Terkungkung dalam Ruang Gerak Sempit Hunian
Ruang gerak yang terbatas seiring pembatasan sosial rentan memicu berbagai ”wabah” kekerasan selain Covid-19.
Area permukiman padat pada masa pandemi Covid-19 ini bukan hanya berisiko menjadi tempat penyebaran virus. Pembatasan sosial yang mengharuskan warga untuk tetap tinggal di rumah dengan ruang gerak yang sempit juga menimbulkan masalah lain, di antaranya sulitnya menjaga jarak dan timbulnya kesesakan yang memicu kekerasan di rumah dan lingkungan tempat tinggal.
Ketentuan mengenai pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa wilayah mengharuskan masyarakat untuk tetap tinggal di rumah dan membatasi kegiatan di luar rumah. Masyarakat diimbau untuk belajar, bekerja, dan beribadah di rumah. Dengan kata lain, memindahkan seluruh kegiatan yang tadinya terpencar di luar rumah menjadi hanya terpusat di rumah.
Namun, hal tersebut menjadi masalah jika hunian yang ditempati mempunyai luasan yang kecil. Bahkan, terkadang di kawasan padat penduduk kawasan perkotaan, hunian yang sempit bisa ditempati lebih dari satu keluarga. Hal ini jelas menimbulkan kesulitan untuk menjaga jarak satu dengan yang lain.
Menurut standar American Public Health Association (APHA), ukuran luas lantai ideal per orang minimal 10 meter persegi. Hal tersebut berarti luas lantai yang dihuni oleh satu rumah tangga, misalnya terdiri atas 5 anggota rumah tangga, minimal 50 meter persegi. Catatan BPS, masih ada 18,8 persen rumah tangga di perkotaan yang memiliki ruang gerak per orang kurang dari 10 meter persegi.
DKI Jakarta tercatat memiliki persentase rumah tangga tertinggi (37,6 persen) yang menempati rumah dengan luas lantai per kapita di bawah 10 meter persegi. Hal ini menunjukkan, masih ada warga Jakarta yang memiliki ruang gerak sempit. Bisa jadi hanya memiliki ruang gerak per orang 3 meter persegi.
Ruang gerak dalam hunian ini menjadi penting saat pembatasan sosial. Ruang privat hunian mendadak berubah menjadi ruang produktif untuk bekerja bagi orang tua dan belajar untuk anak-anak. Bagaimana bisa bekerja, belajar, ataupun beribadah dari rumah jika ruang gerak setiap orang terbatas, hanya 5 ataupun 9 meter persegi.
Cerita Eka (39), mengutip dari laman Kompas.id (28/03/2020), cukup sulit mengatur ruang geraknya dan dua anaknya di dalam kamar kos berukuran 9 meter persegi. Kamar tersebut sekarang tidak hanya berfungsi sebagai kamar tidur, tetapi juga tempat belajar bagi dua anaknya, tempat kerjanya menyelesaikan laporan kantor, sekaligus ruang makan.
Sama halnya dengan rumah di kawasan Krukut, Jakarta Selatan, yang ditempati lima keluarga dengan penghuni sampai 11 orang. Tiap-tiap keluarga mempunyai kamar sendiri, tetapi ruang tamu sebagai ruang publik berukuran 4 meter persegi juga menyulitkan mereka untuk menjaga jarak dan mempunyai ruang gerak yang leluasa. Hingga akhirnya, satu keluarga memilih untuk mengontrak rumah petak.
Baca juga: Jaga Jarak yang Sulit Terwujud di Permukiman Padat
Hunian vertikal
Masalah menjaga jarak tak hanya berlaku di hunian padat penduduk rumah tapak saja. Di Jakarta, hunian vertikal, seperti rumah susun, juga membawa persoalan tersendiri.
Luas satu unit rumah susun adalah 30 meter persegi, yang terdiri dari dua kamar, satu ruang tamu yang bersambung dengan dapur, satu kamar mandi, serta tempat jemur pakaian. Idealnya, satu unit dihuni oleh empat anggota keluarga sehingga masing-masing anggota keluarga mempunyai ruang gerak 7,5 meter persegi. Namun, itu pun masih di bawah standar yang ditetapkan APHA.
Namun, nyatanya, dari penelitian ”Kesesakan, Iritabilitas, Agresivitas dan Kesejahteraan Subyektif Keluarga yang Tinggal di Rusun Jatinegara Barat” oleh Nurul Ilmi tahun 2016, satu unit berukuran 30 meter persegi tersebut ada yang dihuni oleh 13 orang. Terbayang bagaimana harus menjaga jarak dengan ruang gerak masing-masing orang hanya sekitar 2,5 meter persegi.
