Ulasan Palsu Bayangi Konsumen E-Commerce
Ulasan produk merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi kegiatan berbelanja via online. Fenomena ulasan produk palsu menjadi ancaman bagi konsumen belanja daring
Ulasan produk merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi kegiatan berbelanja via online. Tingkat kepercayaan konsumen terhadap ulasan atau review produk juga meningkat dari tahun ke tahun.
Sayangnya, otentisitas ulasan mulai dipertanyakan seiring dengan maraknya review palsu yang menyesatkan konsumen. Hal ini merugikan konsumen sekaligus memengaruhi kredibilitas penjual atau platform e-commerce itu sendiri.
Asumsi tersebut setidaknya terjelaskan dari hasil survei penyedia jasa riset bisnis Podium yang menyebutkan 93 persen dari responden menyatakan bahwa review online memberikan dampak pada keputusan mereka dalam membeli barang.
Riset ini juga menemukan bahwa sebanyak 63 persen responden bersedia membayar 15 persen barang lebih mahal jika mendapatkan jaminan pengalaman berbelanja yang lebih baik. Riset pasar ini dilakukan secara daring pada 2.005 responden di Amerika Serikat pada 2017.
Sementara itu, data Statista menunjukkan, presentase orang yang percaya pada ulasan produk sama halnya dengan memercayai rekomendasi personal meningkat dari tahun 2015 hingga 2018. Pada tahun 2015, sebanyak 8 persen responden selalu percaya pada ulasan produk. Persentase tersebut meningkat dua kali lipat menjadi 19 persen pada tahun 2018.
Responden juga makin percaya pada ulasan produk yang diberikan oleh lebih dari satu orang. Pada tahun 2015, hanya 19 persen responden yang mempercayai kualitas produk jika direview oleh lebih dari satu pelanggan. Persentase tersebut naik menjadi 25 persen di tahun 2018. Survei dari statista tersebut dilakukan setiap tahunnya pada 1.000 responden di Amerika Serikat.
Hasil survei di atas memberikan gambaran bahwa ulasan produk daring memiliki peran penting dalam perilaku orang dalam memilih barang sebelum akhirnya membeli. Kepercayaan pelanggan terhadap ulasan daring juga meningkat dari waktu ke waktu.
orang yang percaya pada ulasan produk sama halnya dengan memercayai rekomendasi personal meningkat dari tahun 2015 hingga 2018
Ulasan produk ikut berperan dalam memberikan gambaran tentang kualitas produk yang dijual melalui e-commerce. Meski tidak bisa menyentuh secara langsung, calon pembeli dapat menerka-nerka produk yang akan ia beli melalui pengalaman orang lain yang terlebih dahulu menerima produk.
Meski demikian, peran penting ulasan produk ini tidak selamanya memenuhi fungsinya sebagai petunjuk kualitas barang. Istilah ulasan palsu pun muncul. Ulasan palsu dapat berupa deskripsi produk yang tidak sesuai dengan keadaan aslinya atau pujian yang berlebih.
Statista mencatat terjadi penurunan kepercayaan responden terhadap otentisitas ulasan. Otentisitas yang dimaksud adalah kebenaran ulasan berdasarkan kualitas barang atau jasa yang dikonsumsi oleh pelanggan. Pada 2018, jumlah responden yang memercayai otentisitas ulasan menurun menjadi 19 persen dari 31 persen di tahun 2015.
Sajian data tersebut dapat dikaitkan dengan makin maraknya ulasan palsu terhadap sebuah produk. Fenomena ulasan palsu atau fake reviews bahkan ditanggapi serius, salah satunya oleh Otoritas Persaingan Pasar Inggris (CMA).
Pada 22 Mei 2020, CMA merilis pernyataan yang memuat keputusan untuk mengambil langkah serius untuk menyelidiki pesebaran review palsu seiring meningkatnya belanja daring selama pandemi Covid-19
Setali tiga uang, periset konsumen Which? dari Inggris juga merilis hasil survei terkait potensi ulasan produk terhadap pilihan belanja pelanggan. Survei ini menemukan bahwa ulasan palsu yang bernuansa bombastik membuat orang lebih mau memilih produk.
Survei dilakukan dengan simulasi pada 10.000 orang yang terbagi dalam grup-grup responden. Dalam kontrol grup, hanya 10 persen responden yang memutuskan untuk membeli barang tanpa adanya intervensi review palsu.
Dalam grup dengan perlakuan ulasan palsu dalam bentuk teks, terdapat 23,1 persen yang akhirnya memutuskan untuk membeli produk. Jumlah responden yang memutusakn untuk membeli produk naik menjadi 24,8 persen untuk produk dengan ulasan palsu berupa teks dan endorsment.
Ulasan palsu dinilai memiliki dampak pada kepuasan pembeli dan kredibiltas pebisnis. Justin Malbon dalam Taking Fake Online Consumer Reviews Seriously (2012) yang dimuat dalam Journal of Consumer Policy menyatakan ulasan palsu dapat berdampak pada reputasi penyedia barang atau jasa.
Meskipun konsumen memiliki beberapa kemampuan untuk mendeteksi ulasan palsu, praktik ini menjadi semakin canggih. Praktik ini harus ditanggapi oleh pembuat kebijakan secara serius.
Belum jadi Perhatian
Di Indonesia, review palsu daring khususnya dalam perilaku berbelanja online belum menjadi perhatian. Padahal, pengguna dan tingkat penetrasi e-commerce di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut data Statista, jumlah pengguna e-commerce di Indonesia mencapai 93,4 juta pengguna di tahun 2018 dan diprediksikan akan naik lebih dua kali lipat di tahun 2024 menjadi 208,5 juta pengguna. Indonesia juga pasar terbesar kesembilan yang menguntungkan bisnis e-commerce sebesar 28,597 juta dollar AS. Peringkat teratas diduduki China, Amerika Serikat, dan Jepang.
Dengan pasar e-commerce yang semakin bertumbuh, maka perlindungan terhadap konsumen juga butuh diperhatikan. Ulasan produk menjadi salah satu bentuk iklan dan promosi, apalagi jika review atau ulasan dibuat sengaja untuk meningkatkan penjualan.
Dari sisi regulasi sendiri, belum ada kebijakan yang mengatur secara spesifik terkait ulasan palsu. Payung hukum yang selama ini digunakan untuk melindungi konsumen di ranah maya baru tertuang dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan PP No.71 Tahun 2019 tentang Pelanggaran Sistem dan Transaksi Elektronik yang merupakan turunan dari UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Meski dalam UU No.8/1999 telah melarang pelaku usaha untuk memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan, namun belum diatur secara spesifik tentang ulasan palsu.
Perlindungan pada konsumen belum fokus pada kegiatan konsumsi di ranah daring. Menyambut kebiasaan baru dalam berbelanja daring, perlu kiranya memperkuat payung hukum dan lembaga yang memiliki otoritas untuk melindungi konsumen di ranah digital. (LITBANG KOMPAS)