Mewaspadai Bunuh Diri di Kala Pandemi
Beberapa studi di luar negeri menunjukkan tingkat kecemasan dan stres meningkat selama pandemi Covid-19.
Waktu enam bulan hidup dalam masa pandemi Covid-19 mungkin terlalu singkat untuk mengaitkan dampak pandemi terhadap tindakan bunuh diri. Namun, mitigasi dan antisipasi perlu dilakukan karena berbagai kondisi yang dihadapi selama pandemi bisa memicu gangguan mental dengan risiko terburuk melakukan bunuh diri.
Risiko kejadian gangguan mental dan kasus bunuh diri berpotensi meningkat di masa pandemi. Untuk menyebutkan beberapa contoh, belum lama ini, di Surabaya, Jawa Timur, seorang pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 diduga melakukan bunuh diri dengan meloncat dari lantai 6 saat dirawat di RSU Haji, Kamis (30/7/2020). Diduga pasien mengalami depresi akibat terkena Covid-19.
Sebelumnya, pada Maret 2020, seorang perawat di RS San Gerardo di Monza, Italia, bunuh diri setelah diketahui tertular Covid-19 dan khawatir menularkannya kepada orang lain (The Telegraph, 25/3/2020).
Beberapa studi di luar negeri menunjukkan tingkat kecemasan dan stres meningkat selama pandemi Covid-19, baik itu di kalangan masyarakat umum maupun pada tenaga kesehatan yang setiap hari berjibaku mengatasi serangan virus. Salah satunya studi dari Huang & Zhao (2020) yang menyebutkan pada masyarakat umum di China, tingkat kecemasan dan depresi dialami oleh 20,1-35,1 persen responden. Sementara pada tenaga kesehatan, kecemasan dan depresi dialami oleh 19,8-35,6 persen.
Dari penelitian yang dilakukan Unit Konsultasi Psikologi (UKP) Universitas Gadjah Mada selama Maret-Juli 2020, dengan responden 294 orang, diketahui bahwa 57 persen mengalami keluhan psikologis berupa kecemasan, stres, dan gangguan kesehatan mental. Sebanyak 16 persen mengalami psikosomatis. Selebihnya mengaku mengalami masalah terkait relasi dengan orang terdekat, pekerjaan, studi, dan lainnya.
Dengan ketidakpastian kapan vaksin Covid-19 bisa diterapkan, kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Namun, sejumlah ahli psikologi memperkirakan bahwa dalam jangka panjang akan ada peningkatan angka bunuh diri.
Dalam kondisi normal tanpa pandemi, angka bunuh diri secara global sudah cukup tinggi dan menjadi penyebab kematian terbesar kedua di kalangan anak muda usia 15-29 tahun. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan fenomena bunuh diri dan mencegahnya terjadi.
Baca juga: Diduga Stres, Pasien Positif Covid-19 Tewas Melompat dari Ruang Isolasi
Fakta bunuh diri
Bunuh diri merupakan fenomena global yang terjadi di banyak negara. Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, hampir 800.000 orang setiap tahun meninggal karena bunuh diri, di mana satu orang meninggal setiap 40 detik. Terdapat indikasi bahwa ketika satu orang meninggal akibat bunuh diri, terdapat lebih dari 20 orang lainnya berusaha bunuh diri.
Dari data WHO yang dilansir pada 2019 disebutkan, bunuh diri menjadi penyebab kedua terbesar kematian pada kelompok usia 15-29 tahun di seluruh dunia. Urutan pertama kematian disebabkan oleh kecelakaan di jalan raya dan di urutan ketiga kematian akibat kasus kekerasan atau penganiayaan.
Dilihat berdasarkan jenis kelamin, bunuh diri pada perempuan menjadi penyebab kematian kedua setelah kematian akibat masalah reproduksi. Sementara bunuh diri pada kelompok laki-laki merupakan penyebab kematian di urutan ketiga setelah kecelakaan di jalan raya dan kekerasan.
Jika dilihat berdasarkan wilayah, angka bunuh diri per 100.000 penduduk terbanyak terjadi di negara-negara di kawasan Eropa (15,4), disusul Asia Tenggara (13,2) dan Pasifik Timur (10,2). Kelompok laki-laki yang lebih banyak melakukan bunuh diri secara berturut-turut terdapat di Eropa (24,7), Amerika (15,1), dan Asia Tenggara (14,8). Sementara perempuan yang bunuh diri terbanyak terdapat di Asia Tenggara (11,6), Pasifik Timur (9,4), dan Eropa (6,6).
Di Indonesia sendiri, angka rata-rata bunuh diri per 100.000 penduduk sebesar 3,4. Terbanyak dilakukan oleh laki-laki (4,8). Sementara pada perempuan angka rata-ratanya adalah 2. Selain itu, data WHO juga menunjukkan 79 persen kasus bunuh diri terjadi di negara yang merupakan kelompok berpendapatan rendah dan menengah.
Baca juga: Lima Luka Senjata Tajam, Amfetamin, dan Kesimpulan Bunuh Diri Yodi
Kondisi pemicu
Theo K Bowman, seorang profesor dari Departemen Psikologi Klinis University of Groningen, Belanda, dalam kuliah daring yang diselenggarakan Center for Public Mental Health (CPMH) Univeritas Gadjah Mada, Senin (27/7/2020), menyebutkan, dalam situasi pandemi sekarang ini, setidaknya terdapat empat gelombang dampak yang mungkin dihadapi yang dapat meningkatkan kecemasan, stres, bahkan depresi.
