Masyarakat Kian Aktif Belanja Daring
Peluang transaksi digital secara global harus benar-benar dapat dimanfaatkan pemilik usaha, utamanya usaha kecil dan menengah.
Pembatasan sosial meningkatkan aktivitas belanja daring masyarakat. Produk yang dibeli secara daring lebih beragam, baik melalui platform belanja daring maupun menggunakan aplikasi Whatsapp. Di balik pandemi, muncul peluang untuk mengembangkan ekosistem digital.
Pandemi Covid-19 mendorong masyarakat untuk aktif berbelanja secara daring. Penerapan pembatasan fisik atau pembatasan sosial guna menghindari penularan Covid-19 membuat masyarakat sebisa mungkin tidak keluar rumah. Mau tak mau, pilihan belanja daring menjadi solusi di tengah keterbatasan mobilitas ini.
Masyarakat yang sebelumnya tak pernah berbelanja secara daring pun mencoba pilihan ini. Jajak pendapat Kompas pada 16-23 Mei 2020 menunjukkan bagaimana pengeluaran uang dilakukan oleh publik untuk membeli produk atau jasa setelah kebijakan pembatasan sosial diberlakukan.
Sebanyak 31,5 persen responden membeli TV pintar, laptop, ataupun gawai baru dan mengeluarkan uang untuk memasang jaringan baru internet. Terdapat juga 12 persen responden yang berbelanja kebutuhan sehari-hari secara daring. Bahkan, hal ini menjadi kebiasaan baru yang sering dilakukan selama masa pembatasan sosial.
Sebanyak 31,5 persen responden membeli TV pintar, laptop, ataupun gawai baru dan mengeluarkan uang untuk memasang jaringan baru internet.
Selain karena larangan bepergian ke luar rumah, peningkatan aktivitas belanja daring juga didorong oleh kemudahan akses belanja melalui internet. Platform belanja daring tidak hanya terdiri dari aplikasi belanja daring, seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, tetapi juga melalui aplikasi percakapan Whatsapp.
Siwi (57), warga Perumahan Kalibagor Indah, Banyumas, Jawa Tengah, mulai berbelanja sayuran harian secara daring semenjak terjadi pandemi Covid-19. Ia terbantu dengan layanan beli dan antar sayuran Becer Online White Radish. Dalam seminggu, setidaknya minimal dua kali ia memesan sayuran melalui Whatsapp yang terhubung dengan penjual di Becer Online White Radish yang menyediakan sayuran dari pasar.
Herman (34), pengelola Becer Online White Radish, membuka jasa layanan beli dan antar sayuran dari lapaknya serta pedagang lain di Pasar Sega Mas Purbalingga dan Pasar Wage Purwokerto. Whatsapp dipilihnya sebagai media komunikasi karena pelanggannya lebih lancar menggunakan Whatsapp dibandingkan dengan menggunakan aplikasi belanja.
Di DKI Jakarta, penggunaan Whatsapp sebagai sarana komunikasi dimanfaatkan untuk menghubungkan pembeli dan penjual pasar tanpa harus pergi ke lokasi. Kementerian Komunikasi dan Informatika serta LinkAja menyediakan layanan pesan dan antar dari 18 pasar di DKI Jakarta. Pembeli hanya perlu mengirim jenis kebutuhan rumah tangga melalui nomor mitra pasar LinkAja. Pembayaran dilakukan dengan transaksi digital melalui QR Code yang dikirim mitra pasar.
Meningkat selama pandemi
Berbelanja sayuran dan kebutuhan sehari-hari secara daring merupakan salah satu contoh perubahan yang harus dilakukan masyarakat saat pandemi. Dari yang terbiasa berbelanja langsung ke pasar atau supermarket, masyarakat kini berbelanja sayuran dan kebutuhan harian secara daring.
