Jalan Rapuh Para Pemulung
Bekerja menjadi sebagai pemulung seperti meniti jalan rapuh, rentan terperosok dalam keterpurukan ekonomi dan ancaman penyakit.
Menjadi seorang pemulung boleh jadi merupakan pilihan yang akan dihindari oleh sebagian besar masyarakat. Pasalnya, menjadi pemulung ibarat akan berhadapan dengan banyak stigma dan persoalan, antara lain kerentanan ekonomi dan penyakit.
Kendati belum tentu benar 100 persen, sejumlah parameter mengindikasikan problem kerentanan kesehatan para pemulung. Dilihat dari skala nasional, jumlah pekerja yang terjun di bidang ”kotor” itu boleh jadi tidak sebanyak bidang pekerjaan lain.
Berdasarkan Statistik Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia pada Agustus 2019, BPS, menunjukkan jumlah pekerja yang menggeluti sektor persampahan itu kurang dari 1 persen. Pada tahun 2016-2019, jumlah pekerja di sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah, dan daur ulang itu rata-rata hanya sekitar 400.000 orang per tahun. Jumlah ini hanya sekitar 0,33 persen dari total jumlah pekerja di Indonesia yang jumlahnya 122 juta per tahun.
Ironisnya, jumlah pekerja yang relatif sedikit itu ternyata juga tidak memberikan kesejahteraan bagi para pelakunya. Nilai tambah hasil produksi barang dan jasa kelompok persampahan tersebut relatif sangat kecil sehingga tidak mampu memberikan penghasilan yang banyak bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya.
Pada 2017-2019, sumbangan sektor terkait persampahan ini pada produk domestik bruto (PDB) rata-rata hanya sekitar Rp 10 triliun per tahun. Nilai ini hanya berkontribusi 0,07 persen bagi PDB nasional yang jumlahnya sekitar Rp 15.000 triliun setahun. Nilai sumbangan ini adalah yang terkecil di antara kelompok usaha penyumbang perekonomian nasional.
Baca juga : Pengembara Jalanan, Penjaga Kebersihan Kota
Pendapatan rendah
Nilai kontribusi yang sangat kecil tersebut merupakan cerminan pendapatan minim yang diperoleh para pekerjanya. Dengan nilai PDB sektor persampahan sekitar Rp 10 triliun per tahun dan memiliki jumlah pekerja di sektor bersangkutan sekitar 400.000 orang, apabila dibagi rata akan menghasilkan pendapatan tahunan sekitar Rp 21,8 juta.
Artinya, dalam sebulan diperkirakan angka pendapatan para pekerja sektor persampahan ini sekitar Rp 1,82 juta per orang. Nilai ini relatif sangat kecil dan berada di bawah standar hidup yang layak.
Berdasarkan laporan terbaru, Data Sosial Ekonomi BPS pada April 2020, nilai upah kelompok pendaur ulang tersebut masih di bawah rata-rata pendapatan buruh pabrik. Kelompok pengelola sampah hanya Rp 2,48 juta per bulan, sedangkan upah buruh bulanan sudah Rp 2,91 juta.
Penghasilan menggeluti sektor persampahan pun dapat dikatakan ”semu”. Estimasi penghasilan hingga lebih dari Rp 2 juta sebulan itu hanya diterima bagi pekerja pengelolaan sampah sangat mungkin diperoleh pekerja daur ulang persampahan, bukan pada level pemungut sampah.
Berdasarkan data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2019, jumlah individu pemulung mencapai 154.249 orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Apabila dikerucutkan dalam satuan kepala keluarga (KK), jumlahnya 109.919 KK pemulung.
Penghasilan pemulung secara individu, merujuk data TNP2K, hanya Rp 109.000 per bulan. Sementara, rata-rata pendapatan pemulung pada tingkat rumah tangga sedikit ”lebih baik”, yakni sekitar Rp 154.000 sebulan. Data yang disodorkan TNP2K tersebut adalah individu atau rumah tangga pemulung yang status kesejahterannya, termasuk 40 persen terendah di Indonesia.
Indikasi lain juga menunjukkan, pekerjaan di sektor persampahan identik dengan kemiskinan. Pada 2019, jumlah pekerja kelompok persampahan sekitar 494.000 orang, sedangkan jumlah pemulung miskin berdasarkan laporan TNP2K sebanyak 154.000 orang. Artinya, sekitar 31 persen pekerja yang menopang kelompok ekonomi persampahan tersebut adalah kaum miskin yang belum sejahtera.
