Jaring-jaring Pengaman Krisis
Bukan kali ini saja Indonesia menghadapi dampak sosial ekonomi akibat krisis ekonomi. Mencegah keterpurukan daya beli masyarakat menjadi benang merah penanganan krisis-krisis yang selama ini terjadi.
Bukan kali ini saja Indonesia menghadapi dampak sosial ekonomi akibat krisis ekonomi. Mencegah keterpurukan daya beli masyarakat menjadi benang merah penanganan krisis-krisis yang selama ini terjadi.
Gejolak nilai mata uang yang memicu krisis ekonomi terjadi di beberapa negara di Asia pada 1997. Indonesia pun turut terimbas. Nota Keuangan dan RAPBN 1999/2000 mencatat, pada bulan Juni 1997, kurs rata-rata rupiah terhadap dolar AS masih berada pada angka Rp 2.447. Namun, setahun kemudian, kurs rupiah terhadap dollar AS mengalami depresiasi hingga menyentuh Rp 14.700 pada pertengahan Juli 1998.
Upaya memperbaiki nilai tukar rupiah ditempuh dengan kebijakan pengetatan likuiditas. Namun, kebijakan moneter ketat tersebut mendorong kenaikan suku bunga secara tajam. Sebelum krisis nilai tukar, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia untuk 1 bulan 10,50 persen dan suku bunga kredit modal kerja 18,56 persen.
Mencegah keterpurukan daya beli masyarakat menjadi benang merah penanganan krisis-krisis yang selama ini terjadi.
Namun, pada Agustus 1998, suku bunga SBI meningkat menjadi 70,44 persen, sedangkan bunga kredit modal kerja melonjak menjadi 34,95 persen. Kondisi itu membuat sektor perbankan kelimpungan. Biaya suku bunga simpanan jauh lebih besar daripada suku bunga pinjaman.
Pada November 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank swasta nasional. Masyarakat yang khawatir dana mereka hilang berbondong-bondong menarik uang di bank. Akibatnya, terjadi kekacauan (rush) dan bank kesulitan likuiditas.
Jaring pengaman sosial
Depresiasi rupiah dan peningkatan suku bunga menyebabkan sejumlah besar perusahaan tak sanggup membayar utang dan kredit. Kesulitan likuiditas dunia usaha mengakibatkan sebagian perusahaan mengurangi, bahkan menghentikan aktivitas.
Dari semua jenis usaha ekonomi, dampak paling dalam dialami lapangan usaha bangunan yang turun 35,44 persen. Tekanan berikutnya disusul lapangan usaha perdagangan, hotel, dan restoran yang menurun 21,42 persen.
Memburuknya kinerja ekonomi membuat banyak perusahaan menghentikan aktivitas sehingga jumlah pengangguran bertambah dan angka kemiskinan meningkat. Jumlah penduduk miskin pada 1998 tercatat 49,5 juta orang, meningkat dari dua tahun sebelumnya, sebanyak 34,01 juta orang.
Secara umum terdapat dua kebijakan yang diambil untuk meredam gejolak krisis. Pertama, dari sisi orientasi pembangunan. Kedua, dari aspek pembuatan program-program pemulihan ekonomi.
Orientasi pertama terlihat dari kebijakan mendorong fungsi anggaran belanja pembangunan menjadi stabilisator kegiatan ekonomi untuk pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dampak berubahnya orientasi anggaran tersebut adalah peninjauan ulang anggaran pembiayaan proyek-proyek pembangunan. Kegiatan pembangunan yang belum mendesak dan memerlukan investasi besar ditunda.
Penghematan anggaran tersebut digunakan untuk mendukung kebijakan berikutnya, yaitu pemulihan kondisi perekonomian nasional. Salah satu program yang dibuat pemerintah ialah jaring pengaman sosial atau social safety net.
Publikasi Social Safety Net, Issues and Recent Experiences yang diterbitkan IMF mendefinisikannya sebagai sejumlah instrumen yang ditujukan untuk meringankan beban orang miskin akibat dampak buruk dari reformasi ekonomi.
