Sejarah Panjang di Balik Kenekatan Mudik
Meski pemerintah sudah menetapkan larangan, tidak sedikit warga yang tetap nekat menempuh berbagai cara untuk mudik di tengah wabah Covid-19.
Sudah cukup banyak juga terjadi temuan kasus pelanggaran larangan mudik. Bahkan, upaya untuk tetap mudik serasa mencekam karena dilakukan dengan cara-cara yang ”menyerupai” tindak kriminalitas penyelundupan.
Salah satu contoh kasus, sebanyak 54 travel yang tidak mengantongi izin trayek dengan modus kendaraan pribadi yang tengah melakukan perjalanan mudik disita Jajaran Ditlantas Polda Jawa Timur (Kompas, 15/5/2020).
Sebelumnya, pihak kepolisian juga menemukan enam pemudik tujuan Jawa Tengah nekat bersembunyi di dalam bus dan toilet bus antarkota antarprovisi (AKAP) yang berangkat dari Jakarta guna menghindari pemeriksaan di pos pengamanan Kedung Waringin, Kabupaten Bekasi (Kompas, 30/4/2020).
Meski berpotensi membawa virus dan membahayakan sanak saudara di kampung halaman, faktanya mudik masih tetap menjadi pertimbangan kuat bagi sebagian masyarakat. Dua hasil survei, yakni dari Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menunjukkan kecenderungan kuatnya keinginan mudik sebagian masyarakat di tengah wabah Covid-19.
Hasil survei LIPI secara daring tanggal 28-30 Maret 2020 kepada 3.853 responden menunjukkan ada sebanyak 43,78 persen responden yang memilih untuk tetap mudik. Sementara itu, sebanyak 56,22 persen lainnya menyatakan tidak akan mudik dari hasil survei LIPI ini.
Adapun paparan hasil survei daring Balitbang Kemenhub terhadap 43.000 responden awal April lalu menunjukkan lebih dari 56 persen masyarakat yang berada di Jabodetabek memilih tidak mudik di Lebaran tahun ini. Namun, tetap saja ada 37 persen masih mempertimbangkan tetap mudik dan 7 persen lainnya bahkan sudah mudik (Kontan, 5/4/2020).
Padahal, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan memberlakukan larangan mudik sejak tanggal 24 April hingga 31 Mei 2020. Peraturan ini berlaku untuk semua moda transportasi, baik darat, termasuk kereta api, udara, maupun laut. Pengecualian diberikan kepada kendaraan pembawa logistik, obat-obatan, pengangkut petugas, ambulans, dan mobil jenazah.
Di masa pandemi, kebijakan ini sejatinya bertujuan baik, yaitu untuk mencegah meluasnya penyebaran Covid-19. Diketahui, sejak tanggal 10 April Maret 2020, kasus positif Covid-19 telah menyebar ke 34 provinsi di Indonesia. Penyebarannya pun terhitung cepat. Sejak kasus pertama 2 Maret 2020 ditemukan di Indonesia, hanya butuh 39 hari hingga menyebar ke seluruh provinsi.
Cepatnya penyebaran Covid-19 sebelumnya tidak lepas dari luasnya jaringan transportasi di Indonesia. Contohnya, di sektor transportasi udara, tercatat ada 190 bandara yang melayani penerbangan dalam negeri merujuk data BPS tahun 2018. Begitu juga moda kereta api yang dalam kondisi normal tahun ini ada pemberangkatan 67 KA reguler per hari dari DKI Jakarta.
Baca juga: Wabah Korona dari Jakarta Sampai Pelosok Indonesia
Sejarah panjang
Tekad kuat dan terbilang nekat boleh jadi didorong oleh ketiadaan uang akibat terhentinya pekerjaan di perantauan. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa keterikatan kuat dengan tanah kelahiran menjadi hal lain yang memicu kenekatan sebagian orang yang akhirnya melakukan mudik.
Tradisi mudik tidak lepas dari sejarah panjang mobilitas penduduk Indonesia. Baik ”secara paksa”, terpaksa, ataupun sukarela, mobilitas penduduk tetap menciptakan kerikatan jarak antara warga, etnis, dan budaya dengan daerah asalnya.
Merunut catatan sejarah, transmigrasi di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada November 1905. Di dalam buku Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia 1905-1985 (Sri-Edi Swasono, 1985) dijelaskan, kala itu 155 kepala keluarga (KK) asal Jawa diberangkatkan dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen, Purworejo, dan Karesidenan Kedu ke Gedong Tataan di Karesidenan Lampung.
