Memahami “Perlawanan” Kelompok Bawah
Kalangan bawah cenderung bersikap resisten, sebagai bentuk “perlawanan” atas suatu bentuk keterpaksaan, tatkala tidak ada lagi ruang pilihan yang lain.
Dari seluruh kelompok ekonomi masyarakat, kalangan bawah cenderung yang paling resisten terhadap berbagai upaya yang dilakukan pemerintah sepanjang masa pandemi ini. Namun sebaliknya, kelompok ini pula yang merasa paling optimis menjejak perubahan.
Lebih tiga bulan terkondisikan dalam ruang yang berjarak, mempengaruhi langsung pola pemenuhan kehidupan material masyarakat. Terlebih, mereka yang lebih sering diposisikan dalam strata ekonomi terbawah, kaum yang belum berkecukupan.
Hasil survei yang dilakukan Kompas, 9-12 Juni 2020 lalu, misalnya, mengonfirmasikan kesulitan-kesulitan yang mereka alumni sepanjang pandemi. Di antaranya, lebih dari dua pertiga bagian (69,5 persen) kelompok bawah telah berkurang penghasilannya.
Menghadapi situasi demikian, berbagai langkah penyiasatan tentu telah dilakukan. Paling mencolok, dalam pola pemenuhan kebutuhan keseharian. Tidak hanya pengaturan kembali berdasarkan skala prioritasnya, sehingga kebutuhan-kebutuhan yang lebih primer saja dipenuhi. Terhadap pemenuhan kebutuhan yang bersifat primer pun bahkan beberapa pengurangan telah dilakukan.
Pada kelompok masyarakat yang juga secara sosial berada dalam lapisan paling bawah ini, pandemi mengancam segenap kekuatan energi hidup. Sangat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya, kaum menengah dan kalangan atas, yang masih dapat bertahan dengan kekuatan material yang dimiliki. Itulah mengapa, sepanjang masa pandemi ini, kaum bawah seolah telah benar-benar terdorong hingga batas paling bawah kebutuhan materialnya.
Dalam posisi semacam itu, apa yang dapat dilakukan? Bekerja, dalam konteks mencari penghasilan, tidak lagi banyak menyediakan ruang aktivitas. Pandemi Covid 19 yang mengambil alih segenap otoritas pengendalian ruang itu telah melenyapkan kesempatan yang menjadi modal kekuatan mereka selama ini.
Bagaimana tidak, karakter kerja bagi kalangan bawah yang umumnya berpendidikan menengah ke bawah ini, berada pada sektor-sektor informal yang lekat dengan pemanfaatan ruang dan kerja fisik. Hasil survei ini menunjukkan, sebagian besar kalangan ini bekerja sebagai pedagang kecil, pekerja semi mandiri pada sektor transportasi, ataupun sebagai pekerja harian seperti buruh pabrik, buruh bangunan, penjaga toko, hingga karyawan bawah. Tatkala kebijakan-kebijakan pencegahan Covid 19 yang berbasis pemilahan jarak dilakukan pemerintah, otomatis mengubur peluang penghasilan mereka.
Sampai pada persoalan ini, dapat dimaklumi jika kalangan bawah menjadi kelompok yang paling kritis terhadap kebijakan pemerintah sepanjang pandemi ini. Hasil survei ini menunjukkan jika kelompok inilah yang paling rendah menilai konsistensi pemerintah dalam penanggulangan pandemi (Grafik 1). Dibandingkan dengan kelompok menengah dan kelompok ekonomi atas, mereka pula yang paling merasa kurang puas dan kurang merasa yakin akan kemampuan pemerintah.
Sampai pada penilaian tersebut, tampaknya sisi resistensi kaum bawah yang menonjol. Bagi mereka, berbagai bantuan material yang dilakukan pemerintah sebagai jaring penyelamatan dirasakan tidak cukup. Bagi kalangan ini, persoalannya memang tidak lagi hanya semata-mata dalam pemberian bantuan material namun telah menggerus sisi yang eksistensial. Hilangnya aktivitas dan kendali ruang karena ancaman Covid 19 yang tidak kasat mata itu, membuat mereka menjadi sama sekali tidak lagi berdaya.
