Perubahan Wajah Kota di Balik Wabah
Wabah penyakit mengubah tatanan kehidupan, tak terkecuali penataan kota. Momen ini dapat dimanfaatkan untuk merancang kembali kehidupan perkotaan yang lebih layak.
Wabah penyakit mengubah tatanan kehidupan, tak terkecuali penataan kota. Momen ini dapat dimanfaatkan untuk merancang kembali kehidupan perkotaan yang lebih layak.
Pandemi membawa perubahan pada perilaku masyarakat dan tata kota. Sejarah mencatat, wabah penyakit turut andil dalam mengubah wajah perkotaan. Pada abad ke-19, hal tersebut ditandai dengan perubahan infrastruktur kota karena epidemi kolera. Peristiwa ini juga menjadi tonggak sejarah penataan sanitasi perkotaan yang lebih layak.
Pada tahun 1831-1832 dan 1848-1849, kolera menyebar hampir ke seluruh dunia, termasuk Inggris, Amerika, dan Perancis. Penyebarannya diduga berasal dari orang-orang yang berlayar dari satu tempat ke tempat lain.
Pandemi membawa perubahan pada perilaku masyarakat dan tata kota.
Saat itu, belum ditemukan penyebab pasti wabah. Bakteri Vibrio cholerae, penyebab penyakit yang menyerang pencernaan ini, baru ditemukan pada 1883.
Meskipun belum diketahui pasti penyebabnya, seorang dokter di Inggris, Dr John Snow, pada 1854, mulai mengamati keterkaitan antara penyakit ini dan air yang terkontaminasi limbah. Ia memetakan lokasi kasus kolera pada peta daerah kejadian, yaitu di Soho (suburban London).
Dari peta tersebut diketahui bahwa lokasi kasus tidak jauh dari pompa umum. Mayoritas kasus terkait dengan pengambilan air dari pompa air yang terkontaminasi air bercampur popok bayi dari kolam di sekitarnya.
Berdasarkan penelitian ini dan bersamaan dengan peristiwa The Great Stink (bau tak sedap dari Sungai Thames), Pemerintah Inggris segera membangun sanitasi serta pembuangan limbah yang lebih layak. Melalui rancangan Joseph Bazalgette, terbangunlah saluran drainase baru, terowongan bawah tanah, hingga stasiun pompa limbah untuk membuang limbah rumah tangga ke industri jauh dari pusat kota.
Amerika Serikat juga melakukan pencegahan epidemi kolera dengan membangun saluran air Croton untuk menyediakan air bersih bagi penduduk New York. Selain itu, pada 1866 pemerintah mulai melakukan kajian dan perencanaan penyediaan air bersih serta sanitasi di bawah koordinasi Dewan Kesehatan Metropolitan.
Di Perancis, Baron Housmaan mendapat perintah untuk merombak kota Paris. Jalan utama dilebarkan hingga puluhan meter. Selokan dipindahkan dari bagian tengah ke sisi jalan. Sistem pembuangan limbah bawah tanah dibangun. Permukiman kumuh dibongkar dan diganti dengan apartemen.
Perbaikan infrastruktur perkotaan segera dilakukan karena bakteri penyebab kolera cepat menyebar di lingkungan yang kumuh. Dengan upaya tersebut, wabah kolera dapat dicegah.
Moda transportasi
Pengalaman-pengalaman di atas memberikan harapan di balik keganasan wabah penyakit. Kota dapat dibangun lebih baik lagi, minimal untuk mencegah terjadinya penyakit menular. Pandemi Covid-19 juga diharapkan menjadi momen yang dimanfaatkan untuk kembali menata kota.
Meskipun cara penularan Covid-19 berbeda dengan kolera, ada beberapa hal yang diperkirakan menjadi awal baru bagi kehidupan perkotaan. Covid-19 mengharuskan masyarakat tak berkerumun, bepergian, dan mengurangi kontak fisik.
Hal ini menyebabkan berkurangnya aktivitas dan mobilitas. Akibatnya, kualitas udara meningkat karena polusi udara berkurang.
Momen ini dimanfaatkan Milan di Italia untuk menata ulang wajah kota dengan memberikan ruang lebih besar bagi jalur sepeda. Pemerintah ingin mencegah peningkatan penggunaan kendaraan pribadi setelah kebijakan lockdown atau karantina dicabut. Masyarakat dikhawatirkan akan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi karena masih cemas untuk menggunakan transportasi umum yang dapat berkontak dengan banyak orang.
Rencana yang disebut The Strade Aperte ini dilakukan dengan melebarkan jalur sepeda sepanjang 35 kilometer. Dalam rencana itu juga tercantum aturan batas jalur sepeda baru, perluasan dan pembangunan trotoar, batas kecepatan kendaraan, serta prioritas pejalan kaki dan pesepeda di jalan.
Konsep yang sama akan diterapkan Paris setelah kebijakan karantina dicabut. Rencana untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sudah lama digaungkan oleh Wali Kota Anne Hidalgo. Saat pembatasan fisik dan karantina wilayah seperti saat ini, urgensi tersebut meningkat.
Momen ini dimanfaatkan Milan di Italia untuk menata ulang wajah kota dengan memberikan ruang lebih besar bagi jalur sepeda.
Ia berencana menetapkan kebijakan permanen untuk membatasi penggunaan mobil, terutama mobil tua. Selain itu, ruang bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda akan ditambah.