Transmigrasi ini dilaksanakan Pemerintah Hindia Belanda dalam rangka program kolonisasi. Idenya berasal dari keyakinan akan kelebihan penduduk di Jawa yang berpotensi menyebabkan bahaya kelaparan dan kemelaratan. Bahkan, jauh sebelum program kolonisasi berlangsung, Thomas Raflles (1814) dan Du Bus de Gisigneis (1827) telah melihat gejala ini.
Raflles mengamati tanah yang sangat subur, perkawinan usia muda, poligami, banyak penduduk usia lanjut, hingga sikap suka damai daripada perang menjadi unsur pendorong pertumbuhan penduduk di Jawa. Sementara Du Bus sudah mulai mencemaskan seputar masalah kelebihan penduduk. Pandangan itu kemudian terus melekat di pikiran Pemerintah Hindia Belanda.
Program kolonisasi ini terus berlanjut. Antara tahun 1905 dan 1941 tercatat ada 41.147 kepala keluarga atau 189.900 jiwa dari Pulau Jawa yang turut serta. Tujuannya tidak hanya Pulau Sumatera, tetapi juga Pulau Kalimantan mulai dari tahun 1920 dan Pulau Sulawesi sejak tahun 1937. Sementara tujuan ke Pulau Irian baru dimulai oleh Pemerintah Indonesia tahun 1964 pada masa pra-Pelita.
Meski tidak sedikit warga asli Jawa, Bali, dan NTB mengikuti program kolonisasi atau transmigrasi, nyatanya warga yang masuk ke Pulau Jawa tidak kalah banyak. Dengan Jakarta di dalamnya, pulau ini pun menjadi pusat pembangunan, pusat kegiatan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Maka, tidak salah jika banyak warga dari luar Jawa datang untuk turut menikmatinya.
Baca juga: Pekerja Migran Risen di Pulau Jawa
Hal ini terlihat dari tujuan migrasi para migran dari luar Jawa. Di dalam tulisan ”Dinamika Perkembangan Etnis di Indonesia dalam Konteks Persatuan Negara” (Joko Pitoyo, 2017) ditunjukkan tahun 2000 Pulau Jawa menjadi tujuan 91,3 persen dari total penduduk Pulau Sumatera yang melakukan migrasi. Begitu juga 79,5 persen migran dari Pulau Kalimantan dengan tujuan yang sama.
Sementara itu, di Pulau Jawa sendiri, mobilitas warga juga banyak terjadi sebab munculnya kota-kota yang menjanjikan banyak lapangan kerja, khususnya DKI Jakarta. Di dalam tulisan ”Menuju Masyarakat Urban: Sejarah Pendatang di Kota Jakarta Pascakemerdekaan” (Rahadian, 2017) disebutkan, terjadi gelombang besar urbanisasi ke DKI Jakarta setelah tahun 1949.
Pada tahun itu ibu kota pemerintahan Indonesia kembali ke Jakarta yang sebelumnya sempat pindah ke Yogyakarta. Sejak saat itu, Jakarta berkembang menjadi pusat kegiatan perdagangan, peniagaan, dan pemerintahan. Sebagai ibu kota, Jakarta juga mendapat investasi untuk pembangunan kota yang skalanya lebih besar dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia.
Hanya dalam waktu satu dekade, terjadi pertumbuhan penduduk yang besar di Jakarta. Tahun 1950, jumlahnya masih 1,6 juta jiwa, tetapi pada 1960 menjadi 2,9 juta jiwa. Bertambahnya populasi penduduk ini mirip dengan fenomena pada abad ke-18 ketika Jakarta masih bernama Batavia. Namun, setelah tahun 50-an para pendatang merupakan penduduk asli Indonesia yang berasal dari luar Jakarta.
Selain transmigrasi dan urbanisasi, ada juga mutasi pegawai yang menyebabkan warga berpindah lokasi kerja. Bahkan, khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS), hal ini sudah resmi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Selain PNS, mutasi ini juga kerap terjadi di kalangan pegawai di perusahaan swasta.
Heterogenitas etnis
Migrasi masyarakat ini tidak hanya memindahkan individu sebagai seorang warga, tetapi juga identitas etnis dan budaya yang melekat di dalamnya. Berkat hasil sejarahnya yang panjang, kini hampir semua provinsi di Indonesia mengalami heterogenitas etnis. Bahkan, tidak sedikit provinsi yang didominasi oleh etnis para pendatang.
