Perempuan Kepala Keluarga Dihantui Paradigma Lama
Konstruksi perempuan berada di ranah domestik kian usang. Makin banyak perempuan bekerja, bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Namun, keberadaan perempuan sebagai kepala keluarga belum diperkuat dari aspek hukum.
Paradigma tentang perempuan yang harus berperan dalam urusan domestik rumah tangga kian usang. Meski begitu, narasi lama ini masih berbenturan dengan budaya masyarakat. Komitmen dan pembagian peran rumah tangga menjadi kunci keluar dari belenggu.
Urusan domestik, seperti mengurus anak, memasak, dan membereskan rumah, sudah lama melekat pada sosok perempuan. Perempuan selalu diasosiasikan sebagai manusia pekerja (homo faber) domestik yang dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif di luar rumah sehingga perannya tidak lebih dari sekadar aktivitas dalam rumah.
Peran itu kemudian semakin bertambah ketika para perempuan menduduki posisi sebagai kepala rumah tangga. Menurut Yayasan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), perempuan kepala keluarga melaksanakan peran dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, penjaga keberlangsungan kehidupan keluarga, dan pengambil keputusan dalam keluarganya.
Sebenarnya, kondisi perempuan yang mengambil peran sebagai kepala keluarga sudah cukup lazim di kalangan masyarakat. Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas pada 27-29 Juli 2020, sebanyak 67,3 persen responden sudah menganggap wajar dengan adanya perempuan sebagai kepala keluarga. Meski begitu, masih ada 30,9 persen responden yang menganggap hal tersebut tidak wajar.
Persepsi masyarakat yang ditemukan dalam hasil jajak pendapat ini dapat menjadi angin segar bagi kesetaraan jender di Indonesia. Kendati demikian, di sisi lain masih ada yang menganggap tidak wajar karena bertentangan dengan nilai tradisi, budaya, atau ajaran agama yang dianut. Padahal, para perempuan yang mengambil alih peran sebagai kepala keluarga bukanlah kondisi yang diinginkan secara penuh.
Penyebab para perempuan memikul peran tersebut dapat muncul dari berbagai hal. Misalnya, perceraian, suami meninggal, ditinggal pergi oleh suami, tidak menikah, suami yang tidak bekerja, atau suami yang berpoligami sehingga tidak hidup berkesinambungan dengan istrinya. Pada akhirnya, rendahnya kemampuan ekonomi dan tingkat kesejahteraan menjadi hilir sekaligus muara dari persoalan ini.
Dalam hal ini, perempuan bekerja demi membantu suami untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sisi lain, perempuan yang terpisah dengan suaminya, entah karena meninggal atau cerai, akhirnya bekerja dan menggantikan peran suaminya sebagai pencari nafkah. Bisa dikatakan, para perempuan ini turut memikul peran ganda dengan bekerja sekaligus mengurus kebutuhan domestik.
Sebagai lembaga yang menaungi para perempuan kepala keluarga, Pekka menemukan bahwa 50 persen dari 601 perempuan anggota Pekka hidup di bawah garis kemiskinan. Dapat dibayangkan, kondisi ini semakin diperburuk karena krisis imbas pandemi tahun ini.
Dalam pernyataannya bulan lalu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyatakan bahwa sebanyak 1,9 juta penerima bantuan adalah perempuan kepala keluarga.
Seperti yang termuat dalam laporan Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia, ditemukan bahwa perempuan kepala rumah tangga berstatus miskin cenderung stagnan persentasenya dari 2016 hingga 2019. Dalam rentang empat tahun tersebut, perubahan persentase baik 0,03 persen saja, dari 16,12 persen di 2016 menjadi 16,19 persen pada 2019. Artinya, belum ada upaya yang signifikan berdampak baik dari pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi persoalan ini.
Maka, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah tetap mendukung paradigma kedudukan yang sama antara perempuan dan laki-laki yang saat ini sudah berjalan. Seperti keleluasaan yang diperoleh laki-laki, perempuan perlu terus didorong untuk mengembangkan dirinya, seperti memperoleh pendidikan yang tinggi atau meniti karier dalam pekerjaannya. Tentu ini tidak mudah karena masih ada konstruksi budaya yang menganggap tabu hal itu.
Konstruksi
Tidak dapat dimungkiri, untuk terus mengupayakan perempuan meningkatkan kualitas hidupnya, masih ada tarik-menarik dengan budaya lokal. Tentu, aspek ini tidak dapat dilepas dari konteks sejarah yang kemudian menjadi tradisi yang diwariskan turun-temurun.
Salah satu contoh ini dapat dilihat dari budaya suku Banjar di Kalimantan. Dalam buku berjudul Ketertindasan Perempuan dalam Tradisi Kawin Anom: Subaltern Perempuan pada Suku Banjar dalam Perspektif Poskolonial (2016), ditemukan tradisi kawin anom masih berlangsung hingga zaman poskolonial. Rosramadhana Nasution, penulis buku tersebut, menyoroti konstruksi sosial yang melestarikan budaya yang membatasi ruang gerak perempuan.
Menurut tradisi, kawin anom merujuk pada praktik menikahkan anak perempuan setelah menstruasi pertama. Anak perempuan dipandang sebagai beban orangtua. Maka, dengan menjodohkannya dengan laki-laki, tanggung jawab itu bisa dilepas. Tradisi yang diwariskan sejak zaman kolonial ini di sisi lain juga melanggengkan pernikahan anak usia dini.
