Momok Pemiskinan di Masa Pandemi Covid-19
Kecemasan tertular Covid-19 merambati hampir semua lapisan masyarakat. Tidak hanya itu, kecemasan juga menjangkiti kelas pekerja yang sewaktu-waktu kehilangan pekerjaan dan terancam pemiskinan.
Di masa yang sulit ini, kecemasan tertular virus SARS-Cov-2 merambati hampir semua lapisan masyarakat. Tidak hanya itu, kecemasan juga menjangkiti kelas pekerja yang sewaktu-waktu kehilangan pekerjaan. Sakit dan menganggur dalam skala ini lama-lama akan mengarahkan masyarakat ke proses pemiskinan.
Per 16 Mei 2020, tercatat 17.000 pasien positif, 35.000 pasien dalam pengawasan, dan 269.500 orang dalam pengawasan. Kondisi ini juga membuat ada sekitar 300.000 lebih orang yang aktivitasnya makin terbatasi karena dalam proses pengobatan ataupun pengawasan.
Sementara itu, per 7 April 2020, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat terdapat 1,01 juta pekerja yang terdampak Covid-19. Rinciannya, 873.000 pekerja formal dirumahkan, 137.000 pekerja formal di-PHK, dan 189.000 pekerja di sektor informal.
Jumlah tersebut naik hampir dua kali lipat satu bulan kemudian. Per 1 Mei 2020, Kementerian Ketenagakerjaan menverifikasi 1,72 juta tenaga kerja terdampak Covid-19. Rinciannya adalah 1 juta pekerja formal dirumahkan, 375.000 pekerja formal di-PHK juga 314.000 pekerja dari sektor informal. Meski demikian, terdapat 1,2 juta pekerja yang statusnya sedang divalidasi. Dengan demikian, ada sekitar 3 juta pekerja yang ekonomi keluarganya terganggu.
Dari dua dimensi tersebut, tak ayal jika momok pemiskinan terbayang-bayang di depan mata. Apalagi, hampir 10 persen penduduk Indonesia masih masuk dalam kategori miskin.
Pada September 2019, jumlah penduduk miskin sebanyak 24,79 juta orang atau 9,22 persen dari total penduduk. Penduduk miskin di perdesaan lebih banyak dibandingkan dengan di perkotaan. Penduduk miskin di perkotaan pada masa yang sama berjumlah 6,69 persen, sementara di perdesaan sebesar 12,60 persen.
Secara umum, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan (GK), yaitu sebesar 440.538 rupiah per orang per bulan. Jumlah tersebut terdiri dari 73,75 persen GK makanan dan 26,25 persen GK bukan makanan, seperti pemenuhan papan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Artinya, hampir 10 persen penduduk Indonesia memiliki rata-rata pengeluaran per bulan kurang dari 440.538 rupiah dan masuk kategori penduduk miskin.
Pemiskinan
Menurut Kamus Cambridge, pemiskinan atau impoverisment adalah kondisi menjadi sangat miskin atau juga bisa berarti tindakan yang membuat seseorang sangat miskin. Indonesia sendiri sudah akrab dengan proses pemiskinan sejak berabad-abad lalu.
Pemiskinan dapat terjadi karena bencana, seperti halnya yang sedang masyarakat dunia hadapi saat ini. Pemiskinan juga dapat terjadi dari proses sosial dan politik yang menciptakan keadaan yang menyebabkan miskin.
Dalam A History of Modern Indonesia (Adrian Vickers, 2005), di abad ke-19, penulis memotret tindakan Belanda yang membebankan pajak yang tinggi dan memaksa suku banga Sasak, di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Keadaan ini membuat lanskap Lombok sebagai lumbung padi berubah menjadi pulau gersang yang miskin.
Contoh praktik pemiskinan yang lebih umum juga pernah dialami masyarakat petani di perdesaan Jawa di era Gubernur Jenderal Van den Bosch. Praktik tanam paksa membuat petani menyerahkan seperlima bagian dari hasil kebun mereka sendiri untuk pemerintah kolonial.
Analisis ekonomi politik tentang pemiskinan di Indonesia juga mengetengahkan proses akumulasi primitif. Hilmar Farid dalam ”Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion 1965-66”yang dimuat dalam jurnal Inter-Asia Cultural Studies (2005) menyebutkan proses akumulasi primitif dilakukan melalui perampasan rumah, tanah, dan aset melalui kekerasan massal pada orang-orang yang dituduh anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1965-1966. Hal ini mengakibatkan pemisahan sejumlah besar orang dari alat produksi dan subsistensi mereka.
Dalam konteks yang lebih kekinian, pemiskinan di Indonesia juga terjadi karena dampak dari industrialisasi, alih fungsi lahan, dan marjinalisasi. Merujuk pada arsip Kompas disebutkan bahwa pembelian lahan-lahan di berbagai daerah oleh pemodal terbukti tidak memberikan nilai tambah ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat desa. Masyarakat justru mengalami pemiskinan (Kompas, 28/1/2016).
Pemiskinan juga terjadi terhadap warga yang terdampak alih fungsi lahan dan tergusur. Misalnya saja pada warga korban penggusuran Waduk Jatigede, Sumedang, Jawa Barat. Biaya penggantian lahan tidak dibarengi dengan penggantian mata pencarian yang hilang (Kompas, 13/7/2015).
