Mimpi Pemerataan Pendidikan dari Jalur Zonasi PPDB 2020
Stigma sekolah favorit dan ketimpangan sosial ekonomi masyarakat menjadi tantangan menerapkan program PPDB dengan sistem zonasi yang bertujuan untuk memeratakan pendidikan.
Pelaksanaan program PPDB dengan sistem zonasi untuk memeratakan pendidikan mendapat ujian di Jakarta. Dua kendala besar untuk mencapai cita-cita luhur sistem ini ada pada stigma masyarakat dan ketimpangan sosial yang menahun.
Bersamaan dengan proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2020/2021, beragam kritik dan protes disampaikan masyarakat, khususnya para orangtua calon murid. Aksi protes tidak hanya di ranah media sosial saja, tetapi juga demonstrasi yang dilakukan Gerakan Emak-Bapak Peduli Keadilan dan Pendidikan (Geprak) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA).
Banyak pemicunya, mulai dari sistem zonasi yang beda pemahaman, hingga urusan teknis pendaftaran. Dari deretan masalah itu, narasi protes yang paling sering diulang ialah calon murid berusia muda kalah bersaing dengan yang lebih tua meski unggul dari segi nilai akademik. Seleksi zonasi justru menggunakan urutan usia.
Salah satu alasan diberlakukannya seleksi berdasarkan usia tersebut dijawab oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nahdiana. Menurut dia, latar belakang kebijakan baru ini karena fakta di lapangan bahwa masyarakat miskin justru tersingkir di jalur zonasi.
Penyebabnya, masyarakat miskin tidak dapat bersaing secara nilai akademik dengan masyarakat yang mampu. Oleh karena itu, kebijakan baru diterapkan, yaitu usia sebagai kriteria seleksi setelah siswa tersebut harus berdomisili dalam zonasi yang ditetapkan, bukan lagi prestasi.
Pernyataan di atas selaras dengan Surat Keputusan Kadisdik Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020/2021, poin D tentang Proses Seleksi. Dengan adanya pernyataan ini, jika dipadankan dengan protes para orangtua calon murid, secara tidak langsung justru menguak persoalan ketimpangan sosial ekonomi yang menahun.
Singkatnya, muncul premis bahwa siswa yang berusia lebih tua umumnya tidak mampu bersaing secara akademik dan berasal dari keluarga prasejahtera. Benarkah demikian?
Merujuk pada laporan Statistik Pendidikan 2020 dari Badan Pusat Statistik, ada hubungan erat antara usia di tingkat pendidikan yang diikuti dan latar ekonomi keluarga siswa. Secara umum data 34 provinsi menunjukkan bahwa mereka yang berasal dari golongan keluarga prasejahtera cenderung tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Untuk laporan ini, BPS menggunakan istilah kuintil untuk kategori status ekonomi rumah tangga siswa tersebut. Status ekonomi rumah tangga dapat digambarkan melalui kelompok pengeluaran rumah tangga yang terbagi menjadi 5 kelompok, yaitu Kuintil 1, 2, 3, 4 dan 5.
Kuintil 1 merupakan kelompok rumah tangga dengan pengeluaran terbawah. Semakin tinggi kuintil menggambarkan kelompok pengeluaran yang juga semakin besar. Dengan demikian, kelompok keluarga prasejahtera berada di Kuintil 1.
Sebagai contoh, dapat dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah (APS) 2019. Jika memperhatikan kelompok Kuintil 1, penurunan persentase APS terjadi ketika masuk ke kategori usia 16-18 tahun atau umumnya ketika di jenjang sekolah menengah (SM) atau sederajat dan berlanjut ke jenjang berikutnya. Artinya, ada 29,27 persen yang tidak melanjutkan pendidikan setelah lulus SMP. Jumlah tersebut terbilang banyak jika dibandingkan dengan kelompok Kuintil 5 (berkurang 17,13 persen).
