Khawatir Belanja ke Pasar di Masa Pandemi Covid-19
Beberapa pasar punya karakteristik tersendiri. Untuk itu, pencegahan Covid-19 di pasar butuh solusi kreatif oleh tiap pemerintah daerah. Yang terpenting, tanggung jawab individu disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Oleh
M. Puteri Rosalina (Litbang Kompas)
·5 menit baca
Kekhawatiran terpapar virus korona membuat sebagian besar masyarakat tidak lagi berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar tradisional. Karena itu, dibutuhkan solusi tepat sekaligus ketegasan pelaksanaan protokol kesehatan untuk meminimalkan penyebaran virus demi tetap berlangsungnya aktivitas ekonomi di tempat bertemunya pembeli dan pedagang tersebut.
Kluster pasar mulai ditemukan pada awal April. Tercatat dalam pemberitaan media ada sejumlah pasar, yakni Pasar Kapasan dan Pasar Grosir di Surabaya, serta pasar Padang Raya di Kota Padang. Kluster pasar menjadi semakin banyak saat aktivitas pasar meningkat jelang perayaan Idul Fitri.
Setelah pasar Padang Raya, disusul oleh sejumlah pasar di wilayah lain. Di antaranya, Pasar Klender, Pasar Palmerah, Pasar Kebayoran Lama di DKI Jakarta, Pasar Induk Bojonegoro, Pasar Hamadi, Papua, Pasar Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dan terakhir di Pasar Kemiri, Jakarta Barat. Data Ikappi menunjukkan, hingga Jumat (26/6) ada 147 pasar tradisional dengan kasus Covid-19. Jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh pasar tradisional itu mencapai 768 kasus dengan 32 orang di antaranya meninggal.
Fenomena pasar yang menjadi pusat penyebaran virus sedikit banyak membuat resah masyarakat. Hal tersebut tertangkap dalam jajak pendapat Kompas akhir Juni lalu. Hampir 70 persen responden merasa khawatir untuk berbelanja di pasar tradisional saat pasar menjadi kluster Covid-19.
Rasa khawatir ini beralasan karena di dalam pasar, orang dari berbagai lokasi dan latar belakang bisa berkumpul jadi satu. Kondisi berdesak-desakkan tak terhindarkan. Secara tak sengaja saat menawar dagangan, droplet yang keluar dari mulut pembeli bisa terhirup oleh pedagang ataupun sebaliknya. Hal ini menyebabkan pasar rawan menjadi tempat penyebaran virus korona.
Kekhawatiran tertular virus membuat 65 persen memilih untuk tidak berbelanja di pasar selama masa pandemi. Tukang sayur, supermarket, belanja daring, hingga jasa layanan antar pedagang pasar menjadi alternatif pilihan.
Tukang sayur, supermarket, belanja daring, hingga jasa layanan antar pedagang pasar menjadi alternatif pilihan.
Alternatif yang banyak dipilih adalah tukang sayur (36,2 persen). Peran tukang sayur yang awalnya sebagai tempat belanja alternatif di kantong-kantong permukiman menjadi tempat belanja utama. Namun, sebenarnya tukang sayur pun bisa rawan membawa virus saat pasar tempat kulakan barang dagangannya menjadi kluster Covid-19.
Selain itu, supermarket juga bisa menjadi tempat belanja alternatif seperti yang disebut sepertiga responden. Supermarket sebelum pandemi hanya menjadi tempat alternatif belanja barang sehari-hari bagi masyarakat yang ingin berbelanja di tempat bersih atau menghindari tawar-menawar.
Belanja daring melalui toko online (22,6 persen) ini juga akhirnya menjadi favorit masyarakat saat harus tinggal di rumah selama tiga bulan. Apalagi, sekarang ada beberapa pilihan berbelanja sayur organik yang dikemas apik dan bisa dikirim ke rumah.
Terakhir, sebanyak 9,4 persen memilih menggunakan jasa layanan antar dari pedagang pasar. Ini salah satu solusi kreatif dari pedagang pasar untuk menekan jumlah pengunjung ke pasar dan supaya dagangannya laku. Pembeli memesan bahan makanan melalui nomer Whatsapp penjual. Selanjutnya, barang yang dipesan diantar oleh penjual/kurir ke rumah pembeli.