Aktivitas terkait persampahan di hampir semua provinsi Indonesia ditopang pekerja pemulung. Ada 11 provinsi dari total 34 provinsi yang mencatat pekerja pemulung mencapai sepertiga dari seluruh pekerja di sektor pengelolaan sampah. Provinsi tersebut adalah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Barat, dan Maluku.
Rentan terpapar penyakit
Pekerjaan yang bersentuhan dengan sampah juga identik dengan ancaman penyakit. Pemulung merupakan orang pertama yang rentan terpapar berbagai macam jenis penyakit dari berbagai sampah yang dipungutnya.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menunjukkan sejumlah penyakit memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Penyakit itu adalah ISPA, pneumonia, TB, dan hepatitis.
Indikasinya terlihat dari angka prevalensi penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), pneumonia atau radang paru-paru, tuberkulosis (TB), dan penyakit hepatitis atau peradangan hati. Prevalensi adalah jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada waktu tertentu.
Hasil survei Riset Kesehatan Dasar (Reskesdas) dari Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan prevalensi keempat jenis penyakit tersebut di seluruh Indonesia mencapai 1,02 juta orang. Dalam keempat kasus tersebut, posisi pemulung sangat rentan. Hal ini terindikasi dari profil prevalensi keempat penyakit tersebut berdasarkan kelompok pekerjaannya.
Data Riskesdas 2018 menunjukkan, prevalensi ISPA, pneumonia, TB, dan hepatitis menurut kelompok pekerjaan lainnya sekitar 40.000 orang. Sementara itu, jumlah pemulung di level kesejahteraan 40 persen terendah menurut laporan TNP2K yang mencapai 154.000 orang.
Perbandingan dua data paling tidak menggambarkan adanya peluang 1 dari 3 pemulung menderita ISPA, pneumonia, TB, atau hepatitis. Rasio ini, walaupun tidak serta-merta menunjukkan 1 dari 3 pemulung mengidap penyakit-penyakit tersebut, menjadi gambaran risiko yang dihadapi para pemulung.
Baca juga : Pemulung Hadapi Masalah Berlipat Saat Pandemi Covid-19
Ancaman Covid-19
Jumlah pemulung terbanyak di Indonesia berdasarkan laporan TNP2K berada di wilayah Jabar, Jateng, dan Jatim. Ke-3 provinsi ini jumlah pemulungnya rata-rata lebih dari 27.000 orang. Bahkan, di Jatim, angkanya mencapai 44.000 orang atau 29 persen dari total nasional.
Prevalensi penyakit ISPA, pneumonia, TB, dan hepatitis di ke-3 provinsi itu adalah yang terbesar di Indonesia. Setiap daerah angka prevalensinya lebih dari 130.000 orang. Artinya, peluang para pemulung untuk terpapar sejumlah penyakit di tiga wilayah itu juga sangat besar.
Kini, pemulung tidak hanya rentan terpapar keempat penyakit tersebut. Pemulung juga rentan terpapar Covid-19.
Hingga minggu pertama Mei ini, data pergerakan kasus positif Covid-19 Indonesia menunjukkan, hampir sepertiga penyakit tersebut berada di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Keempat daerah tersebut juga menunjukkan tren kasus positif Covid-19 harian yang masih terus meningkat (Kompas, 8/5/2020).
Baca juga : Pemulung, Antara Berkah dan Stigma
Pemulung, khususnya di provinsi-provinsi yang kini menjadi kawasan pandemi baru, juga rentan terpapar Covid-19 dari pembuangan limbah medis, seperti masker dan alat pelindung diri.
Salah satu contohnya adalah limbah medis dari RSPI Sulianti Saroso, salah satu rumah sakit rujukan pasien Coviid-19. Pada Maret, dari rumah sakit tersebut didapat 4.500 kilogram (kg) limbah medis. Sampah medis RSPI Sulianti Saroso meningkat 61,1 persen dibandingkan limbah medis dari rumah sakit yang sama pada awal tahun ini (Kompas, 11/5/2020).
Angka limbah medis dari RSPI Sulianti Saroso barulah contoh kasus di satu rumah sakit. Masih ada banyak rumah sakit yang menangani kasus Covid-19. Selain itu, tidak sedikit juga limbah medis berupa sampah masker atau sarung tangan yang bersumber dari rumah tangga. Dalam kondisi demikian, pada akhirnya perjalanan pemulung mengais rejeki kian rapuh dari hari ke hari.
(LITBANG KOMPAS)