Merawat Minat Baca melalui Buku
“Buku adalah langkah selanjutnya setelah koran” – Jakob Oetama
Kualitas pembangunan manusia Indonesia masih menghadapi tantangan minimnya angka aktivitas literasi masyarakat. Menurut laporan Indeks Aktivitas Literasi Membaca 2019, capaian indeks aktivitas literasi nasional berada di angka 37,32 poin. Jika dibandingkan dengan skor maksimal 100, capaian tersebut masuk dalam kategori rendah.
Jika dilihat berdasarkan provinsi, tidak ada wilayah di Indonesia yang memiliki skor Indeks Aktivitas Literasi di dalam kategori tinggi atau dengan rentang 60-80 poin. Sebagian besar provinsi di Indonesia masih memiliki skor aktivitas literasi di kategori rendah dengan capaian di kisaran 20 hingga 40 poin.
Bahkan, masih ada provinsi yang memiliki skor aktivitas literasi di kategori sangat rendah dengan skor di bawah 20 poin. Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya 9 provinsi yang memiliki skor aktivitas literasi membaca di kategori sedang atau berada di rentang 40-60 poin.
Menurut laporan tersebut, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Bali menjadi provinsi dengan Indeks Alibaca tertinggi di Indonesia. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan Indeks Aktivitas Literasi tertinggi dengan indeks sebesar 58,16 poin.
Di peringkat kedua adalah Provinsi DIY dengan indeks sebesar 56,2 poin dan Kepri dengan indeks sebesar 54,76 poin. Berikutnya adalah Kaltim dengan indeks sebesar 46,01 poin dan Bali dengan indeks sebesar 44,58 poin.
Sementara provinsi dengan Indeks Aktivitas Literasi terendah di Indonesia ialah Lampung, NTT, Kalimantan Barat, Papua Barat dan Papua. Bahkan, Papua yang menjadi provinsi dengan Indeks Alibaca terendah di Indonesia memiliki besaran indeks di bawah 20 poin.
Budaya membaca
Kajian aktivitas literasi tersebut juga menemukan dua dimensi yang membuat minimnya aktivitas literasi masyarakat, yaitu aspek akses dan budaya. Dimensi yang paling banyak berkontribusi dalam rendahnya capaian tersebut ialah dimensi akses dengan capaian nasional sebesar 24 poin.
Dimensi ini mencakup variabel baik buruknya perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, dan kebiasaan membeli koran serta majalah. Minimnya aspek ini menjadi gambaran bahwa akses terhadap kegiatan literasi di Indonesia masih menghadapi faktor dasar kemudahan masyarakat mendapatkan produk-produk literasi.
Selain dimensi akses, dimensi budaya juga menjadi yang paling buruk capaiannya dalam laporan Indeks Aktivitas Literasi Membaca 2019. Skor nasional dalam dimensi ini berada di kisaran 28 poin atau termasuk ke dalam kategori rendah.
Di Indonesia, hanya Provinsi Kepri, DIY, dan DKI Jakarta saja yang memiliki skor dimensi budaya yang termasuk ke dalam kategori sedang. Sementara Provinsi Lampung dan Papua menjadi daerah dengan capaian dimensi budaya terendah yang masuk ke dalam kategori sangat rendah atau dengan nilai di bawah 20 poin. Rendahnya skor pada aspek ini menjadi gambaran bahwa budaya membaca belum menjadi kegiatan yang diutamakan masyarakat Indonesia.
Memahami bacaan
Aktivitas membaca masyarakat memiliki relasi dengan tingkat kecakapan literasi. Salah satu dimensi untuk melihat aspek kecakapan literasi adalah angka melek huruf.
Jika melihat dari tingkat buta huruf di Indonesia, sebetulnya sangat sedikit masyarakat Indonesia yang tidak dapat membaca. Semenjak tahun 2014 hingga 2019, Indonesia secara konsisten berhasil menekan angka buta huruf. Dalam rentang waktu tersebut, angka buta huruf di Indonesia berhasil diturunkan dari 6,12 persen menjadi 4,93 persen.