Instrumen yang digunakan meliputi subsidi, pengamanan sosial, dan proyek padat karya dengan sasaran yang jelas. Subsidi itu bertujuan meningkatkan daya beli masyarakat miskin sehingga mempunyai akses untuk membeli kebutuhan pokok, seperti bahan pangan, dan pelayanan transportasi.
Pelaksanaan program jaring pengaman sosial di Indonesia dikelompokkan dalam empat program, yaitu ketahanan pangan, padat karya, perlindungan sosial, serta program pengembangan industri kecil dan menengah. Pemerintah pun menerbitkan Keppres Nomor 190 Tahun 1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial.
Instrumen yang digunakan meliputi subsidi, pengamanan sosial, dan proyek padat karya dengan sasaran yang jelas.
Untuk pembiayaannya, pada tahun anggaran 1998/1999, pemerintah mengalokasikan dana Rp 17,25 triliun bagi jaring pengaman sosial. Dari anggaran itu, sektor tenaga kerja menerima alokasi Rp 1,01 triliun bagi program padat karya.
Program jaring pengaman sosial terus berlanjut pada tahun anggaran 1999/2000. Pemerintah mengalokasikan dana jaring pengaman sosial dan pemberdayaan masyarakat sebesar Rp 3,45 triliun. Sasarannya antara lain, kelompok masyarakat yang kesulitan memperoleh lapangan kerja dan kesempatan berusaha.
Bantuan langsung tunai
Satu dekade setelah krisis ekonomi, muncul krisis keuangan global. Krisis global yang berawal dari macetnya kredit perumahan di Amerika Serikat pada 2007 ini dirasakan dampaknya ke seluruh dunia, termasuk Indonesia pada 2008.
Tekanan krisis global terhadap produk domestik mengakibatkan gejolak pada kinerja ekspor-impor Indonesia. Penurunan permintaan dunia ditambah lesunya harga minyak dunia membuat lesu kinerja ekspor dan impor. Ekspor barang dan jasa dalam semester I-2009 minus 17,2 persen, sedangkan impor minus 24,9 persen.
Lesunya kinerja ekspor impor juga berdampak pada industri dalam negeri. Kinerja sektor manufaktur turun 1,5 persen seiring penurunan ekspor karena melemahnya permintaan negara-negara maju. Sektor lain yang terdampak adalah perdagangan, hotel, dan restoran yang turun dari 5,8 persen menjadi 0,5 persen.
Krisis global yang berawal dari macetnya kredit perumahan di Amerika Serikat pada 2007 dirasakan dampaknya ke seluruh dunia, termasuk Indonesia pada 2008.
Lesunya industri juga mengakibatkan pengurangan tenaga kerja. Sampai Januari 2009, PHK telah terjadi pada industri-industri yang berorientasi ekspor. Sebanyak 24.790 orang di-PHK, sedangkan yang dirumahkan 11.703 orang.
Krisis global ikut menekan pasar uang. Nilai tukar rupiah rupiah sepanjang tahun 2008 terdepresiasi 17,5 persen. Tekanan terhadap rupiah masih terjadi hingga 2009. Pada Februari 2009, rata-rata nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga 6,14 persen menjadi Rp 11.853 per dollar AS.
Pemerintah lalu memberi stimulus fiskal. Total dana yang dialokasikan bagi program ini sebesar Rp 73,3 triliun.
Kebijakan tersebut bertujuan, antara lain, meningkatkan daya beli masyarakat dan menjaga konsumsi rumah tangga tumbuh. Untuk menjaga daya beli masyarakat, dalam APBN 2009, pemerintah mengalokasikan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) bagi 18,2 juta rumah tangga sasaran. Pemerintah juga menyiapkan paket stimulus lain, yaitu subsidi pajak minyak goreng Rp 800 miliar, subsidi bahan bakar nabati senilai Rp 200 miliar, dan subsidi obat generik Rp 350 miliar.
Dari sisi perpajakan, pemerintah menurunkan tarif pajak orang pribadi. Tujuannya, pendapatan riil masyarakat meningkat sehingga diharapkan mendorong daya beli.
