Hal yang Ditakutkan Warga Hong Kong
Warga Hong Kong kembali berunjuk rasa memperjuangkan hak kebebasan, termasuk kebebasan berkumpul dan berserikat. Pandemi Covid-19 tidak membuat takut untuk memperjuangkan demokrasi.
Di tengah pandemi Covid-19, demonstrasi kembali terjadi di Hong Kong. Selain disebabkan oleh kekhawatiran akan hilangnya kebebasan, protes itu terdukung dengan keberhasilan Pemerintah Hong Kong mengontrol pandemi.
Selama tahun 2019 kosakata ”protes” dan ”demonstrasi” lekat pada Hong Kong. Dari Juni hingga Desember 2019, hampir setiap minggu digelar protes menentang pemberlakuan Undang-Undang Ekstradisi.
Selama dunia didera pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020, aksi protes tersebut sempat berhenti.
Pada akhir Mei 2020, Hong Kong kembali bergejolak. Ribuan demonstran pro demokrasi Hong Kong berkumpul di pusat kota, Minggu, 24 Mei 2020. Protes tersebut dipicu rencana Pemerintah China menerapkan UU Keamanan baru untuk Hong Kong dan Makau.
UU Keamanan Baru
Sebenarnya, detail isi UU Keamanan yang akan diterapkan di dua wilayah tersebut masih kabur karena masih dalam bentuk usulan yang belum disahkan di parlemen.
UU tersebut baru diperkenalkan pada pembukaan Kongres Rakyat Nasional (NPC) di Beijing pada 22 Mei 2020 dan langsung mendapatkan persetujuan penuh dari kongres untuk diterapkan.
Perdana Menteri China Li Keqiang menyatakan bahwa UU Keamanan yang baru akan memberikan jaminan adanya sistem hukum yang sehat yang berujung pada keamanan nasional yang terjaga.
Akan tetapi, aktivis pro-demokrasi Hong Kong menangkapnya sebagai ancaman terhadap kebebasan berpendapat di Hong Kong. Salah satu poin dalam UU Keamanan baru yang membuat banyak orang khawatir adalah kemungkinan beroperasinya agen keamanan China di Hong Kong. Selain itu, UU tersebut berpotensi menerapkan sistem peradilan China di Hong Kong.
Para aktivis menilai bahwa peradilan yang menyangkut keamanan nasional dianggap sebagai peradilan yang tertutup sehingga menimbulkan kecurigaan tentang prosesnya. Atas nama keamanan nasional, berbagai kegiatan dapat dianggap sebagai tindakan kriminal, termasuk kegiatan protes.
Di China, tindakan protes dianggap sebagai tindakan kriminal merongrong kekuasaan (subversi). Oleh karena itu, warga Hong Kong khawatir akan kehilangan kebebasannya dalam menyampaikan pendapat dan melakukan protes.
Apabila ditarik ke belakang, penerapan UU tersebut dianggap akan melanggar perjanjian yang terjadi saat Hong Kong dikembalikan ke China pada 1997 oleh Inggris. Saat itu, muncul konstitusi mini yang disebut Basic Law atau lebih dikenal dengan prinsip ”satu negara, dua sistem” yang berlaku selama 50 tahun atau hingga tahun 2047.
Basic Law menjamin bahwa masyarakat Hong Kong masih mendapatkan beberapa kebebasan, termasuk kebebasan berkumpul dan berserikat. Selain itu, menurut Basic Law, undang-undang yang berlaku di China tidak dapat diterapkan di Hong Kong dengan beberapa perkecualian.
Rencana penerapan UU Keamanan baru ini menggemakan kembali ancaman kebebasan saat China berencana menerapkan UU Ekstradisi pada April 2019. UU tersebut memungkinkan bahwa tersangka tindakan krimininal di Hong Kong dapat diadili di China daratan.
Saat itu, warga Hong Kong khawatir bahwa China akan mempraktikkan sistem peradilan yang tidak adil yang diwarnai dengan tindakan kekerasan. Oleh karena itu, sejak 9 Juni hingga Desember 2019, Hong Kong dilanda protes tak berkesudahan menentang penerapan UU tersebut
Kekhawatiran demonstran Hong Kong akan hilangnya kebebasan dapat dipahami mengingat China sering dianggap sebagai salah satu negara yang kurang menghargai kebebasan warganya. Dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2020, China berada di urutan ke-177 dari 180 negara dan dimasukkan dalam kelompok negara-negara yang sangat serius membungkam kebebasan pers bersama 23 negara lain.
Selain itu, dalam kumpulan data pelanggaran kebebasan pers ”Tracker 19” yang dibuat oleh Reporters Without Borders (RSF), China mendapat perhatian khusus dengan 12 kumpulan kasus dari 40 negara yang dilaporkan per 28 April 2020. Padahal, negara lain yang dilaporkan melanggar kebebasan pers selama pandemi ini paling banyak hanya dilaporkan karena tiga kasus.