Namun, kian rendahnya angka buta huruf ini tidak diimbangi dengan kemampuan dan minat baca masyarakat di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh fungsi kemampuan membaca masyarakat yang tergambar dari tingkat buta huruf fungsional. Berbeda dengan tingkat buta huruf biasa, tingkat buta huruf fungsional mengukur seberapa banyak orang yang bisa membaca dan memahami isi dari teks yang mereka baca.
Tingkat buta huruf fungsional atau biasa disebut functionally illiterate, di Indonesia terlihat dalam laporan Bank Dunia pada 2018. Laporan yang bertajuk ”Indonesia Economic Quarterly” ini menyoroti tingginya tingkat buta huruf fungsional di Indonesia.
Dalam laporan tersebut, terdapat hasil dari tes Programme for International Student Assessment (PISA) yang menakar tingkat keterdidikan anak sekolah berusia 15 tahun ke atas di 20 negara. Salah satu yang diukur dalam tes tersebut ialah kemampuan murid dalam membaca dan memahami teks.
Menurut laporan Bank Dunia itu, lebih dari 55 persen penduduk di atas 15 tahun di Indonesia mengalami buta huruf fungsional pada 2015. Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Vietnam, persentase warga yang mengalami buta huruf fungsional di Indonesia masih lebih banyak dibandingkan dengan Vietnam. Tingkat buta huruf fungsional di Vietnam sebesar 14 persen.
Hasil tes terbaru pada 2018 juga menunjukkan fenomena serupa. Rendahnya kemampuan baca terlibat dari data 30 persen dari pelajar di Indonesia yang dapat memahami teks yang mereka baca.
Temuan minimnya tingkat buta huruf fungsional dari Bank Dunia dan rendahnya aktivitas literasi masyarakat merupakan problem peningkatan kualitas pembangunan manusia di Indonesia. Setidaknya pekerjaan rumah tersebut terlihat dari dua aspek.
Pertama, mayoritas masyarakat di Indonesia memiliki kemampuan membaca, sebagian di antaranya tidak mampu untuk memahami isi teks yang mereka baca. Kedua, rendahnya kemampuan baca ini diperparah dengan akses terhadap bacaan yang minim serta keengganan masyarakat dalam memanfaatkan akses untuk membaca.
Buku ”Kompas”
Ragam cara dilakukan pemerintah untuk meningkatkan budaya membaca dan menghapus buta huruf fungsional. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program Gerakan Indonesia Membaca.
Program ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan membaca, menulis dan berhitung bagi masyarakat. Untuk masyarakat yang sudah melek aksara, program ini bertujuan untuk mengembangkan masyarakat untuk menjadi aksarawan cerdas, kreatif, dan produktif.
Ada pula Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku atau Gernas Baku. Tujuannya adalah menumbuhkan minat membaca buku pada anak sejak usia dini.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki program Kotak Literasi Cerdas atau Kolecer. Program ini berupa penyediaan sebuah lemari buku berbentuk mirip kotak telepon merah khas Inggris yang tersebar di pusat-pusat keramaian di semua kabupaten/kota. Dengan hadirnya Kolecer, masyarakat semakin mudah mengakses bacaan dan meluangkan waktunya untuk membaca buku.
Intisari dari kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat memupuk kebiasaan membaca buku pada masyarakat. Keresahan ini pun ditangkap oleh harian Kompas. Bagi Kompas, keberadaan buku telah menjadi bagian penting dalam aktivitas perusahaan.
Buku bukan hanya menjadi sumber referensi bagi wartawan dalam menulis, tetapi juga menjadi salah satu produk yang ditawarkan. Sejak awal terbitnya, Kompas menjadikan buku sebagai bagian dari informasi dan pengetahuan yang diberikan kepada pembacanya.
Pada 1966, Kompas menampilkan informasi seputar buku dalam kolom Tinjauan Buku. Kompas edisi 6 Januari 1966 menerbitkan artikel Seri Bacaan Prajurit terbitan Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Buku tersebut bertujuan untuk memupuk kesadaran prajurit-prajurit TNI yang bertugas sebagai pengawal negara.
