Tantangan Normal Baru Kampanye Pilkada
Euforia Pilkada 2020 di tengah pandemi akan berbeda karena ruang kampanye beralih dalam bentuk virtual. Pandemi akan menjadi tantangan bagi kontestan untuk merebut hati pemilih melalui ruang daring.
Euforia Pilkada 2020 di tengah pandemi akan berbeda karena ruang kampanye beralih dalam bentuk virtual. Sejumlah persoalan, mulai dari teknis penyelenggaraan, ketersediaan jaringan internet, hingga pengawasan kampanye, akan menjadi tantangan yang harus diantisipasi. Di sisi lain, normal baru dalam berkampanye ini dapat menjadi momentum loncatan penyelenggaraan hajatan demokrasi yang lebih efisien.
Keputusan untuk melanjutkan pelaksanaan Pilkada 2020 yang sempat ditunda akibat Covid-19 tentulah akan menuai sejumlah konsekuensi. Hajatan demokrasi ini tentu tak bisa lagi dilaksanakan sama selayaknya pada kondisi normal, termasuk pula saat berkampanye.
Kampanye dalam pemilu menjadi tahapan yang sangat penting. Di sinilah segala upaya untuk merebut simpati elektoral para pemilih dilakukan. Tidak heran segala upaya akan dilakukan oleh para kontestan untuk dapat tampil sebagai yang paling hebat saat berkampanye.
Kondisi ini pula yang sering kali mendorong kampanye terkesan menjadi ajang adu kuat para kontestan untuk membuat pesta rakyat yang secara jor-joran dalam wujud panggung hiburan lengkap dengan artis papan atas hingga beragam perlombaan.
Upaya untuk mendapat simpati pemilih tentu harus dilakukan semenarik mungkin. Hal itu memang sudah selayaknya dilakukan asalkan tak melanggar aturan yang telah ditetapkan. Namun, sering kali momentum kampanye akbar yang penuh euforia itu tak lebih dari sekadar panggung untuk menghibur rakyat dan melenceng dari esensi utamanya.
Merujuk pada pada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, didefinisikan kampanye sebagai kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan atau citra diri peserta pemilu.
Aturan pemilu yang terus berubah, bahkan, tak lantas mengubah esensi kampanye yang digelar untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat mengenai visi, misi, dan program yang dibawa oleh para kontestan.
Konsep dasar kampanye sebagai sarana menyampaikan gagasan dari para kontestan inilah yang tetap dijadikan acuan dalam penyelenggaraan kampanye Pilkada 2020. Berdasarkan jadwal, tahap kampanye akan digelar pada 26 September hingga 5 Desember.
Kampanye Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 tentu akan sangat berbeda. Gegap gempita kampanye yang lumrah ditemui dalam tiap kali pesta demokrasi tentu tidak ada lagi. Penyelenggaraan kampanye pun didorong beralih dalam bentuk virtual untuk menghindari terjadi kerumunan massa yang berisiko menyebarkan virus.
Gegap gempita kampanye yang lumrah ditemui dalam tiap kali pesta demokrasi tentu tidak ada lagi. Penyelenggaraan kampanye pun didorong beralih dalam bentuk virtual untuk menghindari terjadi kerumunan massa yang berisiko menyebarkan virus.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara juga telah mengatur jalannya kampanye yang layak pada masa pandemi. Dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19 telah dijabarkan ketentuan pelaksanaan kampanye sesuai dengan protokol pencegahan penyebaran Covid-19.
Secara umum, KPU tak membatasi kegiatan kampanye yang dilakukan saat pandemi. Dalam PKPU itu dijabarkan, terdapat tujuh pelaksanaan kegiatan kampanye pilkada yang dapat dilakukan, mulai dari pertemuan terbatas, dialog, debat terbuka antarpaslon, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, penayangan iklan, bahkan hingga kegiatan lainnya selagi tak melanggar peraturan yang telah ditetapkan.
Secara ketat, pengaturan dilakukan dalam teknis pelaksanaan kegiatan kampanye tersebut, terutama yang berpotensi melibatkan massa besar. Dalam pertemuan tatap muka dan dialog, misalnya, harus dilakukan di ruangan tertutup dengan jumlah peserta terbatas dan menerapkan protokol kesehatan secara benar. Begitu pun pada penyelenggaran debat antarpasangan calon yang dapat dilakukan dengan tidak mendatangkan massa pendukung secara langsung.
Sementara untuk kegiatan kampanye lainnya yang biasa dilakukan pada waktu normal, misalnya perlombaan, olahraga, bazar, dan aksi sosial, dapat dilakukan dengan mematuhi protokol kesehatan. Selain itu, kegiatan juga wajib mendapatkan rekomendasi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid ataupun perangkat yang mengurusi bidang kesehatan di daerah terkait.
Kampanye virtual
Kondisi serba dibatasi dalam melaksanakan kampanye tentunya akan menjadi tantangan besar bagi penyelenggaran Pilkada 2020 kali ini. Terlebih bagi daerah yang dilanda kasus Covid-19 tinggi, semua kegiatan kampanye pun diupayakan beralih dalam ruang virtual.
Model kampanye virtual memang dinilai sebagai alternatif paling bijak untuk dilakukan di tengah kondisi pandemi. Meskipun ruang interaksi tak lagi di dunia nyata, kampanye di ruang digital tak boleh meredupkan euforia publik untuk menyambut pemilihan sang kepala daerah.
