Di balik konflik penutupan konsulat China di Texas, Amerika Serikat, muncul aroma persaingan penemuan vaksin Covid-19.
Oleh
Andreas Yoga Prasetyo
·4 menit baca
Penelitian vaksin Covid-19 menjadi titik simpul ketegangan China-AS dalam konflik penutupan konsulat China di Texas. Di balik kebutuhan dunia untuk menekan penularan virus korona dan unjuk kekuatan militer China-AS, nilai bisnis dari penjualan vaksin nantinya mengungkap alasan perseteruan dua negara besar ini.
Betapa tidak, saat ini seluruh dunia menderita dan sengsara karena ganasnya virus korona. Data Worldometers mencatat hingga 27 Juli 2020, paling tidak terdapat 16,4 juta kasus Covid-19 dan korban meninggal sudah 653.000 orang. AS menjadi negara yang terdampak dengan 4,3 juta kasus positif dan 149.000 lebih kematian, menjadikan negara adidaya ini juga urutan pertama penderita Covid-19.
Saat ini, sejumlah negara berpacu kencang menemukan vaksin untuk mengatasi, atau paling tidak meringankan gejala akibat Covid-19. Negara mana pun yang pertama menemukan vaksin yang teruji klinis dan diakui manjur oleh lembaga kesehatan mendapat peluang untuk meraih pendapatan besar dari hak paten yang dikuasai.
Hingga 24 Juli 2020, Badan Kesehatan Dunia atau WHO mencatat, terdapat 166 kandidat vaksin yang diteliti untuk menanggulangi virus korona SARS-CoV-2 tersebut. Sebanyak 25 di antaranya sudah menjalani uji klinis, sedangkan lainnya masih pada fase praklinis. Uji klinis adalah tahapan jelang akhir dari sebuah proses legalisasi obat yang mengujicobakan calon vaksin kepada sejumlah sampel manusia sehat.
Dari 25 prototipe vaksin Covid-19 yang telah memasuki tahap uji klinis, terdapat lima vaksin yang saat ini mulai memasuki uji klinis fase ketiga. Kelima vaksin tersebut adalah Sinovac yang dikembangkan Sinovac Biotech, China; Sinopharm oleh Wuhan Institute of Biological Products dan Beijing Institute of Biological Products; AstraZeneca oleh University of Oxford, Inggris; dan Moderna oleh National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID), AS.
Sebenarnya, jika melihat aspek jumlah, sudah ada tiga kandidat vaksin yang dikembangkan China untuk menjalani uji klinis fase ketiga. Kuantitas kandidat vaksin China di fase ketiga ini lebih banyak dibandingkan vaksin yang dikembangkan negara lain seperti Inggris atau AS.
Salah satu bakal vaksin yang dikembangkan China, yaitu Sinopharm, kini sedang menjalani uji klinis fase ketiga di Uni Emirat Arab. Uji klinis ini dengan melibatkan 15.000 sukarelawan, dengan tahap pertama dilakukan di wilayah Abu Dhabi dan Al Ain. Selain itu, ada pula Sinovac yang juga sedang melakukan uji coba vaksin tahap ketiga di Brasil.
Namun, pada saat bersamaan, pengembangan calon vaksin Covid-19 di luar China juga menunjukkan perkembangan maju. Calon vaksin yang dikembangkan AstraZeneca dan University of Oxford merilis hasil uji klinis di jurnal medis The Lancet edisi 20 Juli 2020 lalu.
Dari 1.077 orang yang mengikuti uji klinis, AstraZeneca mengklaim vaksin yang dikembangkannya mampu menghasilkan respons kekebalan yang kuat terhadap virus SARS-CoV-2. Satu dosis AZD1222 mampu menghasilkan peningkatan empat kali lipat antibodi virus SARS-CoV-2 pada 95 persen peserta uji klinis.
Demikian pula dengan Moderna. Kandidat vaksin Moderna segera memasuki uji klinis fase ketiga pada 27 Juli 2020. Moderna merekrut 30.000 partisipan di 30 negara bagian AS. Wilayah-wilayah yang akan diuji vaksin termasuk negara-negara bagian yang paling terdampak Covid-19, seperti Texas, California, Florida, Georgia, Arizona, North, dan South Carolina.
Pemerintah federal AS mendukung proyek besar vaksin Moderna dengan mengalokasikan anggaran hampir setengah miliar dollar AS untuk uji klinis yang akan dilakukan selama tiga bulan. Dijadwalkan uji coba kandidat vaksin Moderna akan berakhir pada Oktober 2020 nanti.
Sejak awal pengembangan, calon vaksin Moderna memang digarap serius oleh Institut Alergi dan Penyakit Infeksi Nasional Amerika Serikat (NIAID) bekerja sama dengan perusahaan bioteknologi Moderna Inc di Amerika Serikat.
Vaksin tersebut terbuat dari susunan genetik berupa RNA yang bertipe LNP-encapsulated mRNA dan diberi nama mRNA-1273. Kemampuan RNA dijelaskan mampu menghentikan gerak gen patologis dan mendukung tahapan pengobatan yang diberikan melalui adaptasi gen dan antibodi.
Vaksin Moderna merupakan dua kandidat vaksin korona yang lolos uji klinis fase tahap pertama. NIAID mengumumkan telah melaksanakan uji ke manusia pada 16 Maret 2020. Uji klinis dilakukan kepada 45 orang, berusia 18-55 tahun dan dalam kondisi sehat.
Lagi-lagi, saat itu calon vaksin Moderna bersaing dengan Sinopharm yang dikembangkan oleh Beijing Institute of Biotechnology, China. Jadi, sejak awal pengembangan vaksin korona, kedua belah pihak terlibat persaingan pembuatan vaksin Covid-19.