Pertama adalah dampak langsung atau aktual dari pandemi, yaitu beban kesehatan dan konsekuensi ekonomi. Di belahan negara mana pun dan di lapisan masyarakat apa pun kondisi ini tak terhindarkan.
Kedua, adanya penundaan terhadap pelayanan kesehatan untuk jenis penyakit yang lain, terutama penyakit kronis, karena pergerakan orang dibatasi. Orang menghindari datang ke rumah sakit karena takut tertular virus korona baru sehingga tidak mendapatkan layanan sebagaimana seharusnya atau serutin biasanya.
Ketiga, ada konsekuensi dari penanganan Covid-19. Orang yang sembuh dari Covid-19, kondisi tubuh dan kesehatannya tidak lagi sama seperti sebelumnya. Tidak diketahui apa dampak jangka panjang terhadap kondisi fisik dari perawatan intensif selama menderita Covid-19.
Terakhir, terkait munculnya gangguan mental yang sifatnya jangka panjang, seperti kecemasan yang kronis, kondisi stres pasca-kejadian yang traumatik (PTSD), perasaan kehilangan, atau sindrom pasca-perawatan yang intensif (PICS).
Sesungguhnya, kondisi yang dihadapi selama pandemi bisa berbeda pada setiap orang dan tidak selamanya negatif. Pada sebagian orang, menjalani pembatasan sosial, karantina, atau lockdown bisa jadi bermakna positif jika ia punya kontrol yang baik terhadap segala situasi yang dihadapi.
Pembatasan sosial bisa berarti tersedianya waktu yang cukup banyak (ekstra) untuk melakukan kegiatan yang mendukung kesehatan tubuh dan rohani, seperti tidur yang cukup, makan lebih sehat, cukup berolahraga, mengurangi rokok dan alkohol, atau melakukan kontemplasi. Bisa juga berarti tersedia waktu yang berkualitas bersama keluarga atau orang terdekat.
Bagi orang yang sering mengalami gangguan kecemasan, pembatasan sosial juga bisa berarti pengalaman yang menyenangkan. Ia justru merasa aman karena bisa terhindar dari kondisi eksternal yang selama ini memunculkan kecemasan dalam dirinya.
Terdapat juga fakta yang menunjukkan menguatnya kohesi dan koneksi sosial masyarakat. Terbangun rasa komunal dan kekompakan di tengah masyarakat untuk bersatu mengatasi penyebaran virus.
Mengkhawatirkan
Pada kesempatan lain, Erminia Colucci dari Departemen Psikologi Middlesex University, London, menyebutkan, yang sangat mengkhawatirkan dari dibatasinya ruang gerak adalah meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pada kondisi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, isolasi atau karantina atau pembatasan sosial dapat memperburuk kondisi mereka karena mereka tidak bisa keluar atau melarikan diri dari rumah. Mereka terkurung bersama pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ada kesulitan untuk menghindari kekerasan tersebut.
Hal ini tentu saja akan meningkatkan kecemasan atau stres. Sumber stres lainnya tentu saja masalah ekonomi, seperti kehilangan pekerjaan, berkurangnya penghasilan, terlilit utang, atau ketimpangan sosial yang menimbulkan ketidakjelasan tentang masa depan. Juga masalah meningkatnya kecanduan alkohol dan obat-obat terlarang serta akses bebas kepemilikan senjata.
Menurut Colucci, kelompok-kelompok yang rentan mengalami gangguan mental dan bunuh diri adalah orang yang memang sebelumnya (sebelum pandemi) punya masalah gangguan mental, tenaga kesehatan di garis terdepan, serta orang lansia atau orang yang memiliki masalah kesehatan yang berat, yang diperparah oleh isolasi. Kelompok minoritas juga rentan, seperti para tahanan, kaum LGBT, para migran, kelompok etnis minoritas, dan pengungsi.
Terdapat beberapa faktor yang bisa melindungi diri dari gangguan mental dan bunuh diri, seperti dengan memperoleh dan memahami informasi mengenai Covid-19 yang akurat untuk mengatasi kecemasan tertular penyakit, resiliensi, melanjutkan pekerjaan, olahraga secara berkala, dan memiliki akses ke ruang terbuka di luar rumah.
Perlu pula mengurangi paparan media sosial yang dapat memengaruhi kesehatan mental. Bagi yang sebelumnya sudah memiliki masalah gangguan mental supaya tetap melanjutkan pengobatan atau penanganan.
Perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa bunuh diri adalah masalah kesehatan mental publik yang utama, meskipun ada tabu di banyak kalangan masyarakat jika secara terbuka membicarakannya. Mengembangkan panduan pertolongan pertama pada bunuh diri bagi anggota masyarakat dan memberikan pelatihan terkait hal tersebut akan berperan mengubah cara pandang dan sikap masyarakat terhadap tindakan bunuh diri dan orang yang berkeinginan untuk bunuh diri. (LITBANG KOMPAS)