Sebelumnya, beberapa negara, seperti Jerman, Hongaria, Kanada, Amerika Serikat, dan Kolombia, telah mengatur ulang jalan utama untuk digunakan sebagai jalur sepeda. Sepeda menjadi moda transportasi yang disarankan bagi masyarakat dalam bepergian selama lockdown. Dengan menggunakan sepeda, masyarakat dapat mengurangi kontak dengan orang lain.
Selain itu, anjuran penggunaan sepeda bagi mobilitas penduduk didasarkan pada penelitian tentang hubungan kualitas udara dengan Covid-19. Baru-baru ini, penelitian Harvard University menyebutkan, tingginya partikel PM 2,5 berhubungan dengan tingginya angka kematian Covid-19. Maka, penggunaan sepeda dinilai akan lebih ramah lingkungan dan dapat mengurangi risiko kematian akibat Covid-19.
Pelebaran jalur sepeda dilakukan karena jalur yang telah ada dianggap tak memenuhi aturan pembatasan fisik. Sesuai aturan ini, batas jarak antarpesepeda atau pejalan kaki harus 1,5 meter. Maka, jalan utama yang sepi karena berkurangnya penggunaan mobil digunakan untuk jalur pesepeda.
Teknologi nirsentuh
Perubahan wajah kota agar siap menghadapi wabah juga didukung dengan perkembangan teknologi.
Untuk mencegah penyebaran penularan Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengimbau masyarakat untuk mengurangi kontak fisik. Bersalaman sebisa mungkin dihindari. Di tempat umum, masyarakat juga diimbau untuk mengurangi mengusapkan tangan ke wajah karena tangan kita bisa saja memegang benda yang terpapar virus korona.
Karena itu, teknologi touchless atau nirsentuh sangat dibutuhkan. Pada masa depan, sangat mungkin kita tak perlu melakukan kontak fisik untuk mengoperasikan fasilitas di tempat-tempat publik. Kita akan banyak dilayani oleh teknologi tanpa harus menyentuhnya, seperti pintu otomatis dan penyedia sabun otomatis di toilet.
Penggunaan teknologi ini telah dimulai di beberapa wilayah guna merespons Covid-19. Salah satunya dengan mengganti lampu rambu pejalan kaki dengan perangkat otomatis. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi sentuhan tangan pejalan kaki di tombol lampu rambu sehingga penyebaran virus korona berkurang.
Sebelumnya, saat ingin menyeberang, pejalan kaki harus menekan tombol pada alat pengatur penyeberangan. Kini, mereka tak perlu lagi menekan tombol. Lampu sinyal akan otomatis berubah ketika ada pejalan kaki yang hendak menyeberang.
Virus yang dapat menempel membuat masyarakat takut menyentuh benda yang berada di tempat publik. Melihat kekhawatiran ini, perusahaan teknologi Jepang yang menguasai sekitar 50 persen pasar sensor global berlomba-lomba mengembangkan teknologi nirsentuh.
Contohnya, perusahaan teknologi NEC berencana menjual produk keamanan yang dapat mengenali wajah orang meski mengenakan masker. Fujitec mulai berinovasi menghasilkan teknologi yang memungkinkan pengguna lift untuk memilih nomor lantai tujuan tanpa menyentuh tombol. Toshiba memproduksi teknologi sensor untuk menu restoran sehingga pengguna dapat memilih menu pada proyeksi pilihan menu di meja makan.
Tak hanya itu, perusahaan Shekel Brainweigh mengembangkan Autonomous Micro Market. Produk ini berupa kapsul berisi beberapa mesin penyedia minuman atau makanan yang dilengkapi teknologi LIDAR untuk mendeteksi konsumen. Sensor ini memberikan sinyal untuk mengatur pengunjung yang masuk ke kapsul sehingga praktik pembatasan fisik dapat diterapkan.
Kesehatan
Isu kesehatan juga tak luput dipertimbangkan dalam penataan kota. Tidak perlu menunggu epidemi atau pandemi terjadi, hal tersebut dapat dimulai dengan mempertimbangkan tren penyakit kronis yang kini banyak diderita masyarakat.
Ragam penyakit kronis, seperti jantung iskemik, stroke, gangguan paru-paru, alzheimer dan dementia, kanker, serta diabetes melitus menjadi penyebab kematian di dunia. Kota yang sehat seharusnya mampu berpartisipasi untuk mengurangi risiko penyakit kronis pada penduduknya.
Kota yang sehat seharusnya mampu berpartisipasi untuk mengurangi risiko penyakit kronis pada penduduknya.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa penataan desain dan infrastruktur kota berdampak pada kesehatan penduduknya. Sebuah penelitian di tujuh kota metropolitan di Korea Selatan menyebutkan, penduduk yang tinggal di area dengan ruang hijau lebih luas memiliki risiko kardiovaskular lebih rendah. Selain itu, penelitian lain menyebutkan, ketersediaan sarana transit transportasi umum meningkatkan aktivitas fisik bagi penduduk kota.
Berbagai konsep pembangunan kota, seperti kota tangguh, kota hijau, kota berkelanjutan, dan walkable city telah dicanangkan untuk membentuk kota yang layak huni bagi penduduknya. Namun, konsep tersebut masih berhadapan dengan minimnya implementasi kebijakan.
Pandemi saat ini hendaknya menjadi momen untuk merumuskan penataan kota yang layak dalam sektor ekonomi, sosial, ataupun kesehatan. Karena itu, dibutuhkan inisiatif dari pemerintah dan kesadaran sosial dari masyarakat bersama-sama untuk membangun kota yang lebih baik. (LITBANG KOMPAS)