Hal yang paling terpenting sebetulnya, proses sosialisasi penyampaian visi dan misi serta pengenalan para calon kepala daerah tetap harus tersampaikan dengan baik meskipun pesta demokrasi tak lagi ramai dengan panggung hiburan rakyat. Selain itu, kampanye secara virtual dikhawatirkan juga tak terlalu menarik atensi publik sehingga dapat berpengaruh pada tingkat partisipasi pemilih.
Pada gelaran Pilkada 2020 ini, Kementerian Dalam Negeri bahkan menargetkan, tingkat partisipasi masyarakat dapat menyentuh angka 82 persen. Target partisipasi ini tentulah menjadi hal yang cukup berat dicapai jika peralihan sosialisasi ke dunia digital tak dapat dilakukan dengan optimal.
Kegiatan kampanye dalam model virtual justru diharapkan dapat lebih mengefektifkan interaksi politik dengan cara yang lebih modern. Jika dilihat secara umum, ruang digital di Indonesia juga sudah begitu luas penggunanya.
Masyarakat Indonesia memang dikenal sebagai orang yang begitu gandrung terhadap dunia maya. Berdasarkan data dari Indonesian Digital Report 2020 oleh Hootsuite (We are Social), per Januari 2020, dijelaskan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 175,4 juta. Sebanyak 160 juta merupakan pengguna media sosial yang aktif.
Laporan tersebut juga mencatat bahwa rata-rata waktu akses internet di Indonesia dapat mencapai lebih dari tujuh jam per hari. Media sosial dan video streaming menjadi yang paling lama diakses dengan rata-rata waktu penggunaan mencapai lebih dari 3 jam.
Berbagai platform media sosial memang bisa dikatakan tergolong tinggi penggunaannya di Indonesia. Beberapa di antara yang paling populer, seperti Youtube, dengan tingkat penggunaan mencapai 88 persen, Whatsaap 84 persen, Facebook 82 persen, Instagram 79 persen, dan Twitter yang tingkat penggunaan tak kurang dari 56 persen.
Tingginya ketergantungan masyarakat pada aktivitas digital sebetulnya menjadi potensi untuk dimanfaatkan dalam kepentingan sosialisasi dan edukasi masyarakat. Namun, sering kali hal yang terjadi justru sebaliknya, di mana selama ini keleluasaan di ruang digital justru penuh dengan praktik kampanye tidak sehat.
Tantangan
Selain itu, optimalisasi pemanfaatan ruang virtual untuk kampanye dan berbagai kepentingan dalam tahapan penyelenggaran pemilu sering kali terhambat tidak meratanya akses jaringan ke seluruh wilayah. Hasil evaluasi dari pelaksanaan kampanye Klik Serentak di 270 daerah yang akan menggelar pilkada, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi mencatat terdapat 13,75 persen wilayah atau tidak kurang dari 541 kecamatan yang terkendala jaringan internet. Beberapa wilayah tersebut di antaranya terdapat di Provinsi Lampung dan Sulawesi Utara.
Jika sudah begitu, penggunaan alternatif media lain, seperti radio dan televisi lokal, dapat menjadi solusi. Namun, dalam hal ini, perlu dirumuskan aturan penayangan iklan kampanye oleh penyelenggara sehingga dapat berjalan adil dan tersampaikan baik kepada masyarakat.
Ketidakmerataan akses juga menjadikan kampanye secara virtual tak dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat. Hal ini tentu akan berpotensi menimbulkan gap antarmasyarakat karena kampanye hanya dapat dinikmati oleh mereka yang memiliki perangkat dan bisa akses internet.
Penggunaan media arus utama danpun digital dalam kampanye politik sebetulnya bukan hal yang benar-benar baru. Di ranah media sosial, misalnya, riuh politik selalu meramaikan berbagai platform media sosial saat masa pemilihan berlangsung.
Bahkan, sering kali nuansa rivalitas yang terbangun di dunia maya justru lebih kental. Ruang digital memang telah memberikan keleluasaan untuk para pendukung mengekspresikan fanatisme pilihan politiknya. Namun, kebebasan tersebut justru sering kali mengarah pada model kampanye tak sehat atau black campaign dengan tidak bertanggung jawab.
Batasan untuk berkampanye secara sehat dan bertanggung jawab sebetulnya telah ditetapkan dalam aturan pilkada. Beberapa hal yang dilarang dalam kampanye, antara lain, adalah mempersoalkan pembukaan UUD 1945, menghina SARA, menghasut, memfitnah dan mengadu domba, serta mengancam melakukan kekerasan. Rambu-rambu berkampanye di media sosial bahkan juga telah diperkuat dalam beberapa regulas,i mulai dari UU Pemilu, PKPU, hingga peraturan Bawaslu.
Pandemi Covid-19 mengubah model kampanye politik yang tak lagi harus penuh dengan kerumunan massa di tengah lapangan. Momentum ini juga semestinya dijadikan lompatan untuk merumuskan model penyelenggaraan pemilu yang lebih modern dan efisien.
Momentum ini juga semestinya dijadikan lompatan untuk merumuskan model penyelenggaraan pemilu yang lebih modern dan efisien.
Apa pun bentuknya, baik secara virtual maupun tidak, sudah semestinya ruang kampanye penuh diisi dengan hal bijak dan bermanfaat. Ini menjadi tanggung jawab semua pihak, terlebih bagi para kontestan harus dapat lebih inovatif memanfaatkan berbagai platform media digital. (LITBANG KOMPAS)