Berikutnya, dari tingkat pendidikan tertinggi yang berhasil ditamatkan. Ketika melihat kategori Kuintil 1, angka persentase terus menurun dari status tamat SD/sederajat hingga ke perguruan tinggi. Pola ini berbeda jika melihat kategori Kuintil 5 yang justru terus meningkat lalu kemudian sedikit turun di status tamat perguruan tinggi.
Kedua parameter tadi merupakan potret pendidikan di Indonesia, lantas bagaimana dengan kondisi di DKI Jakarta? Kendati tidak dimuat data berdasarkan latar ekonomi keluarga, beberapa parameter dapat dilihat dari persentase Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Putus Sekolah, dan Angka Tidak Bersekolah.
Kesimpulannya, seturut dengan pertambahan usia peserta didik, APS dan APM mengalami penurunan. Sebaliknya, Angka Putus Sekolah dan Angka Tidak Bersekolah membentuk pola linier naik seiring usia peserta didik.
Dengan kata lain, kebijakan yang tertuang dalam Juknis PPDB DKI Jakarta TA 2020/2021 memang ingin memecahkan persoalan pendidikan di ibu kota. Meski begitu, semua ini belum lagi ditambah dengan fakta dan data mengenai kalah bersaingnya peserta didik yang berasal dari latar ekonomi keluarga prasejahtera dari nilai akademik yang diraih.
Paradigma
Untuk menjawab premis tentang kalah bersaingnya peserta didik dari latar belakang keluarga prasejahtera, ada parameter lain yang kiranya dapat menjadi acuan. Saat perkara ini ditelaah lebih lanjut, maka dapat dibentuk logika premis berikutnya yang saat ini umum berlaku di kancah pendidikan Indonesia. Pandangan ini terkait erat dengan ketimpangan sosial ekonomi.
Perebutan untuk menyekolahkan anak di sekolah-sekolah negeri yang memiliki reputasi bagus masih berlaku hingga saat ini meski sistem zonasi sudah berjalan. Ada paradigma bahwa dengan menyekolahkan anak di sekolah favorit, peluang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi yang favorit juga akan terbuka lebar. Hal ini juga berlaku dalam seleksi penerimaan di perguruan-perguruan tinggi yang memiliki reputasi tinggi.
Baca juga: Perlukah PPDB DKI Diulang?
Pada akhirnya, semua ini bertujuan pada peluang peserta didik untuk jenjang kehidupan selanjutnya. Harapannya, jika mengenyam pendidikan di sekolah yang bagus maka nanti akan dapat bersaing dalam memperoleh beasiswa studi lanjut di dalam atau luar negeri, karier pekerjaan yang bagus, atau relasi sosial yang kondusif untuk membuka peluang-peluang lainnya. Muaranya jelas, yakni pada harapan hidup yang sejahtera atau kesuksesan hidup melalui pendidikan lanjut atau karier cemerlang.
Sayangnya, paradigma umum yang berlaku di masyarakat seperti di atas berjalan beriringan dengan paradigma lain yang justru memberikan beban bagi setiap individu. Laporan analisis dari Bank Dunia berjudul ”A Perceived Divide: How Indonesian Perceive Inequality and What They Want Done About It” (2015) menunjukkan kondisi paradigma masyarakat Indonesia secara jelas mengenai konsep kesuksesan seorang individu.
Intinya, kesuksesan seseorang terkait erat dengan kerja keras dan menisbikan faktor kesempatan (akses informasi, relasi, hingga latar finansial) yang dimiliki individu.
Bank Dunia mengacu pada ketimpangan sosial ekonomi dari rasio gini sejak 2000 hingga 2013 yang kian timpang. Pada 2014, survei dilakukan mengacu pada Susenas 2014 dan hasilnya menunjukkan bahwa masyarakat tidak menganggap ketimpangan yang ada tidaklah selebar ketimpangan yang terjadi di lapangan.