Sejak saat itu hingga sekarang, Kompas masih konsisten menampilkan resensi buku. Komitmen menumbuhkan minat baca dan menebalkan budaya membaca bukan hanya dilakukan dengan menampilkan artikel buku di halaman koran, tetapi juga lewat produk buku.
Berbagai buku diterbitkan melalui Penerbit Buku Kompas (PBK). Sejak didirikan pada 1999, ratusan hingga ribuan buku berhasil diterbitkan oleh Kompas tiap tahun.
Cara ini ditempuh untuk menggenapi usaha mencerdaskan bangsa melalui koran. Pendiri Kompas Jakob Oetama mengungkapkan bahwa buku merupakan langkah selanjutnya setelah koran. Bagi Kompas, buku dimanfaatkan sebagai medium dalam mengkristalkan informasi dan pengetahuan. Utamanya, yang berasal dari kegiatan jurnalistik serta selaras dengan nilai-nilai yang dibawa oleh harian Kompas.
Salah satu contohnya ialah buku berjudul Sihir Gerhana yang diterbitkan pada 2016. Buku setebal 172 halaman ini menyajikan kumpulan artikel dan tulisan opini di harian Kompas yang terkait dengan gerhana dari tahun 1969 hingga 2016. Nilai buku memberi manfaat pengetahuan bagi masyarakat luas tentang gerhana sekaligus menjadi wadah bagi para ahli dan akademisi untuk membagikan pemikirannya terkait dengan fenomena gerhana.
Melalui buku ini, harian Kompas ingin merespons fenomena gerhana yang terjadi pada 2016. Kolase artikel yang dikumpulkan dalam buku ini menunjukkan bagaimana Indonesia dan masyarakatnya merespons kejadian alam tersebut dari masa ke masa.
Mulai dari bagaimana gencarnya pemerintah dalam mengedukasi masyarakat tentang bahaya melihat gerhana matahari secara langsung hingga potensi gerhana dalam meningkatkan pendapatan pariwisata di Indonesia. Terlebih lagi, buku ini juga menunjukkan perspektif saintifik dan mitos serta cerita folklore tentang gerhana yang telah lama ada di kebudayaan Indonesia.
Karena itu, buku ini dapat hadir bukan hanya untuk memberikan kejelasan obyektif gerhana dari perspektif logis. Namun, buku ini juga menceritakan kisah historis serta antropologis yang membuat gerhana menjadi sesuatu yang menarik untuk dibaca.
Banyak lagi produk-produk Penerbit Buku Kompas seperti buku Excellent Service of Airnav Indonesia, kemudian buku Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, serta buku 365 Hari MP-ASI.
Dari sisi literasi publik, kehadiran media seperti koran, majalah, dan buku merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan menumbuhkan budaya membaca bagi masyarakat. Kepedulian harian Kompas dan Penerbit Buku Kompas terhadap aspek literasi publik tersebut disampaikan melalui kualitas berita atau artikel, serta kualitas isi buku yang diterbitkan.
Saat pandemi Covid-19 seperti saat ini, kepedulian sejumlah penerbit buku ditunjukkan dengan memberikan akses gratis buku digital. Buku-buku digital bertema virus dan penyakit korona memberikan literasi tambahan bagi masyarakat di tengah hadirnya berita bohong yang menyebar cepat.
Sebagaimana surat kabar, industri buku cetak saat ini sedang menghadapi tantangan baru dari perkembangan teknologi dan internet. Ditambah munculnya alat pembaca buku atau book reader, seperti Kindle, komputer tablet, dan ponsel pintar, sebagian industri buku cetak mengalami disrupsi dari sisi pendapatan.
Baca juga: Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang, Resep Sejarah Ong Hok Ham
Tantangan tersebut ditambah datangnya pesaing baru berupa penerbitan buku independen atau self-publishing yang membuat penulis dapat dengan mudah menerbitkan karyanya.
Khusus di Indonesia, tantangan lain yang dihadapi adalah minimnya minat baca masyarakat dan akses buku masyarakat. Walau memerlukan kerja keras, usaha menumbuhkan minat baca harus terus dilakukan. Selain berkontribusi bagi perkembangan kualitas masyarakat, langkah ini sekaligus juga untuk menjaga pangsa pasar koran dan buku di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?