Hal yang sama juga ditemukan pada korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam artikel berjudul ”Dampak Sosial-Ekonomi Pemindahan Paksa: Studi Atas Penyitas Lumpur Lapindo, Jawa Timur” yang dimuat di Jurnal Masyarakat dan Budaya LIPI (2019), penulis menyebut dampak sosial-ekonomi yang dialami para korban tidak begitu saja selesai menggunakan mekanisme kompensasi yang ada. Warga mengalami pemiskinan karena penundaan pembayaran jual beli aset warga dan hilangnya lahan-lahan produktif.
Sementara itu, pemiskinan juga menghampiri kelompok masyarakat yang termarjinalkan. Misalnya saja, pengasingan komunitas penghayat yang tidak diakui keyakinannya oleh negara membuat mereka kesulitan mengakses pelayanan dasar, termasuk pekerjaan (Kompas, 6/1/2016).
Perempuan juga memiliki risiko tinggi mengalami pemiskinan. Hal ini karena sistem kekerabatan yang masih menomorduakan perempuan, perkawinan di bawah umur, dan ketidakadilan di ranah kerja. Dalam Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan (Lies Marcoes-Natsir, 2014) disebutkan bahwa, bagi banyak perempuan, penyumbang terbesar kemiskinan mereka adalah nilai, proses sosial, kelembagaan, dan praktik diskriminasi berbasis prasangka yang secara sistematis menyingkirkan mereka dari sumber daya ekonomi, sosial, dan politik.
Program pemerintah
Dengan potensi pemiskinan yang sudah di depan mata, bergantung pada program pengaman sosial yang sudah disediakan pemerintah menjadi solusi yang mungkin paling relevan.
Sejumlah jaring pengaman sosial yang saat ini sudah diselenggarakan secara nasional adalah Program Kartu Prakerja, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Pada awal 2019, pemerintah memprioritaskan empat strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta keluarga, Program Indonesia Pintar (PIP) untuk 20,1 juta anak usia sekolah, Kartu Indonesia Sehat untuk 96,8 juta jiwa atau 40 persen penduduk berpendapatan rendah, dan bantuan pangan nontunai untuk 15,6 juta keluarga (Kompas, 24/1/2019).
PKH merupakan program pemberian uang untuk keluarga agar dapat mengakses pelayanan dasar, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan. Program ini dilaksanakan sejak 2007 oleh Kementerian Sosial dan per 2018 telah menyalurkan bantuan kepada 10 juta keluarga. Bantuan diberikan kepada tiap keluarga per tahun dengan kompoisisi yang diatur sesuai dengan jumlah anggota keluarga.
Sementara PIP memberikan akses pendidikan dan uang untuk meringankan biaya personal pendidikan bagi anak usia 6-21 tahun. Program ini diselenggarakan sejak 2014 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, dan Kementerian Agama.
Per 1 Mei 2020 tercatat bantuan sudah disalurkan untuk 3,1 juta peserta dari total alokasi 17,9 peserta dari jenjang sekolah dasar hingga menengah atas. Besaran dana yang diperoleh per tahun sesuai dengan jenjang pendidikan, yaitu 450.000 rupiah (dasar), 750.000 rupiah (menengah pertama), dan 1.000.000 rupiah (menengah atas).
Untuk aspek kesehatan, pemerintah membangun jaring pengaman yang disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). JKN memberikan manfaat berupa pelayananan kesehatan primer, meliputi rawat jalan dan rawat inap.
Program ini diselenggarakan sejak 2014 oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Per 30 April 2020, tercatat 132,6 juta peserta yang digratiskan membayar iuran atau disebut penerima bantuan iuran (PBI) yang dananya dialokasikan dari APBN dan APBD.
Program yang paling baru adalah Program Kartu Prakerja. Program ini didesain ulang agar responsif terhadap keadaan pandemi saat ini. Prakerja memberikan akses pelatihan untuk warga berusia 18 tahun ke atas dan uang insentif per bulan yang diprioritaskan untuk pencari kerja dan pelaku UMKM yang terdampak pandemi Covid-19. Diselenggarakan sejak 2020 oleh Kemenko Perekonomian bekerja sama dengan pihak swasta dan ditargetkan untuk 5,6 juta orang dalam tiga puluh gelombang penerimaan.
Gelombang pertama diikuti oleh 3,3 juta akun terverifikasi dan sebanyak 168.111 peserta lolos. Peserta yang lolos seleksi akan menerima 3.550.000 juta berupa dana untuk pelatihan dan insentif bulanan.
Idealnya, program ini dijalankan dalam situasi normal ketika kontur masyarakat renta sudah terdata pada penyelenggara masing-masing program. Namun, dalam situasi serba mendadak seperti saat ini, program ini diharapkan dapat diperluas manfaatnya untuk masyarakat terdampak.
Alih-alih membuat program baru yang rentang salah sasaran, langkah cepat mengadaptasi program menjadi pilihan yang masuk akal untuk menghindari pemiskinan. (LITBANG KOMPAS)