Nilai bisnis
Vaksin ini dinantikan di 213 negara yang telah terinfeksi korona. Beberapa negara bahkan sudah memesan kandidat vaksin untuk mencegah lebih luas penularan virus korona. Strategi ini dilakukan Pemerintah AS yang ikut berinvestasi senilai 2,2 miliar dollar AS untuk penelitian program vaksin Moderna, Johnson & Johnson, dan AstraZeneca.
Sebagai bagian dari kerja sama, nantinya AS akan menerima vaksin, seperti 300 juta dosis vaksin AstraZeneca yang akan diberikan pada Oktober 2020. Mengingat banyaknya negara yang akan mencari vaksin korona, artinya akan ada pula bisnis vaksin di balik pandemi.
Data Statista menunjukkan, pendapatan pasar vaksin global menunjukkan peningkatan pertumbuhan dari 32,2 miliar dollar AS pada 2014 menjadi 54,2 miliar dollar AS pada 2019. Diperkirakan total pendapatan pasar vaksin dunia dapat mencapai 60 miliar dolar AS pada 2020.
Peningkatan berbagai penyakit menular, seperti influenza, flu babi, hepatitis, TBC, difteri, ebola, dan penyakit pernapasan, turut membuat lonjakan konsumsi vaksin dunia. Beberapa perusahaan farmasi terkemuka penghasil vaksin adalah GlaxoSmithKline, Merck & Co, dan Pfizer.
Laman Centers for Disease Control and Prevention menujukkan harga sejumlah vaksin per 1 Juli 2020. Vaksin influenza untuk dewasa buatan AstraZeneca untuk dewasa dibandrol seharga 18-23 dollar AS untuk satu dus. Vaksin pneumonia buatan Pfizer dijual seharga 131-202 dollar AS per dus. Ada pula vaksin tetanus produksi GlaxoSmithKline dengan harga jual 25-41 dollar AS untuk tiap dus.
Virus dan mata-mata
Hubungan Amerika Serikat dan China memanas setelah Pemerintah AS memerintahkan China menutup konsulat jenderalnya di Houston, Texas, pada 22 Juli 2020 lalu. Walau kebijakan AS ini disebut berkaitan dengan tudingan aktivitas mata-mata China, isu persaingan AS-China di pentas politik dunia diduga menjadi penyebab yang lebih kuat.
Kementerian Luar Negeri AS menyebutkan langkah penutupan Konsulat Jenderal China di Texas itu dilakukan untuk melindungi kekayaan intelektual AS dan informasi pribadi AS. Namun, bagi AS, penutupan itu bukan sekadar melindungi kekayaan intelektual, tetapi lebih jauh lagi, yaitu melindungi upaya China mengejar penelitian vaksin yang dilakukan AS.
Sasaran kegiatan mata-mata yang diduga dilakukan China berkaitan dengan lokasi pembuatan vaksin Moderna, AS. Patut diduga kegiatan spionase terkait upaya penelitan vaksin yang sedang dilakukan AS. Indikasi ini setidaknya muncul dari dua hal. Pertama, lokasi kejadian yang berhubungan dengan laboratorium pengembangan vaksin. Kedua, kandidat vaksin yang memasuki uji klinis fase ketiga yang melibatkan kedua negara.
AS menilai China memiliki ambisi besar sebagai pihak yang pertama menemukan vaksin korona. Untuk memperoleh tujuan tersebut, kegiatan spionase vaksin dilakukan agar mengetahui peta pembuatan vaksin yang dikembangkan negara lain. Tudingan AS memiliki argumentasi karena aktivitas mata-mata bukan dilakukan di New York yang menjadi pusat bisnis atau Washington yang merupakan ibu kota AS. Kegiatan mata-mata tersebut dilakukan di wilayah Texas.
Texas diincar karena faktor riset kesehatan. Kementerian Luar Negeri AS menyebutkan, Texas adalah rumah bagi Galveston National Laboratory, tempat laboratorium induk bagi Institut Alergi dan Penyakit Infeksi Nasional Amerika Serikat (NIAID).
Laboratorium tersebut berlokasi di kampus University of Texas Medical Branch. Di situlah berkumpul para peneliti yang sedang melakukan penelitian vaksin Covid-19.
Negara mana pun yang pertama menemukan vaksin mendapat peluang untuk meraih pendapatan besar dari hak paten yang dikuasai.
Penutupan konsulat China di Houston juga bukan kebijakan tiba-tiba. Sebelum kasus Texas, Kejaksaan AS telah mendakwa empat warga negara China atas tuduhan penyalahgunaan visa. Mereka juga ditengarai memiliki afiliasi dengan militer China.
Biro Investigasi Federal AS atau FBI sudah menahan tiga orang, sementara satu orang lainnya berlindung di konsulat China di San Francisco. Jaksa penuntut menyebutkan, terungkapnya keberadaan empat warga China tersebut merupakan bagian dari rencana China mengirim para ilmuwan militer ke AS.
Menyikapi kebijakan penutupan konsulatnya, Pemerintah China menolak tuduhan AS. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, menggambarkan alasan yang diberikan oleh AS untuk menutup konsulat sangat tidak masuk akal. China juga mendesak Pemerintah AS untuk membatalkan keputusannya. Ketegangan dua negara semakin memanas setelah Pemerintah China membalas dengan menutup Konsulat AS di Chengdu.
Kegiatan mata-mata yang dituduhkan AS kepada China tidak semata didasarkan pada konflik lama persaingan dua negara besar dunia itu. Dalam situasi pandemi, aktivitas saling mengintip pengembangan vaksin korona juga dapat dilihat sebagai bagian dari perang dagang baru untuk memperebutkan pasar vaksin Covid-19 yang saat ini sedang dinantikan seluruh warga dunia. (LITBANG KOMPAS)