Contohnya etnis Jawa. Selain memiliki populasi terbanyak, penduduk etnis Jawa juga tersebar di sejumlah provinsi di luar Pulau Jawa. Menurut hasil Sensus BPS tahun 2010, etnis ini tercatat mendominasi penduduk di Jawa Tengah (97,7 persen), Yogyakarta (96,5 persen), Jawa Timur (80,7 persen), Lampung (64,1 persen), DKI Jakarta (36,2 persen), dan Kalimantan Timur (30,2 persen).
Ini adalah buah hasil dari program kolonisasi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda dan dilanjutkan dengan transmigrasi oleh Pemerintah Indonesia. Selain mendominasi enam provinsi, etnis Jawa juga tidak sulit ditemukan di hampir semua provinsi di Indonesia meski berada di peringkat tiga terbesar. Kecuali Provinsi NTB, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.
Karakteristik etnis Jawa yang tersebar di banyak penjuru turut memengaruhi tren mobilitas di negeri ini. Di dalam buku Transmigrasi, Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang Timpang (Siswono, 1998) disebutkan, orang Jawa memiliki rasa keterikatan yang kuat dengan tempat asal kelahirannya, baik secara sosial budaya maupun ekonomi.
Baca juga: Jawa Barat Mendominasi Proporsi Migran ke Ibu Kota
Jika terpaksa harus bermigrasi dari daerah asalnya, orang Jawa lebih suka melakukannya secara berkelompok atau sering disebut ”bedol desa”. Bahkan, lokasi tujuan transmigrasi kerap kali diberi nama yang sama dengan nama daerah asal. Contohnya Kecamatan Wonosobo di Tanggamus, Lampung, dan Desa Sidorejo di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Pada umumnya, para migran Jawa ini juga memiliki cita-cita kelak dapat kembali ke kampung halaman. Malahan sebelum itu mereka telah menginvestasikan sebagian pendapatannya di daerah asal. Maka, orang Jawa sering disebut bilocal population, tetap menjadikan tempat kelahiran sebagai kampung halaman utama meski menetap di daerah lain.
Karakteristik inilah yang menyebabkan membeludaknya arus mobilitas warga dari berbagai daerah ke kampung halaman di Pulau Jawa ketika hari raya tiba. Tidak hanya etnis Jawa, para perantau Minangkabau bahkan memiliki tradisi bernama ”pulang basamo”. Menjelang Lebaran, mereka dari kampung yang sama di Sumbar mudik bersama melalui jalur darat menggunakan bus atau mobil.
Oleh karena itu, kebijakan larangan mudik yang diberlakukan pemerintah untuk Lebaran tahun ini barang kali dirasa berat bagi sebagian warga, terutama mereka yang menetap jauh dari daerah asalnya. Sebab, momen langka untuk melepas rindu dengan sanak saudara dan keluarga di kampung halaman untuk sementara waktu harus ditunda.
Namun, demi tujuan yang baik, yaitu memperlambat penyebaran virus dan menekan angka mortalitas akibat penyakit Covid-19, kebijakan ini harus dipatuhi semua lapisan masyarakat. Pemerintah sebagai tonggak pembuat kebijakan juga harus konsisten dengan aturan yang telah dibuat. Sebab, belum lama ini, larangan mudik menjadi lebih longgar di mata masyarakat.
Khususnya ketika muncul Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Melalui surat edaran ini dimungkinkan seorang warga melakukan perjalanan antarkota dengan berbekal beberapa dokumen. Contohnya PNS dengan menunjukkan surat tugas, surat keterangan sehat, rencana perjalanan, dan KTP.
Meski memudahkan warga yang benar-benar harus bepergian jauh karena urusan genting, SE ini justru dapat menjadi celah bagi sebagian warga. Celah agar tetap dapat melakukan mudik di tengah pandemi yang belum usai. Apalagi, sejumlah moda transportasi umum, seperti bus AKAP dan kerata api, juga terpantau telah membuka kembali layanannya.
Memang tidak mudah mengoordinasi masyarakat Indonesia yang begitu banyak jumlahnya. Ditambah lagi sebagian dari mereka merupakan perantau yang jauh dan rindu akan kampung halaman sehingga hasrat untuk mudik sebagai tradisi menjelang hari raya sangat besar. Namun, semua dapat diredam dengan kebijakan yang tegas dan konsisten. (LITBANG KOMPAS)