Dunia pendidikan di sejumlah negara memasuki perkembangan awal dari sebuah kehidupan baru selama masa pandemi Covid-19.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi Indonesia untuk memasuki budaya pendidikan digital. Pembelajaran jarak jauh yang telah diterapkan selama hampir satu triwulan dapat menjadi modal historis bagi perbaikan sistem pendidikan di Indonesia.
Dunia pendidikan di sejumlah negara, tak terkecuali Indonesia, praktis memasuki fase primum aevum atau perkembangan awal dari sebuah kehidupan baru selama masa pandemi Covid-19. Pembelajaran jarak jauh yang tak biasa dilakukan, suka ataupun tidak, harus menggantikan metode pembelajaran konvensional. Pilihannya jelas, beradaptasi atau tidak sama sekali.
Kabar positifnya, para pelajar, guru, dan orangtua memiliki daya lentur yang cukup baik untuk menyikapi situasi. Di tengah segala keterbatasan, pembelajaran secara daring akhirnya dapat dilakukan.
Masih jauh dari sempurna, tetapi pengalaman ini dapat menjadi modal bagi Indonesia untuk melangkah menuju gerbang revolusi pendidikan pada masa yang akan datang. Perbaikan pendidikan berbasis teknologi tentunya akan dialami Indonesia cepat atau lambat.
Para pelajar, guru, dan orangtua memiliki daya lentur yang cukup baik untuk menyikapi situasi.
Daya lentur atau sifat elastis responden terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada 16-22 Mei 2020. Sebanyak 3 dari 4 responden yang terlibat langsung dalam pembelajaran jarak jauh telah memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu utama. Aplikasi percakapan, seperti Whatsapp; video pembelajaran lewat Youtube; dan media sosial lain menjadi pilihan utama yang dimanfaatkan dalam menunjang pembelajaran.
Banyaknya pelajar, guru, dan orangtua yang memanfaatkan media sosial sebagai jembatan pembelajaran sangat wajar. Media inilah yang acap kali dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari sebelum pandemi Covid-19.
Bedanya, fasilitas digital ini sebelumnya dilarang dipakai selama kegiatan belajar. Namun, selama pandemi, fasilitas itu justru dimanfaatkan sebagai medium utama pembelajaran. Tidak hanya media sosial, aplikasi seperti Zoom dan Google Meet mendadak menjadi bahan pembicaraan karena sering dipakai.
Manfaat
Setelah melalui tahap pertama dalam adaptasi yang menghasilkan daya lentur, pada tahap selanjutnya, publik mulai merasakan manfaat dari proses belajar di rumah. Manfaat ini dirasakan setelah tahap pembelajaran jarak jauh dilakukan selama hampir tiga bulan.
Salah satu hal yang dirasakan adalah kian dekatnya hubungan antara orangtua dan anak. Hal ini diungkapkan 45,3 persen responden yang merasakan manfaat belajar dari rumah karena orangtua dapat mendampingi proses belajar anak.
Manfaat lain adalah waktu belajar yang lebih fleksibel. Pelajar dan orangtua dapat mengatur waktu belajar selama di rumah sesuai kebutuhan mereka.
Interaksi erat anak dan orangtua pun menjadi hal yang tak terelakkan.
Sebagian kecil responden mengaku bahwa materi pelajaran yang diterapkan tidak begitu kaku selama pembelajaran jarak jauh. Artinya, daya lentur juga telah mulai dimiliki oleh para tenaga pengajar dalam memberikan materi kepada peserta didik meski baru dirasakan segelintir pihak.
Namun, sejauh mana sifat lentur dan kebermanfaatan itu memberi daya lenting bagi transformasi sistem pendidikan Indonesia?
”Quo vadis”
Harapan positif muncul dari mereka yang merasakan pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19. Pengalaman belajar dari rumah memberi suatu sentuhan yang diharapkan dapat dimodifikasi dalam pendidikan di masa yang akan datang.
Saat memasuki tatanan normal setelah pandemi, pemanfaatan teknologi tampaknya akan menjadi gaya baru dalam sistem pendidikan di Indonesia. Indikator pendukungnya, lebih dari separuh responden menyatakan pembelajaran dengan medium teknologi perlu dilanjutkan setelah pandemi berakhir.
Diskusi daring dengan guru menjadi harapan utama publik (41,7 persen) untuk tetap dilanjutkan. Meski tidak menjadi rutinitas, metode pembelajaran ini diharapkan menjadi alternatif yang dapat dilakukan untuk mengisi ruang kosong dalam sektor pendidikan konvensional.
Selain itu, teknologi juga diharapkan dapat menjadi solusi alternatif jika proses belajar-mengajar di Indonesia terhenti akibat bencana alam ataupun nonalam. Hal ini disuarakan oleh hampir dua per tiga responden yang menilai pembelajaran melalui video interaktif adalah cara efektif yang dapat ditempuh andaikan Indonesia mengalami kondisi serupa seperti saat ini.
Munculnya asa terkait pemanfaatan teknologi dalam dunia pendidikan setelah pandemi sekaligus menjadi gambaran bahwa publik mulai memberi ruang bagi pemanfaatan teknologi pada sektor pendidikan. Pemanfaatan teknologi juga dapat menjadi jalan tengah terhadap penolakan pembukaan aktivitas sekolah pada tahun ajaran baru, Juli mendatang.
Hingga Senin siang, 1 Juni lalu, penolakan ini telah ditandatangani oleh lebih dari 58.000 orang dalam petisi daring change.org. Kondisi ini tentu menuntut penggunaan teknologi dalam pelajaran jarak jauh dalam jangka waktu yang lebih lama.
Tugas bersama
Walakin, di balik semua pengalaman dan manfaat yang dirasakan dalam tatanan pendidikan baru selama pandemi, suka ataupun tidak, harus diakui masih banyak batu sandungan yang perlu disingkirkan untuk menuju gerbang revolusi pendidikan.
Persoalan pertama adalah aksesibilitas. Ketersediaan akses internet dan peranti elektronik menjadi hambatan utama yang harus dilalui oleh pelajar, guru, dan orangtua. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan digital menjadi momok yang dapat menghambat budaya pembelajaran digital di Indonesia.
Ketersediaan akses internet dan peranti elektronik menjadi hambatan utama yang harus dilalui oleh pelajar, guru, dan orangtua.
Kesenjangan digital dialami tenaga pendidik, para pelajar, dan orangtua. Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), hanya 8 persen guru yang memahami penggunaan gawai dalam proses belajar daring. Temuan ini berdasarkan survei yang dilakukan KPAI terhadap 602 guru di 14 provinsi di Indonesia, April 2020.
Dari sisi pelajar dan orangtua, kesenjangan digital juga turut menjadi persoalan. Menilik catatan Badan Pusat Statistik pada 2018, sebagian besar penduduk di sejumlah provinsi belum terbiasa menggunakan internet. Di Jambi, misalnya, hanya 35,82 persen penduduk yang terbiasa menggunakan internet. Di Maluku, internet hanya diakses 29,79 persen penduduk.
Tentu hal ini menjadi tugas bersama demi mencapai gerbang revolusi pendidikan berbasis teknologi. Bahu-membahu antara pemerintah, swasta, dan masyarakat amat dibutuhkan demi mencapai pendidikan digital yang inklusif. (LITBANG KOMPAS)