Kebijakan normal baru dalam menghadapi pandemi Covid-19 menimbulkan dilema. Di satu sisi, responden merespons positif hal itu. Namun, di sisi lain juga mengkhawatirkan adanya gelombang baru penularan Covid-19.
Oleh
Eren Marsyukrilla/ Litbang Kompas
·4 menit baca
Antusiasme publik menyambut normal baru terekam dari hasil jajak pendapat Kompas. Hampir semua responden (97 persen) menyatakan siap menaati protokol kesehatan yang menjadi kewajiban di tengah tatanan kehidupan normal baru. Sebagian besar responden mengaku akan mempersiapkan kelengkapan yang mendukung protokol kesehatan, seperti masker, hand sanitizer, pelindung wajah, dan perlengkapan lain.
Normal baru yang dikampanyekan pemerintah tidak lepas dari kondisi tiga bulan terakhir masa pandemi yang memukul banyak sektor usaha dan roda perekonomian. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, setidaknya 1,7 juta pekerja formal dan informal telah terdampak Covid-19.
Keadaan itu membuat pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit menyelamatkan perekonomian tanpa harus mengorbankan kesehatan masyarakat. Kebijakan pembatasan sosial yang diberlakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 memukul sektor usaha.
Pertengahan Mei, pemerintah mengimbau masyarakat untuk hidup damai dan berdampingan dengan Covid-19. Dengan begitu, diharapkan aktivitas dan produktivitas masyarakat kembali bergulir dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan. Lebih dari 70 persen responden yakin pemberlakuan normal baru akan memulihkan perekonomian.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan rekomendasi prasyarat ketat yang harus dipenuhi negara terdampak Covid-19 untuk dapat menerapkan normal baru. Beberapa syarat itu, di antaranya pembuktian keberhasilan dalam menekan penyebaran virus, penyediaan fasilitas kesehatan dan upaya penanganan memadai, pemberlakuan protokol kesehatan, serta pelibatan masyarakat secara optimal dalam penerapan kebiasaan baru sesuai prosedur.
Selaras dengan hal tersebut, 40,3 persen responden sepakat bahwa pemberlakuan normal baru merupakan langkah tepat, tetapi tetap harus dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus. Sekitar 20 persen responden lain menyatakan, pemberlakuan normal baru seharusnya hanya dilakukan untuk daerah yang berstatus zona hijau.
Responden menyadari upaya hidup berdampingan dengan Covid-19 bukan tanpa risiko. Sekitar 28 persen responden mengaku cemas terhadap adanya gelombang penularan kedua akibat pelonggaran pembatasan di tengah belum redanya pandemi.
Responden menyadari upaya hidup berdampingan dengan Covid-19 bukan tanpa risiko. Sekitar 28 persen responden mengaku cemas terhadap adanya gelombang penularan kedua akibat pelonggaran pembatasan di tengah belum redanya pandemi.
Sementara 20 persen responden lain justru menaruh kekhawatiran pada realisasi penerapan normal baru oleh pemerintah. Kebijakan penanganan Covid-19 yang sering kali tak selaras antara pemerintah pusat dan daerah membuat efektivitas serta keberhasilan penerapan tatanan baru dipertanyakan.
Secara garis besar, dalam hal penanganan Covid-19, pemerintah pusat memang memberikan keleluasaan kepada daerah untuk bertindak dan bertanggung jawab atas kebijakan yang diambil di daerah masing-masing. Namun, hal tersebut justru mengesankan kerja penanganan Covid-19 cenderung kurang terkoordinasi baik. Padahal, kerja penanganan Covid-19, terlebih lagi dalam penerapan normal baru, memerlukan ketegasan arahan, pengawasan, dan evaluasi guna memastikan penerapannya berjalan baik.
Sosialisasi
Kecenderungan belum optimalnya sinergi pusat-daerah sangat mungkin menimbulkan kebingungan publik dalam memahami konsep dan tujuan normal baru. Sebanyak 96,2 persen responden menyatakan mengetahui rencana pemerintah untuk menerapkan normal baru. Namun, pemahaman yang berkembang dalam ruang sosial justru masih beragam.
Sebanyak 72,9 persen responden menangkap penerapan normal baru yang dikampanyekan pemerintah merupakan konsep hidup berdampingan dengan Covid-19 tentunya sesuai protokol kesehatan. Sementara 14,4 persen responden lebih melihat kebijakan normal baru sebagai upaya pemulihan aktivitas perekonomian untuk menghindari resesi di masa pandemi.
Sebanyak 11,2 persen responden lain menyatakan tatanan kehidupan baru yang dimaksud pemerintah adalah cara menyelamatkan masyarakat dari krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi secara bersamaan.
Beragamnya respons publik menjadi sinyal bahwa pemerintah punya pekerjaan rumah untuk mengedukasi publik dengan komunikasi efektif yang mudah diterima. Proses memupuk pengetahuan dan rasa tanggung jawab publik merupakan hal paling penting yang menjadi landasan membangun kebiasaan (baru) masyarakat.
Sebanyak 55 persen responden mengaku sosialisasi pemerintah terkait penerapan normal baru sudah mulai cukup gencar dilakukan di daerahnya. Namun, sepertiga responden lainnya mengaku justru mengalami sebaliknya.
Metode edukasi kepada masyarakat saat ini tak melulu harus dilakukan dengan penyampaian informasi secara langsung. Namun, juga banyak dilakukan dengan menggunakan alat bantu peraga, seperti spanduk, poster, dan kampanye melalui media sosial.
Persiapan
Membangun adaptasi perilaku dalam normal baru yang dilandasi kematangan pengetahuan memang akan jauh lebih efektif bagi masyarakat untuk memasuki normal baru. Seseorang tidak akan lagi merasa terpaksa mematuhi ketatnya protokol kesehatan karena merasa bertanggung jawab atas keselamatan diri dan lingkungan sekitarnya terhadap bahaya penyebaran virus.
Apalagi persiapan ini sebenarnya sudah jauh-jauh hari dilakukan. Selama masa pandemi, masyarakat sudah diimbau untuk terbiasa membawa berbagai perlengkapan pribadi yang digunakan jika berada di ruang bersama, seperti peralatan makan dan minum hingga ibadah. Selain perlengkapan fisik, 13,4 persen responden lebih cenderung fokus terhadap penyiapan mental menghadapi masa adaptasi normal baru.
Membiasakan diri guna mengubah kenyamanan rutinitas memang tak mudah. Sikap adaptif pada kondisi pandemi sudah semestinya terus dibangun. Kini, semua orang punya tanggung jawab dalam menentukan keberhasilan normal baru. Rasa tanggung jawab ini penting di tengah kehidupan tatanan baru yang sebenarnya masih diselimuti oleh pertaruhan karena bayangan lonjakan kasus pandemi setiap saat bisa saja terjadi.