Perubahan ini terekam dalam survei McKinsey pada 21-25 Maret 2020 terhadap 5.013 responden di tujuh negara. Di Indonesia, 16 persen responden menyatakan lebih sering berkunjung ke toko bahan pangan (grocery) secara daring. Sebanyak 16 persen responden juga mengeluarkan uang lebih banyak untuk berbelanja kebutuhan harian di platform daring. Responden (16 persen) menyatakan pula akan tetap berbelanja secara daring jika pandemi Covid-19 berakhir.
Meskipun penggunaan platform daring untuk berbelanja kebutuhan pangan di Indonesia tidak lebih tinggi dibandingkan dengan China, Korea Selatan, India, atau Thailand, fenomena ini patut ditandai sebagai peluang untuk mengembangkan pemasaran daring untuk produk kebutuhan pangan. Setidaknya di masa pandemi, masyarakat secara tak langsung terpaksa menjajal berbelanja secara daring.
McKinsey melaporkan pula bahwa ada kecenderungan akan lebih banyak orang memilih berbelanja secara daring untuk produk-produk lain. Menurut laporannya, dari 29 jenis produk yang ditanyakan, 27 produk akan dibeli lebih secara daring dalam dua minggu ke depan (sejak survei 20-22 Mei 2020). Beberapa produk tersebut, yaitu camilan, perawatan diri, peralatan rumah tangga, perlengkapan anak, dan peralatan olahraga.
Layanan hiburan
Selain kebutuhan harian, masyarakat lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli jasa hiburan. Menurut laporan McKinsey, hiburan di rumah adalah pengeluaran yang cukup meningkat saat pandemi.
Hal tersebut sejalan dengan jajak pendapat Kompas bahwa selama pandemi sebagian masyarakat membeli beberapa layanan berbayar. Memasang jaringan baru internet paling banyak dilakukan oleh responden (20,8 persen). Bekerja dan belajar dari rumah meningkatkan kebutuhan jaringan internet.
Sementara untuk kebutuhan tersebut dan kebutuhan hiburan, 10,7 responden membeli televisi pintar, laptop, dan telepon seluler baru. Selain itu, untuk mengisi waktu dan mencegah kebosanan di rumah, masyarakat mulai berlangganan saluran televisi berbayar (17,1 persen).
Selain kebutuhan harian, masyarakat lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli jasa hiburan.
Ada pula yang mengandalkan aplikasi film berbayar, seperti Netflix, Iflix, dan HOOQ sebagai sumber hiburan (9,1 persen). Belanja digital dilakukan untuk transaksi berita berbayar (5,3 persen) dan berlangganan buku berbayar (3,1 persen).
Keterbatasan mobilitas karena pembatasan sosial meningkatkan aktivitas masyarakat di rumah. Dari semula rumah sebagai tempat beristirahat atau berkumpul dengan keluarga, sekarang rumah menjadi tempat untuk berbagai aktivitas. Tak mengherankan, masyarakat berbelanja berbagai ragam barang untuk mendukung aktivitasnya di rumah.
Banyak kebiasaan baru yang dibangun masyarakat di rumah. Ada yang lebih sering menonton film atau mendengarkan musik daring, berbelanja daring, memasak dengan berbagai resep baru, hingga mencoba berjualan secara daring.
Peningkatan transaksi daring selama pembatasan fisik atau sosial meningkatkan ekosistem digital yang sebenarnya telah berkembang jauh sebelum Covid-19. Namun, dengan pandemi ini, jauh lebih banyak masyarakat baik pembeli maupun penjual yang merasakan mudahnya berbelanja secara daring.
Dengan tidak menentunya kondisi saat ini akibat Covid-19, maka solusi berbelanja daring perlu dikembangkan, khususnya bagi pemilik usaha yang selama ini masih menjalankan bisnis secara tradisional. Memperkenalkan dan membangun ekosistem digital dalam transaksi di pasar tradisional, seperti program Tuka Tuku Jujag Jujug di Purbalingga, perlu ditiru. Hal ini tak hanya menguntungkan konsumen, tetapi juga penjual dan pekerja lain, seperti kurir atau ojek, untuk meningkatkan pendapatannya di tengah pandemi.