Padahal, ketimpangan ini membentuk sekat antarkelompok sosial dan akhirnya berpotensi cenderung membentuk masyarakat untuk berinteraksi dengan kelompoknya saja. Kondisi ini diperparah dengan adanya stigma meritokrasi berupa faktor kerja keras dan bakat.
Baca juga: Menempatkan Kebijakan Zonasi di Zonanya
Sayangnya, kondisi ini acap kali mengabaikan faktor-faktor eksternal seperti kondisi struktural sosial ekonomi yang dimiliki oleh anak atau individu. Dalam dunia akademis, istilah ini dikenal sebagai grit. Definisi grit adalah kombinasi antara bakat dan usaha terus-menerus dalam jangka waktu lama untuk mencapai tujuan.
Praktik dari konsep grit ini dijelaskan dengan baik dalam jurnal yang ditulis Ethan Ris, peneliti pendidikan dari Stanford University. Pada penelitiannya di Amerika Serikat, grit cenderung mendewakan usaha keras anak-anak untuk sukses. Sebaliknya, faktor kapital dan eksternal lainnya tidak diperhitungkan sehingga kemiskinan dianggap karena individu tersebut tidak mau berusaha.
Memang, untuk kondisi di Indonesia ada saja kisah-kisah inspiratif tentang seseorang yang mampu mencapai kesuksesan dengan memulainya dari bawah. Mulai dari sosok Bob Sadino hingga Chelsea Nindya Pramesthi, anak tukang becak yang mengenyam pendidikan hingga S-3 di Inggris. Masalahnya, kisah-kisah ini berlaku kasuistis dan tentu tidak banyak jika dihitung secara persentase dari masyarakat kelompok sosial rendah.
Bahayanya, jika paradigma ini terus-menerus tertanam di masyarakat, lebar ketimpangan sosial ekonomi kian sulit dipersempit. Situasi masyarakat akan terus berlomba untuk memperoleh kesuksesan secara individu. Dengan begini, cita-cita bersama untuk mencapai kehidupan yang setara atau sekadar memajukan kondisi demi kebaikan bersama (bonum commune) akan utopis.
Hasilnya, dapat tercermin dari masih adanya stigma sekolah favorit yang posisinya diperebutkan. Secara tidak sadar, masyarakat juga menurunkan pola pikir ini ke anak-anak sejak dini. Demikianlah paradigma ini akan terus berlanjut hingga lebih dari tujuh turunan.
Kebaikan bersama
Salah satu tujuan pembangunan di bidang pendidikan adalah untuk menghapus ketimpangan sosial ekonomi masyarakat demi mewujudkan kemakmuran bersama. Bunyi pepatah lama dari Afrika, ”It takes a village to raise a child,” kini semakin relevan untuk Indonesia.
Pesan ini secara subtil hadir dalam polemik yang terjadi dalam proses PPDB DKI Jakarta. Dalam kenyataannya, pendidikan yang hingga saat ini diyakini sebagai jalan ampuh menuju kesejahteraan justru terhambat karena belum bersandar sepenuhnya pada nilai kebaikan bersama yang dijunjung.
Memang, tugas negara masih banyak untuk benar-benar dapat mengimplementasikan tujuan dari sistem pendidikan zonasi ini, mulai dari pembangunan infrastruktur pendidikan, kualitas sumber daya manusia atau para pengajar, hingga konten kurikulum pendidikan. Di sisi lain, jangan mengharapkan masyarakat tidak memperebutkan sekolah favorit jika kualitas setiap sekolah belum dapat disetarakan.
Akhirnya, kelima poin tujuan sistem ini yang tertulis dalam Strategi Pemerataan Pendidikan yang Bermutu dan Berkeadilan mengerucut pada percepatan pembangunan pendidikan yang merata, berkualitas, dan berkeadilan. Semua ini demi mengamalkan sila kelima Pancasila. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?