Meski demikian, masih ada sekitar 35 persen yang tetap berbelanja ke pasar. Mereka yang tetap berkunjung ke pasar hampir 60 persen sebenarnya juga khawatir terpapar virus. Namun, bisa jadi karena tidak punya pilihan belanja alternatif selain di pasar.
Protokol kesehatan
Selain karena pasar rawan menjadi tempat penyebaran virus korona, kekhawatiran juga bertambah saat melihat pedagang belum menerapakan protokol kesehatan. Keresahan tersebut diungkapkan oleh hampir 45 persen responden yang mengamati bahwa pedagang pasar di sekitarnya belum memakai masker, belum menjaga jarak, berkerumun, hingga belum tersedia fasilitas cuci tangan.
Sebenarnya, memberikan fasilitas untuk menegakkan protokol kesehatan bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi penyebaran virus, seperti yang diusulkan oleh 27 persen responden. Namun, memang tidak mudah untuk menerapkan protokol kesehatan tersebut di pasar.
Hal ini, menurut Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, bangunan pasar tradisional di Indonesia pada umumnya tidak didesain untuk mengakomodasi protokol kesehatan saat ini (Kompas, 21/6/2020). Pasar tadisional umumnya dibangun dengan jumlah kios yang berdempetan satu sama lain.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan baru mengeluarkan syarat operasional pasar di masa pandemi 28 Mei lalu. Surat Edaran Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pemulihan Aktivitas Perdagangan pada Masa Pandemi Covid-19 dan Normal Baru berisi tentang protokol kesehatan bagi pasar rakyat di masa pandemi.
Aturan tersebut belum berhasil meminimalkan risiko penyebaran virus di pasar. Hampir tiap hari jumlah pasar sebagai kluster virus terus bertambah. Hampir 30 responden menawarkan solusi untuk mengatur jarak antar pedagang seperti yang dilakukan di Pasar Pagi Salatiga. Pemkot Salatiga menerapkan jarak 1 meter antarpedagang dengan memberi tanda kotak-kotak kios di lantai pasar dan mengatur jam operasional pasar. Namun, cara tersebut belumlah berhasil mengurangi paparan virus. Terbukti seminggu setelah pengaturan tersebut, satu pedagang terdeteksi positif Covid-19.
Namun, cara tersebut belumlah berhasil mengurangi paparan virus. Terbukti, seminggu setelah pengaturan tersebut, satu pedagang terdeteksi positif Covid-19.
Alternatif penyelesaian lainnya adalah mengatur jadwal penjualan pedagang dengan sistem ganjil genap. Pedagang yang menempati kios genap baru boleh berdagang pada tanggal genap, sebaliknya untuk sistem ganjil. Hal ini yang pertama kali diusulkan pemerintah untuk mengurangi paparan virus di pasar.
Rupanya, sistem ini banyak kelemahannya, antara lain akan merugikan pedagang karena berisiko membuat barang dagangan membusuk. Di sisi lain, juga mengundang kerumunan orang karena hanya beberapa kios yang buka. Kurang dari 10 persen responden yang memilih sistem ini sebagai solusi.
Selanjutnya adalah membatasi atau mengatur jumlah pengunjung pasar. Upaya ini dipilih oleh sekitar 19 persen responden. Sistem ini membutuhkan banyak petugas yang mengatur pengunjung di pintu masuk pasar. Petugas akan memberlakukan sistem antrean jika pengunjung sudah mulai banyak.
Namun, sistem ini efektif dilakukan di pasar permanen. Jika pasar tanpa bangunan permanen (berupa kumpulan pedagang tanpa kios), pengaturan itu akan sulit dilakukan.
Beberapa solusi yang ditawarkan tidak bisa diterapkan seragam oleh pengelola pasar di masing-masing daerah. Beberapa pasar mempunyai karakteristik tersendiri. Dibutuhkan solusi kreatif dari masing-masing pemda. Namun, terpenting dibutuhkan kesadaran dari semua pihak di dalam pasar untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan sebagai upaya meminimalkan penyebaran virus di pasar.