Beri Waktu bagi Laut Pulihkan Diri
Lingkungan hidup di sekitar manusia didominasi oleh perairan dan lautan. Karena itu, perlindungan melalui konservasi laut perlu terus diupayakan agar laut tetap dapat memberikan kehidupan bagi Bumi.
Laut merupakan bagian penting bagi kehidupan Bumi. Sebanyak 70 persen permukaan Bumi diliputi oleh lautan. Selain itu, lautanlah yang menampung 97 persen air di planet ini. Namun, kini kelestarian lautan menghadapi masalah akibat keberadaan sampah plastik dan naiknya suhu permukaan laut.
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyebutkan 8 juta ton plastik berakhir di lautan dunia setiap tahun. Sampah-sampah plastik itu berasal dari sungai-sungai dunia, yang berfungsi sebagai saluran langsung sampah dari kota-kota dunia ke lingkungan laut.
Terdapat lima negara yang menjadi penyumbang terbesar sampah plastik di lautan, yaitu China, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Penyebabnya, penggunaan barang-barang plastik yang banyak dipakai di negara-negara tersebut, terutama kantong plastik.
Untuk mengurangi pencemaran limbah plastik, beberapa negara mulai menerapkan kebijakan melarang penggunaan kantong plastik. Bangladesh, India, dan Afrika Selatan merupakan negara-negara yang memulai memelopori pelarangan kantong plastik.
Di Indonesia, sejumlah kota sudah menerapkan pelarangan plastik sekali pakai. Beberapa daerah itu adalah Kota Bogor (Jawa Barat), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Balikpapan (Kalimantan Timur), Provinsi Bali, dan Provinsi DKI Jakarta.
Indonesia juga menargetkan pengurangan 70 persen sampah plastik di laut pada 2025. Target tersebut dituangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 yang mengatur tentang penanganan sampah laut.
Peningkatan suhu laut
Persoalan kelestarian laut dunia tidak hanya soal sampah. Laut mengalami dinamika di luar pola kebiasaan seiring terjadinya perubahan iklim.
Suhu bumi yang semakin panas menyebabkan suhu laut meningkat pula. Hal ini menambah penguapan air laut dan memindahkan panas ke udara. Ketika wilayah ini dilalui angin badai yang menuju darat, lebih banyak uap air yang terbawa.
Hasilnya badai menjadi semakin parah. Angin berembus makin kencang karena perbedaan suhu hangat dan dingin semakin tingggi, serta curah hujan berlipat ganda. Angin berkecepatan tinggi dan air yang merendam daratan mendatangkan kerusakan bagi kehidupan.
Badai disertai banjir dan kenaikan air laut mulai berada di luar kendali manusia. Kondisi ini turut mengancam habitat manusia di daerah pesisir. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, terdapat 2,4 miliar manusia yang tinggal di wilayah pesisir.
Jumlah tersebut mencapai 40 persen populasi dunia. Sejumlah 600 juta jiwa di antaranya bermukim di pesisir dengan ketinggian permukaan tanah kurang dari 10 meter di atas permukaan laut yang rawan terhadap bencana rob atau bencana badai yag setiap saat menyapu kawasan pesisir.
Sebagaimana pengurangan penggunaan plastik, dunia juga berjuang menghadapi krisis bencana di daerah pesisir pantai. Kajian yang dilakukan oleh Skylar Tibbits dari Departemen Arsitektur Institut Teknologi Massachusetts mengungkapkan tiga alternatif yang dapat dilakukan manusia dalam menghadapi krisis habitat di pesisir.
Saran pertama adalah menjauh dari wilayah pesisir. Badai yang makin sering terjadi membuat penduduk yang tinggal di pesisir AS mulai berkemas-kemas pindah, seperti yang dilakukan di Norfolk. Para pemilik rumah waterfront beramai-ramai menjual properti mereka.
Alternatif kedua adalah membangun pelindung berupa tembok laut. Namun, strategi pembangunan tembok laut membutuhkan waktu panjang dan mahal. Belum lagi risiko kerusakan di wilayah yang rawan gempa. Selain itu, pembangunan tembok laut masih memerlukan peremajaan berkala untuk mengejar kecepatan kenaikan permukaan air laut.
Strategi terakhir adalah penimbunan atau reklamasi di wilayah pesisir. Serupa dengan membangun tembok laut, reklamasi wilayah pesisir juga memerlukan waktu lama dan mahal dari sisi biaya. Selain itu, jika tidak dilakukan dengan saksama, hal tersebut berpotensi merusak habitat alami biota laut.
Melihat kendala dan kelemahan sejumlah cara di atas, manusia terus mencari cara untuk tetap dapat hidup berdampingan dengan laut. Konservasi lingkungan untuk melindungi Bumi menjadi cara yang giat dilakukan banyak pihak akhir-akhir ini.
Andalkan kekuatan alam
Terbaru, kampanye Hari Laut Sedunia 2020 mengusung misi perlindungan terhadap 30 persen lingkungan di Bumi. Gerakan ini dimotori oleh Yayasan Wyss dan National Geographic.