Indeks kebebasan pers di atas dapat menggambarkan ketakutan warga Hong Kong, yakni kehilangan kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, rencana penerapan UU Keamanan tersebut langsung mendapat tentangan dalam bentuk demonstrasi.
Selain digerakkan oleh kekhawatiran terhadap hilangnya kebebasan, protes yang digelar warga Hong Kong tersebut juga didukung oleh situasi pandemi di Hong Kong yang semakin terkendali.
Situasi pandemi di Hong Kong
Hingga 25 Mei 2020, terdapat total 1.066 kasus Covid-19 di Hong Kong. Dari jumlah tersebut, 1.030 orang berhasil sembuh dan 4 orang meninggal karena Covid-19. Hal ini didukung oleh strategi yang diambil oleh Pemerintah Hong Kong.
Laporan bulanan Chief Executive Hong Kong Carrie Lam yang ditulis setiap tanggal 25 sejak Februari hingga Mei 2020 dapat menggambarkan secara umum strategi yang telah ditempuh Pemerintah Hong Kong.
Dalam laporan berjudul ”Four Months into Our Fight Striking the Right Balance” tanggal 25 Mei 2020, Carrie Lam menyatakan bahwa situasi pandemi telah stabil sejak pertengahan April 2020. Di luar kasus impor, tak ada lagi infeksi yang tercatat di Hong Kong selama 23 hari dari 20 April hingga 12 Mei 2020.
Hingga 24 Mei 2020, pasien yang masih dirawat karena Covid-19 ”tinggal” 32 orang. Jumlah tersebut menurun tajam dibandingkan dengan puncak kasus aktif pada 7 April 2020 sejumlah 696 kasus.
Data kasus harian juga menunjukkan penurunan. Kasus baru harian terakhir yang dilaporkan adalah dua kasus pada 22 Mei 2020 dan semuanya merupakan kasus impor. Jumlah tersebut menurun dibandingkan dengan kasus baru harian tertinggi yang terjadi pada 29 Maret 2020 sejumlah 82 kasus.
Berbagai data di atas menunjukkan keberhasilan Pemerintah Hong Kong menerapkan strategi untuk mengontrol pandemi di wilayahnya. Dalam hal ini, Carrie Lam merujuk pada dua strategi pencegahan dan kontrol melawan pandemi yang telah dijalankan.
Strategi pertama disebut ”Suppress and Lift”, sedangkan strategi kedua dinamakan ”three-way tug-of-war”. Strategi pertama bertujuan menekan angka infeksi hingga titik terendah untuk kemudian mengendurkan kebijakan sambil terus mengawasi munculnya infeksi baru.
Istilah bagi strategi kedua merupakan metafora yang menggambarkan perlunya pemerintah terus memperhatikan tiga faktor, yakni kesehatan publik, dampak ekonomi, serta penerimaan sosial dalam setiap kebijakan melawan Covid-19.
Baca juga : Hong Kong Dilanda Demo Memprotes UU Keamanan China
Dua strategi tersebut tidak menggambarkan dua fase dalam urutan waktu, tetapi menggambarkan strategi yang saling melengkapi. Oleh karena itu, walaupun telah berhasil menekan tingkat penularan virus SARS-CoV-2 hingga titik terendah, Pemerintah Hong Kong terus menjalankan kebijakan ”suppress” dengan tes Covid-19.
Tes Covid-19 dijalankan sebagai upaya untuk mendeteksi penyebaran sejak dini dan mengawasi timbulnya kasus baru. Hingga 19 Mei 2020, sejumlah 202.930 tes Covid-19 telah dilakukan di seluruh Hong Kong sejak Januari 2020.
Keberhasilan tersebut membuat Hong Kong melunakkan beberapa kebijakan sejak 5 Mei 2020. Salah satunya merevisi aturan jumlah orang yang dapat berkumpul dari empat menjadi delapan orang. Selain itu, beberapa fasilitas umum terkait dengan kegiatan hiburan dan kesehatan mulai dibuka secara bertahap, seperti bisokop, pusat kesehatan, panti pijat, kolam renang, dan pantai.
Kebebasan
Perjuangan mengendalikan pandemi dapat diibaratkan sebagai perjuangan antara hidup dan mati. Ancamannya adalah hidup manusia itu sendiri.
Dengan demikian, berbagai persoalan, seperti keadilan, harga diri, hingga persoalan ekonomi tenggelam atas nama perang melawan virus. Akan tetapi, berbagai persoalan tersebut tidak hilang, tetapi ditunda untuk diselesaikan.
Ketika Pemerintah Hong Kong berhasil mengambil kendali atas pandemi, warga Hong Kong kembali berdemonstrasi. Hal ini menunjukkan bahwa bagi warga Hong Kong, kebebasan berpendapat adalah harga mutlak yang perlu terus diperjuangkan dalam hidup bernegara. Bahkan, dapat dikatakan bahwa warga Hong Kong lebih takut mati karena pandemi daripada mati memperjuangkan demokrasi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?