Praktik ini menguntungkan bagi penjajah di masa kolonial karena dapat memberi upah rendah kepada para pekerja (laki-laki). Alasannya, pekerja yang sudah berkeluarga biasanya akan menetap di perkebunan itu dan tidak ada pilihan lain selain bekerja di sana untuk mencukupi kebutuhan keluarga baru mereka. Jika istri pekerja tersebut akhirnya ikut bekerja di sana, upahnya tidak akan lebih tinggi atau sama dengan suaminya atau pekerja laki-laki lain.
Selain itu, ada kepercayaan di masyarakat untuk bahwa anak di atas 15 tahun yang belum menikah akan menjadi aib bagi keluarga. Sebaliknya, kebanggan akan didapat anak perempuan dan keluarga apabila sudah menikah sejak menstruasi pertama. Maka, orangtua pada masa itu aktif untuk mencarikan jodoh bagi anak perempuannya untuk menghindari stigma negatif.
Tidak mengherankan, tradisi ini menjadi tren sehingga turut mendorong anak perempuan untuk pandai bersolek sehingga mudah mendapat jodoh. Imbasnya, kualitas seorang perempuan dinilai dari penampilannya atau keterampilannya di urusan domestik. Secara implisit, dorongan ini membentuk budaya ketergantungan perempuan kepada laki-laki dalam mencari nafkah atau mengambil keputusan.
Dengan berjalannya tradisi ini, ruang gerak perempuan menjadi terbatas. Menekuni pendidikan tinggi, meniti karier pekerjaan, atau terlibat aktif di ruang publik menjadi sirna ketika perempuan menjadi istri dan mengurus rumah tangga.
Tidak dapat dimungkiri, untuk terus mengupayakan perempuan untuk meningkatkan kualitas hidupnya masih ada tarik-menarik dengan budaya lokal.
Pasalnya, relasi kuasa menjadi hal yang wajar dalam rumah tangga yang melakukan kawin anom. Relasi kuasa ini tampak dalam praktik sehari-hari, seperti istri harus memasak, mengurus anak, dilarang memakai pakaian bagus di rumah, menjaga penampilan untuk suami, dan memenuhi kebutuhan seksual suami. Mirisnya, jika istri menolak atau tidak taat pada praktik ini, ia akan dikucilkan oleh masyarakat karena tidak menjalankan kewajiban seorang istri.
Pola yang sama dari praktik budaya kawin anom ini dapat ditemukan di budaya suku lainnya, baik di Indonesia maupun luar negeri. Praktik tradisi serupa juga dapat ditemukan pula di negara Afrika ataupun Asia Tenggara lainnya. Meskipun praktik ini sudah tidak ketat dijalankan, pengaruhnya pada paradigma masyarakat dapat mempengaruhi konstruksi sosial yang ada hingga kini.
Tidak hanya budaya yang diteruskan kepada masyarakat, tetapi perempan perlu terus didorong. Hal ini disorot Shaanti Shamdasani, konsultan perdagangan internasional, dalam dalam diskusi bertajuk ”Lead-her-Ship: Breaking Stigma and Thriving for Success”, di Jakarta, 7 Maret 2020. Menurut dia, para perempuan perlu menunjukkan ketertarikkan terhadap sesuatu secara terbuka serta melihat kesempatan yang terbuka di dunia kerja. Lanjutnya, takut mengambil risiko menjadi penyebab kurangnya rasa percaya diri bagi perempuan.
Peran
Sayangnya, praktik kesetaraan ini masih terkendala secara aturan pemerintah. Kendati Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mendefinisikan siapa kepala keluarga, di UU No 16/2019 tentang Perkawinan secara eksplisit disebutkan bahwa suami adalah rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Artinya, perlu diakui bahwa kepala keluarga yang diakui secara hukum adalah suami.
Landasan penentuan kepala keluarga tersebut diperketat dalam Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga Tahun 2020. Dalam Pasal 25, dituliskan secara tegas bahwa istri berkewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga, menjaga keutuhan keluarga, serta memenuhi hak-hak suami dan anak. Dengan kata lain, RUU Ketahanan Keluarga ini justru menjadi kemunduran bagi perjuangan kesetaraan peran suami dan istri.
Baca juga: Mencegah KDRT Anak dari Penikahan Usia Dini
Setidaknya, untuk menghadapi konstruksi budaya patriarki, upaya paling awal dimulai di ranah rumah tangga. Pasangan suami-istri perlu terbuka pandangannya bahwa kehidupan berumah tangga harus dijalankan berdasarkan komitmen bersama. Urusan domestik ini menjadi titik awal dekonstruksi budaya agar kesetaraan dapat dilanggengkan.
Dengan membagi peran rumah tangga, misalnya, tidak menutup kemungkinan justru istri yang menjadi kepala keluarga karena kapasitasnya yang lebih. Salah satu pertimbangannya, istri yang memiliki penghasilan lebih besar dari suami tidak perlu berhenti bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga. Begitu juga dengan suami, pekerjaan di ranah domestik bukanlah sesuatu yang melanggar kodrat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Tubuh Perempuan yang Kalah