh sejumlah pejabat negara. Pertama diawali oleh Gubernur DKI Jakarta Henk Ngantung (1964-1965). Henk sempat berencana melibatkan para pemulung dalam pengolahan sampah kota. Namun rencana ini tidak terlaksana di masa jabatan Henk yang sangat singkat.
Kedua yaitu ketika Presiden Soeharto menjuluki pemulung sebagai ”Laskar Mandiri” pada tahun 1988. Pemulung diakui sebagai pelaku ekonomi yang aktif dan berguna bagi lingkungan hidup kota. Namun, bagai bunga layu sebelum berkembang, julukan dan apresiasi yang diberikan pada tahun itu tidak dibarengi dengan kebijakan pemerintah yang menguntungkan para pemulung.
Pada tahun yang sama, Pemerintah Indonesia justru mulai membuka keran impor sampah plastik. Menurut data BPS, tahun 1988 total berat sampah plastik yang diimpor mencapai 8.000 ton dan angka ini terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Tidak hanya plastik, sampah kertas bahkan mulai diimpor sebelum tahun 1985 dengan tren peningkatan yang sama.
Impor sampah ini merugikan pemulung karena dapat mengurangi harga jual barang pulungan di tingkat pelapak. Mengutip dari artikel ”Masalah Sampah Plastik Impor dan Dampaknya terhadap Lingkungan Hidup (Salman, 1996)”, harga penjualan pemulung turun 50 persen dari Rp 6.000 menjadi Rp 3.000 per hari. Kondisi ini kembali pulih setelah diberlakukan SK Menteri Perdagangan No. 349/Kp/XI/1992 tentang larangan impor sampah plastik.
Baca juga: Pemulung, Antara Berkah dan Stigma
Tipe Pemulung
Kini, pemulung kian bertambah banyak dengan cara bekerja yang berbeda-beda. Pemulung dibagi menjadi dua tipe, yaitu pemulung jalanan atau tidak menetap dan pemulung menetap. Menurut buku ”Potret Kehidupan Pemulung (Bagong, 2015)” disebutkan, pemulung tipe pertama, yaitu pemulung yang memungut sampah dengan cara berkeliling dari gang kampung, tempat pembuangan sementara (TPS), taman kota, pinggir jalan, hingga pinggir sungai.
Sementara pemulung menetap, yaitu pemulung yang mencari sampah di satu lokasi seperti di TPA/TPST. Mereka bermukim di gubung kardus, tripleks, seng bekas, atau terpal di sekitar TPA/TPST. Pemulung menetap ini dibagi lagi menjadi dua yaitu mereka yang 100 persen menggantungkan hidupnya pada sampah dan pemulung musiman. Pemulung musiman akan memulung setelah tanam atau panen padi atau palawija di kampung.
Di dalam jaringan industri daur ulang, pemulung berada di level paling bawah. Mereka melaksanakan tugasnya sebagai ’pengumpul’. Di atas level itu ada ’perantara’ yang terdiri atas beberapa jenis. Mulai dari lapak, pemasok, bandar, dan penggiling serta pemroses plastik. Sementara level paling atas adalah ’produsen’ yang berupa pabrik pengolahan dari skala besar hingga rumah tangga.
Meski tak tertulis, setiap level ini bekerja dengan mematuhi sistematika yang ada. Pemulung biasanya menjual barang pulungan kepada lapak dalam bentuk gabrukan dengan berbagai jenis sampah. Jika pemulung menjual barang pulungannya langsung kepada penggiling plastik, pengusaha penggiling akan mendapat teguran dari para pelapak karena dianggap mengambil jatah rezeki mereka.
Pemulung memilah sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Sarimukti di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (19/2/2020).Kesejahteraan Rendah
Berada di level paling bawah dalam jaringan daur ulang, perputaran uang yang mengalir sampai di tangan pemulung sangat kecil. Penghasilan yang diperoleh pemulung tergantung seberapa giat mereka mencari sampah di hari itu juga. Contohnya salah satu pemulung di Kota Bogor dalam sehari mendapatkan uang antara Rp 3.000 hingga Rp 10.000 (Kompas.com, 12/7/2019).