Kartu Prakerja
Saat ini, Indonesia menghadapi dampak ekonomi pandemi Covid-19. Pemerintah memberikan kebijakan stimulus I hingga III sebagai penguatan perlindungan sosial dan ekonomi.
Kebijakan stimulus I fokus pada perkuatan perekonomian domestik 2020 melalui belanja. Kebijakan ini, antara lain, berupa percepatan pencairan belanja modal, bantuan sosial, transfer ke daerah dan dana desa, perluasan kartu sembako, subsidi bunga perubahan, insentif sektor pariwisata, dan Kartu rakerja.
Adapun paket stimulus II difokuskan untuk menjaga daya beli masyarakat dan kemudahan ekspor impor. Kebijakan jilid II dilakukan melalui kebijakan fiskal dan nonfiskal.
Peluncuran stimulus III berfokus pada penanganan kesehatan, bantuan sosial, membantu dunia usaha, dan pemulihan ekonomi. Stimulus ini memberi tambahan belanja dan pembiayaan dalam bidang kesehatan sebesar Rp 75 triliun.
Sementara itu, belanja untuk bantuan sosial mendapat tambahan Rp 110 triliun. Anggaran ini, antara lain, untuk penambahan jaring pengaman sosial Rp 65 triliun, serta cadangan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar Rp 25 triliun.
Pemerintah juga mengalokasikan Kartu Prakerja dengan anggaran Rp 20 triliun. Dari jumlah anggaran ini, Rp 19,88 triliun digunakan untuk manfaat dan insentif kepada masyarakat yang nominalnya Rp 3,55 juta untuk masing-masing 5,6 juta peserta yang mendaftar. Sisanya digunakan untuk operasional program.
Manfaat bantuan
Munculnya program Kartu Prakerja di tengah penanganan krisis menimbulkan polemik di masyarakat. Hasil jajak pendapat Kompas pada 22-24 April 2020 merekam gugatan publik terhadap manfaat kebijakan ini.
Tiga dari empat responden mengungkapkan rasa pesimistis terhadap keberhasilan program Kartu Prakerja. Argumentasi yang disampaikan menyoroti faedah program tersebut.
Sebanyak 43,8 persen responden mengungkapkan persoalan sesungguhnya terkait pekerjaan adalah lapangan pekerjaan yang menipis akibat krisis. Alasan lain ialah program ini rentan disalahgunakan.
Tiga dari empat responden mengungkapkan rasa pesimistis terhadap keberhasilan program Kartu Prakerja.
Fenomena serupa terekam dari media sosial. Kajian yang dilakukan Ismail Fahmi melalui publikasinya berjudul ”Kartu Prakerja: Polemik dan Diskursus Publik” pada 23 April 2020 memotret penolakan warganet terhadap program ini.
Di Twitter, penilaian minor terhadap program Kartu Prakerja ditemukan pada 112.899 mention dan pola retweet percakapan dengan 94.300 mention. Pada 18 April 2020, percakapan didominasi dengan penolakan terhadap Kartu Prakerja dan desakan agar mengalihkan dana pelatihan ke bantuan langsung tunai (Kompas, 2 Mei 2020).
Ungkapan senada mengenai BLT kembali terulang melalui Facebook. Ada 4.912 engagement dan pola shares pembahasan sebanyak 3.202 kali terkait Kartu Prakerja. Di media ini, warganet merasa BLT lebih dibutuhkan ketimbang pelatihan daring yang tak jelas manfaatnya.
Kemunculan narasi bantuan langsung tunai menggambarkan gugatan efektivitas terhadap program pemerintah di masa krisis. Belajar dari penanganan dua krisis sebelumnya, upaya mencegah hilangnya daya beli masyarakat melalui jaring pengaman sosial atau BLT menjadi pilihan mencegah dampak sosial ekonomi yang lebih luas.
Program yang tepat sasaran harus menjadi prioritas kebijakan di tengah keterbatasan anggaran negara saat pandemi. Prioritas tersebut perlu diterapkan di tengah bayang-bayang defisit anggaran negara.
(LITBANG KOMPAS)