Itu baru satu unit, dalam satu tower yang terdiri atas 16 lantai akan menimbulkan kesesakan sendiri. Apalagi jika penghuni satu tower yang bisa mencapai ribuan orang, harus tinggal di rumah. Tak ada lagi jarak sosial. Ruang publik di depan masing-masing unit ataupun di lantai bawah saat sebelum pandemi, digunakan bergantian oleh penghuni tower. Setelah pembatasan sosial, ruang publik tersebut harus dipakai bersama oleh seluruh penghuni rusun, dari anak sampai orang dewasa.
Ruang gerak yang sangat terbatas itu, disebut dalam penelitian Ilmi, membuat kesesakan hunian di rumah susun paling tinggi, dibandingkan dengan rumah di hunian padat landed area ataupun kompleks perumahan.
Bukan hanya di rumah susun. Apartemen yang mayoritas dihuni oleh kelas menengah atas juga mempunyai problem kesesakan. Rata-rata unit apartemen studio berukuran berkisar 20 hingga 35 meter persegi. Penghuninya rata-rata hanya satu sampai dua orang.
Namun, jika harus tinggal selama 24 jam di ruangan sempit tanpa melihat pemandangan luar, menimbulkan masalah tersendiri. Eveline (42), salah satu penghuni apartemen di kawasan Cawang, Jakarta Timur, bercerita, jika tinggal terus-menerus di dalam apartemen studionya berukuran 25 meter persegi akan membuatnya stres. Beruntung, tempat kerjanya masih mengharuskannya masuk seminggu tiga kali sehingga karyawan swasta bidang ritel ini masih bisa melihat suasana luar dan berinteraksi dengan orang lain.
Merujuk pada artikel City Lab, di Washington DC, Amerika Serikat, balkon menjadi satu-satunya titik di apartemen yang dapat membuat penghuninya keluar dari stres akibat berlama-lama hidup dalam ruangan. Balkon menjadi ruang publik dalam apartemen untuk lepas sesaat dari kesesakan dalam apartemen. Dari balkon bisa menikmati udara segar tanpa khawatir terpapar virus sambil melihat pemandangan di luar apartemen.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Mengubah Rutinitas Warga Apartemen
Kesehatan mental
Ruang gerak yang sempit ini bukan hanya menimbulkan persoalan untuk menjaga jarak satu sama lain. Jarak antarindividu yang terlalu dekat menyebabkan keterbatasan ruang gerak. Juga dengan suara bising yang tercipta dari aktivitas anggota rumah tangga. Hal ini bisa memicu stres dan memengaruhi kesehatan mental tiap-tiap anggota keluarga.
Penyempitan ruang individual dalam rumah akan menimbulkan berbagai macam masalah psikologi yang serius. Penelitian ”Hubungan Kepadatan dan Kesesakan dengan Stres dan Intensi Prososial pada Remaja di Permukiman Padat” (Djamaluddin dkk, 1996) menyebutkan, bentuk aktivitas sosial negatif yang dapat diakibatkan oleh suasana padat dan sesak adalah penyakit fisik dan psikis, kejahatan dan kenakalan remaja, agresivitas, serta menurunnya prestasi kerja dan suasana hati yang cenderung murung.
Salah satu hal yang menonjol pada kondisi kepadatan dan kesesakan saat pembatasan sosial ini adalah munculnya kemungkinan agresi pada remaja. Pada penelitian ”Kesesakan dan Agresivitas pada Remaja di Kawasan Tambak Lorok Semarang” oleh Dhita Kartika Sari dan Karyono tahun 2016, ada hubungan positif antara kepadatan dan kesesakan dengan stres pada remaja.
Agresi dalam penelitian tersebut merupakan segala bentuk perilaku untuk menyakiti individu, baik fisik maupun mental. Perilaku ini memiliki potensi untuk melukai orang lain yang dapat berupa serangan fisik, serangan verbal (membentak, menghina), serta melanggar hak orang lain (mengambil dengan paksa).
Usia remaja lebih banyak melakukan kegiatan dengan kelompok dan lingkungannya. Ruang gerak remaja yang hidup di hunian padat, masa pembatasan sosial ini cukup terbatas.
Sebelum ada pandemi, mungkin mereka biasa beramai-ramai nongkrong di pos ronda atau pinggir jalan sambil ”gitaran” atau sekadar nongkrong. Mereka nongkrong di situ karena ruang gerak di rumahnya cukup sempit.
Setelah ada pembatasan sosial, aktivitas nongkrong atau berkumpul-kumpul merupakan larangan untuk menghindari penyebaran virus. Ini akan membuat remaja semakin terkungkung serta tidak menyalurkan aktualisasi dirinya dan kelompoknya.
Sebelum pandemi ini, tawuran remaja lebih banyak terjadi di kawasan hunian padat penduduk, seperti kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat. Tawuran tersebut selalu terjadi setiap tahun sehingga akhirnya Fakultas Sosiologi Universitas Indonesia, melalui Sekolah Komunitas Johar Baru, membuat ruang publik berupa Festival Budaya Kampung Johar Baru guna menyalurkan energi para remaja dalam berbagai wadah kreativitas seni.