Pasar digital
Transaksi belanja digital dan uang elektronik selama pandemi Covid-19 terbukti meningkat meski volume transaksi tidak lebih banyak dibandingkan dengan tahun lalu. Pada Januari-April 2020, Bank Indonesia mencatat terjadi 1.290,42 juta transaksi dengan nominal transaksi Rp 46,09 triliun. Sementara dalam periode yang sama tahun lalu, jumlah transaksi mencapai 1.444,18 juta dengan nominal transaksi Rp 31,42 triliun.
Peluang ekosistem keuangan dan perdagangan digital di Indonesia semakin meningkat. Sebelumnya, Indonesia memang sudah terkenal sebagai salah satu negara dengan transaksi uang elektronik terbesar pada 2018. Hingga 10 Februari 2019, terdapat 41 penyelenggara uang elektronik di Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari 12 bank, 24 perusahaan teknologi dan finansial teknologi (fintek), serta 5 perusahaan telekomunikasi.
Berdasarkan data S&P Global Market Intelligence pada 2018, jumlah kepemilikan uang elektronik Indonesia mencapai 167,2 juta. Bahkan, sepanjang 2017-2018, kepemilikan uang elektronik Indonesia tumbuh paling tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Thailand, atau Filipina.
Peluang ekosistem keuangan dan perdagangan digital di Indonesia semakin meningkat.
Dalam catatan data Bank Indonesia, sejak 2012 hingga 2019, jumlah transaksi dan nominal uang elektronik terus meningkat. Peningkatan paling tinggi terjadi pada 2018. Pada tahun tersebut, jumlah transaksi meningkat 210 persen, sementara nominal uang yang beredar dalam transaksi meningkat 281 persen dibandingkan dengan 2017.
Jumlah transaksi pada 2018 mencapai 2,92 miliar transaksi dengan nominal uang Rp 47,2 triliun. Sementara pada 2019, jumlah transaksi uang elektronik mencapai 5,23 miliar transaksi dengan nominal uang elektronik yang beredar Rp 145,17 triliun.
Peningkatan tersebut salah satunya didorong oleh transaksi dari layanan transportasi dan belanja daring, yaitu Gojek dan Grab. Dompet elektronik terintegrasi langsung dalam aplikasi layanan itu. Gojek meluncurkan dompet elektroniknya, Gopay. Sementara Grab menggandeng OVO sebagai penyedia jasa dompet elektronik yang terintegrasi dengan layanan Grab.
Dalam dua tahun terakhir, beberapa hasil survei menyebutkan Gopay dan OVO menguasai pasar dompet elektronik. Hasil Survei Snapcart 2019 menyebutkan, pasar dompet elektronik di Indonesia dikuasai oleh OVO (58 persen), Gopay (23 persen), dan Dana (6 persen). Survei tersebut dilakukan kepada 1.800 responden di enam kota pada Mei 2019.
Peningkatan tersebut salah satunya didorong oleh transaksi dari layanan transportasi dan belanja daring, yaitu Gojek dan Grab.
Hasil itu tak banyak berbeda dengan hasil survei Daily Social dan OJK pada 2018. Gopay dan OVO memimpin persaingan dompet digital di Indonesia. Setidaknya 79,39 persen responden menggunakan Gopay dan 58,42 persen responden menggunakan OVO. Survei dilakukan kepada 825 responden yang menggunakan dompet digital di smartphone mereka.
Memiliki populasi yang besar, kepemilikan telepon pintar dan akses internet yang makin meningkat membuat pasar transaksi digital Indonesia terus tumbuh. Beragamnya dompet elektronik yang beredar saat ini diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan finansial.
Namun, peluang transaksi digital secara global harus benar-benar dapat dimanfaatkan pemilik usaha, utamanya usaha kecil dan menengah. dengan demikian, manfaat transaksi elektronik dapat dinikmati merata bagi masyarakat Indonesia. (LITBANG KOMPAS)