Saat ini, wilayah di muka bumi yang telah ditetapkan sebagai daerah konservasi baru mencapai 15 persen daratan dan 7 persen lautan.
Target menjadikan sepertiga wilayah darat dan laut sebagai wilayah lindung diharapkan tercapai pada tahun 2030. Subyek yang dilindungi melingkupi wilayah darat, laut, dan segala keanekaragaman hayati di dalamnya, serta masyarakat asli atau adat yang tinggal di wilayah pelestarian.
Salah satu faktor munculnya gagasan ini adalah hasil studi kasus di wilayah laut di Cabo Pulmo, Meksiko. Pada tahun 1990-an, perairan Cabo Pulmo memiliki lanskap gersang bagaikan padang gurun di dasar laut.
Kondisi Cabo Pulmo yang gersang membuat tidak ada lagi terumbu karang dan ikan. Akibatnya, nelayan lokal kesulitan mencari ikan sebagai sumber penghasilan mereka.
Para nelayan setempat kemudian sepakat untuk menghentikan aktivitas menangkap ikan. Kemudian mereka meminta Pemerintah Meksiko untuk menjadikan wilayah perairan seluas 70 km persegi tersebut sebagai kawasan taman nasional.
Hasilnya, dalam waktu 10 tahun habitat dasar laut Cabo Pulmo membaik dan pulih kembali. Terumbu karang mulai tumbuh dan ikan-ikan berdatangan. Spesies predator juga muncul kembali, di antaranya ikan kerapu dan hiu.
Keanekaragaman hayati laut Cabo Pulmo meningkat 460 persen setelah dibiarkan tanpa gangguan manusia selama satu dekade. Saat ini, nelayan setempat bisa melaut kembali, sektor pariwisata yang menawarkan atraksi bawah laut pun berkembang.
Keberhasilan model inilah yang menginspirasi kampanye pelestarian sepertiga wilayah muka bumi. Kampanye yang disebut Campaign for Nature (CFN) ini melibatkan seluruh negara di dunia untuk turut serta melaksanakan perjanjian internasional.
Konservasi
Tonggak dimulainya kampanye untuk alam tersebut dijadwalkan dalam konferensi Convention on Biological Diversity (CBD) di Kunming, China. Acara ini menurut rencana digelar pada 15-28 Oktober 2020.
Misi dari kampanye ini adalah mencegah punahnya spesies dalam keanekaragaman hayati di seluruh penjuru dunia. Dikhawatirkan dengan semakin banyaknya spesies yang punah akan timbul ketimpangan ekosistem.
Konservasi lingkungan untuk melindungi Bumi menjadi cara yang giat dilakukan banyak pihak akhir-akhir ini.
Apabila terjadi ketimpangan, ekosistem akan sulit untuk pulih secara alami. Maka dari itu, diusulkan empat butir komitmen yang akan dimasukkan dalam perjanjian.
Pertama, wilayah tertentu diprioritaskan berdasarkan kekayaan hayati yang ada di dalamnya. Dalam mencapai target, negara mitra harus memiliki rencana konservasi yang sistematis. Pendekatan yang dilakukan berdasar ilmu pengetahuan serta bekerja sama dengan penduduk asli atau adat.
Prioritas berada di wilayah yang relatif belum tersentuh atau dirusak oleh aktivitas manusia. Konservasi harus dilakukan dengan cara dan tujuan kelestarian kekayaan alam dan kehidupan manusia di dalamnya.
Kedua, hak-hak masyarakat adat harus diakui dan dijunjung tinggi. Hal ini seturut dengan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat yang disahkan pada 2007. Negara harus menginformasikan dan memberikan arahan kepada masyarakat adat dalam kerja sama mengelola kawasan pelestarian.
Ketiga, wilayah yang dikonservasi harus dikelola dalam jangka panjang dan terencana sehingga dapat membuahkan hasil. Tujuan dapat tercapai secara efektif apabila kerja sama dengan penduduk adat terjalin dengan baik.
Keanekaragaman hayati laut Cabo Pulmo meningkat 460 persen setelah dibiarkan tanpa gangguan manusia selama satu dekade.
Kemudian ruang geografis ditentukan secara jelas, dikelola secara adil dengan memperhatikan kehidupan masyarakat adat. Pengelolaan sumber daya dan lingkungan harus secara legal.
Keempat, tersedia dana yang cukup untuk melakukan konservasi jangka panjang. Tujuan melindungi 30 persen wilayah bumi tidak akan tercapai jika negara mitra tidak menganggarkan dana yang cukup.
Walau masih dalam tahap perencanaan dan kampanye, skenario yang ditawarkan Campaign for Nature cukup menjanjikan dan mudah dilaksanakan. Hal ini terbukti pada pulihnya ekosistem di wilayah laut Cabo Pulmo.
Keberhasilan nelayan di Cabo Pulmo menunjukkan bahwa pemulihan alam harus dilakukan dengan komitmen yang kuat. Memberikan waktu pada alam untuk memulihkan diri dapat memberi buah kehidupan baru kepada manusia dan Bumi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?