Penghasilan yang sangat kecil itu mereka gunakan untuk membeli sesuap nasi demi tetap menyambung nyawa. Tidak jarang pemulung menghabiskan uang yang mereka peroleh di hari itu juga. Hal ini biasa dilakukan terutama bagi para pemulung jalanan. Mereka melakukannya sebab tidak ada tempat yang aman untuk menyimpan uang ketika mereka terlelap di sembarang tempat.
Kondisi ini sedikit berbeda dengan pemulung menetap, khususnya mereka yang menetap di tempat yang disediakan pelapak. Di tempat ini mereka biasanya mendapat sejumlah fasilitas seperti pinjaman gerobak dan uang. Meski setelah itu mereka terikat dengan pelapak melalui uang angsuran yang dipotong dari barang pulungan yang disetor tiap harinya.
Di tengah keterbatasan ekonomi, pemulung juga sangat berjarak dengan fasilitas sosial seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan. Bahkan, ada cerita yang menjelaskan strategi pemulung jalanan untuk bertahan hidup. Ketika menderita sakit serius, tidak ada pilihan selain tidur di pinggir jalan agar dirazia petugas dan mendapat pengobatan di panti penampungan sosial.
Stigma negatif
Di lapangan, label negatif terhadap pemulung telah merasuk di mayoritas kalangan masyarakat. Keberadaan pemulung kerap kali ditolak sebab dianggap sebagai gangguan dan potensi sumber kriminalitas. Bahkan, tidak jarang ditemui peringatan ”Pemulung Dilarang Masuk” di sejumlah jalan lingkungan permukiman penduduk.
Di tengah masyarakat, pemulung dan karung goninya kerap kali dijadikan sosok untuk menakuti anak yang nakal. Mereka juga kerap kali menjadi seorang tertuduh ketika bertepatan ada di lokasi kejadian kriminalitas. Jika beruntung, pemulung ini dapat melanjutkan perjalanan tanpa membawa luka karena terhindar dari aksi main hakim sendiri warga.
Hal serupa juga terjadi di kalangan pemerintah. Pemulung masih dianggap sebagai kaum marginal dan pengganggu ekstetika kota. Jika ditemukan petugas, pemulung jalanan dirazia dan dibina di panti paling cepat satu bulan. Setelah selesai pembinaan, biasanya ada dua pilihan yang ditawarkan pemerintah, yaitu pulang kampung halaman dan program Transmigrasi.
Dua solusi pemerintah tersebut kerap kali tidak tepat sasaran. Program Pulang Kampung, misalnya. Rata-rata pemulung bermigrasi ke kota karena faktor pendorong dari kampung halaman seperti kondisi ekonomi, perselisihan keluarga, hingga adat budaya di desa. Jika dibalikkan ke kampung, dengan faktor pendorong tersebut, pemulung akan lebih memilih kembali ke jalanan di kota.
Stigma negatif pemulung terus berkembang dari dulu hingga sekarang. Banyak yang tidak menyadari pemulung telah berperan penting dalam menangani sampah kota, menjalankan fungsi reduce, reuse, recycle (3R), dan mengurangi impor sampah.
Pemulung memungut sampah di jalanan, selokan ataupun dari tempat sampah warga yang dampaknya mengurangi sampah yang masuk ke TPA. Hasil pemilahan sampah akan dijual ke industri daur ulang sebagai bahan baku. Jika sistem ini berjalan lancar, akan mengurangi impor plastik yang selama ini dijalankan.
Peran penting ini cenderung dilupakan. Laskar Mandiri yang pernah disematkan pada masa lalu tak berlaku lagi di masa sekarang.
Walaupun sulit, cara pandang ini harus diubah. Para pengembara ini tetap melakukan kegiatan mulianya seperti dulu. Mengembara di jalanan sambil membawa kantong dan menarik gerobak. Hanya sekarang diwujudkan dengan memungut, memilah, dan menggunakan sampah kembali sambil tetap mengembara untuk menjaga kebersihan kota. (LITBANG KOMPAS)