Dalam tekanan kondisi semacam itu, resistensi pun menjadi jalan keluar. Pelanggaran-pelanggaran dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam berbagai aktivitas informal, misalnya, suatu bentuk umum perlawanan yang diberikan. Kerumunan manusia dalam wilayah publik seperti pasar tradisional, kendati dilarang tetap berjalan. Semua ini merupakan suatu representasi dari perlawanan kaum bawah terhadap kendali ruang yang hilang.
Namun menariknya, di balik perlawanan yang ditampilkan, pada kalangan bawah ini didapati pula sebagai kelompok yang paling optimistis dalam menghadapi perubahan. Berdasarkan hasil survei, kecenderungan kalangan bawah menjadi kelompok yang paling optimistis itu tergambarkan dari pola “kesiapan” dan derajat “antusiasme” yang mereka tunjukkan.
Dari sisi kesiapan, misalnya, bagian terbesar kalangan ini menyatakan mereka sudah merasa siap menghadapi perubahan. Mereka menyatakan kesiapannya jika berbagai model kerja baru diterapkan, seperti pengaturan kembali waktu kerja, cara kerja, hingga sistem upah. Begitu juga dalam pola penataan pemenuhan kebutuhan, kesiapan dalam beradaptasi dinyatakan.
Pada sisi yang lain, mereka pun menyatakan rasa antusias yang relatif tinggi dalam menghadapi perubahan pola aktivitas tersebut. Di antara kelompok masyarakat lainnya, derajat antusiasme mereka relatif paling besar (Grafik 2).
Bagi kalangan bawah, dapat saja rasa optimistis yang ditampilkan itu sebagai suatu ekspresi sikap yang kurang dilandasi oleh basis pemahaman yang kuat. Sedemikian masifnya pola penyebaran virus Covid 19, begitu besarnya korban yang ditimbulkan, dan belum tersedianya pola pengobatan dan penyembuhan yang ajeg, kurang terlalu mengusik perhatian mereka.
Menariknya, dengan sikap optimis yang ditunjukkan, tampaknya kelompok bawah dalam masyarakat ini justru telah menjadi barisan terdepan dalam menghadapi pola kehidupan baru. Sementara, kelompok masyarakat lainnya, seperti kelompok menengah, cenderung kurang antusias, bahkan justru pesimistis. Persoalannya, bagaimana memahami kondisi semacam ini yang seolah bertolak dengan kebiasaan perubahan-perubahan sosial yang umumnya menjadi bagian dari perjuangan kalangan menengah itu?
Jika ditelusuri lebih jauh, urusan berjibaku dengan kehidupan riil, seperti menghadapi dampak pandemi kali ini, pilihan-pilihan paling mendasar terhadap kebutuhan material semacam ini faktanya memang tidak lagi menjadi persoalan kelompok ataupun kelas tertentu dalam masyarakat. Persoalan pandemi yang menggerus kehidupan material dan eksistensial dialami bagian terbesar masyarakat, baik kalangan bawah, menengah maupun kalangan atas.
Namun, dalam realitasnya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam hasil survei ini, lagi-lagi kalangan bawah yang paling terdampak. Oleh karena itu, menjadi sangat beralasan jika pola penyikapan yang cenderung resisten, termasuk berbagai “perlawanan” kerap ditunjukkan kalangan bawah. Kondisi demikian tampaknya perlu dibaca pula sebagai suatu bentuk keterpaksaan, tatkala tidak ada lagi ruang pilihan yang lain. Itulah mengapa, dalam menghadapi tatanan yang baru, hanya bermodal rasa siap dan antusiasme saja yang masih dapat ditunjukkan mereka. (LITBANG KOMPAS).