Sekarang, saat ada pembatasan sosial, hal ini menjadi persoalan sendiri. Tak heran jika di awal masa PSBB di Jakarta muncul tawuran remaja di banyak tempat. Di antaranya di kawasan Kota Bambu, Jakarta Barat dan Ciputat, Tangerang Selatan. Tak hanya di Jakarta, tercatat juga tawuran di kota besar lain di luar Jabodetabek, seperti Makassar dan Padang.
Baca juga: Tawuran, Kekonyolan Lain Selama PSBB
Agresi pada Anak
Kesesakan dan kepadatan tak hanya memunculkan perilaku agresi pada remaja yang keluar dalam bentuk tawuran. Namun, juga memunculkan perilaku agresi pada anak. Penelitian ”Perilaku Anak Agresif: Asesmen dan Intervensinya” (Fatwa, 2012) menyebutkan, kehidupan yang keras serta situasi perkampungan yang sempit dan padat dapat memengaruhi kondisi sosial budaya masyarakat, seperti perilaku agresif pada anak. Anak cenderung akan memunculkan perilaku agresif, seperti berperilaku kasar, menentang, sulit diatur, mencela, dan membentak.
Perilaku anak ini lebih kurang sama dengan remaja. Anak juga membutuhkan ruang terbuka, seperti lapangan untuk bermain dan berkumpul bersama teman-teman sebayanya. Sebelum pandemi, anak-anak di hunian padat biasa bermain di sepanjang jalan permukiman yang sempit, pinggir sungai, atau selasar di rumah susun.
Sekarang, saat harus di rumah saja dengan ruang gerak yang terbatas, mereka akan kehilangan ruang bermain. Anak-anak menjadi terkungkung dan bisa jadi muncul perilaku agresinya.
Namun, perilaku agresi anak juga bisa diperoleh dari meniru orangtua yang selama masa pembatasan sosial lebih banyak berinteraksi dengan anak. Konflik-konflik kecil antaranggota keluarga berpotensi terjadi saat semuanya tinggal di rumah. Kecemasan orangtua bisa menular kepada anak-anak. Apalagi jika kecemasannya terwujud dengan perilaku kasar. Tindakan kasar ini akan ditiru oleh anak.
Baca juga: Gunung Es dari Perilaku Kejahatan Anak
Kekerasan di Rumah
Agresi karena kesesakan dan kepadatan juga bisa muncul pada orang dewasa. Agresi yang muncul berupa kekerasan dalam rumah tangga. Namun, menurut Siti Aminah dari Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Webinar ”Diskusi Diponegoro: Fenomena KDRT terhadap Perempuan Selama Pandemi Covid-19”, Covid-19 hanyalah pemicu.
Akar masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Lelaki umumnya memiliki kekuatan dan kontrol terhadap anggota keluarga. Perempuan ditempatkan sebagai subordinat di bawah laki-laki.
Bisa jadi sebelum Covid sudah muncul bibit-bibit kekerasan sehingga saat semua anggota berkumpul di dalam rumah, potensi terjadinya kekerasan justru semakin sering terjadi. Pelaku kekerasan yang menurut Komnas PA mayoritas adalah suami justru menggunakan isu pembatasan sosial sebagai metode untuk mengasingkan perempuan dari keluarganya.
Namun, bisa juga terjadi saat semua anggota keluarga berkumpul dan menimbulkan rasa sesak, tindakan kekerasan muncul. Kekerasan bisa dipicu dari dampak ekonomi yang menyebabkan penghasilan keluarga berkurang atau hilang. Atau bisa juga kekerasan dipicu karena ”Sekolah dari Rumah” yang membuat beban orangtua bertambah sehingga berpotensi terjadi kekerasan terhadap anak.
Komnas Perempuan dan Anak selama periode work from home (16 Maret-21 April 2020) menerima pengaduan 37 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bisa saja di lapangan, jumlahnya lebih besar karena selama pembatasan sosial, masyarakat kesulitan untuk melapor langsung.
Baca juga: Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Naik
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) mencatat, ada 59 kasus kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan pornografi daring sejak 16 hingga 30 Maret. Dari 59 kasus tersebut, 17 kasus merupakan kekerasan dalam rumah tangga.
Data yang diperoleh oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak per 2 Maret-25 April 2020, lebih besar lagi. Tercatat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa dan 368 kasus kekerasan yang dialami anak.
Tak mudah memang untuk hanya berdiam diri di rumah dengan seluruh anggota keluarga, apalagi dalam hunian yang sempit. Ke depan ini menjadi perhatian bersama untuk menyediakan hunian yang nyaman, tentunya dengan ruang gerak yang lebih besar dan leluasa. (LITBANG KOMPAS)