Ledakan Lebanon Singkap Krisis Berkepanjangan
Peristiwa ledakan Beirut menyingkap krisis berkepanjangan yang mendera Lebanon. Potret kegagagalan pemerintahan dalam mengelola negara.
Ledakan di Lebanon awal Agustus lalu tidak hanya mengakibatkan jatuhnya korban dan hancurnya ribuan bangunan. Duka masyarakat akibat peristiwa naas tersebut kini berubah menjadi kemarahan yang ditumpahkan dengan aksi demonstrasi di jalan. Peristiwa ledakan ini pun menyingkap krisis berkepanjangan yang mendera negara tersebut dalam beberapa waktu terakhir.
Ledakan yang diduga berasal dari tumpukan amonium nitrat pada 4 Agustus 2020 menyebabkan 158 orang meninggal dan 6.000 lainnya luka-luka. Di luar angka tersebut, masih terdapat juga puluhan orang yang dinyatakan hilang akibat musibah ini. Tidak hanya itu, sekitar 250.000 warga Lebanon kehilangan rumah yang hancur akibat peristiwa tersebut.
Tak lama berselang, ledakan yang meluluhlantakkan sebagian besar wilayah Beirut ini juga mengguncang politik Lebanon. Massa yang sedih dan kebingungan akibat bencana ledakan ini meluapkan kemarahan mereka dengan melakukan serangkaian aksi demonstrasi. Selain melakukan aksi di jalan, aksi massa juga merangsek masuk, merusak serta menduduki sejumlah gedung pemerintahan.
Unjuk rasa ini segera disambut dengan tindakan tegas dari aparat kepolisian. Para demonstran dihujani dengan tembakan peluru karet dan gas air mata. Bentrokan antara demonstran yang membela diri dan petasan dan batu pun tak terhindarkan. Tak ayal, puluhan orang demonstran akhirnya harus dilarikan ke rumah sakit akibat luka-luka.
Namun, tekanan dari pihak kemanan tidak menyurutkan demonstrasi. Selama enam hari terakhir, para demonstran terus memadati jalan-jalan di Beirut. Mereka menuntut para pejabat untuk mundur seraya memekikkan seruan untuk revolusi. Tapi, turunnya pejabat tinggi bukanlah akhir dari perjuangan bagi para demonstran. Bagi mereka, tujuan utama dari demonstrasi ialah mengakhiri praktik korupsi di lingkungan pemerintahan Lebanon.
Menanggapi serangkaian aksi demonstrasi tersebut, sejumlah pejabat Lebanon pun mengundurkan diri. Beberapa anggota parlemen, seperti Nadeem Gamayel dan Paula Yacoubian, mengundurkan diri tak lama setelah demonstrasi berlangsung pada 8 Agustus lalu. Adapun Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab beserta seluruh jajaran kabinetnya mengundurkan diri pada 11 Agustus lalu.
Untuk mengisi kekosongan pemerintahan, hingga waktu yang belum ditentukan, Hassan Diab dan jajarannya menyatakan bahwa mereka akan menjadi pemerintah sementara. Dalam posisi ini, perdana menteri dan jajarannya dapat saling bertemu, berdiskusi dan mengeluarkan pernyataan, namun kehilangan kuasa untuk mengeluarkan peraturan maupun perintah. Sementara itu, anggota parlemen berkonsultasi dengan presiden untuk membentuk kabinet yang baru.
Krisis ekonomi
Masyarakat Lebanon tidak melakukan aksi semerta-merta akibat peristiwa ledakan tersebut. Di balik peristiwa naas itu, tersimpan berbagai persoalan terkait dengan isu ekonomi, politik, dan sosial. Tak hanya itu, kondisi kehidupan di Lebanon pun kian memburuk akibat gempuran pandemi Covid-19.
Persoalan pertama yang dihadapi oleh masyarakat Lebanon ialah tekanan kesehatan dan ekonomi. Sama dengan berbagai negara lain, Lebanon juga merasakan hantaman pandemi Covid-19. Setidaknya lebih dari 7.400 warga Lebanon terjangkit virus Covid-19 dan 89 di antaranya meninggal.
Pada 12 Agustus kemarin, situasi pandemi di Lebanon mendapat sorotan akibat angka kematian yang menyentuh titik tertinggi, di angka 7 jiwa, dan jumlah penambahan kasus baru yang signifikan di angka 309 kasus.
Sebetulnya, Pemerintah Lebanon telah berupaya mengatasi pandemi. Pada pertengahan Maret lalu, Pemerintah Lebanon dengan berani menerapkan kebijakan karantina wilayah atau lockdown untuk menghambat laju pertumbuhan Covid-19.
Sayangnya, kombinasi sistem jaring pengaman sosial yang buruk, infrastruktur kesehatan yang tidak memadai, dan krisis ekonomi akhirnya membuat kebijakan pemerintah Lebanon menjadi tak efektif.
Makin gentingnya situasi kesehatan kemudian diperparah oleh macetnya roda perekonomian yang mengikutinya. Pandemi Covid-19 mendorong Lebanon ke dalam jurang krisis ekonomi yang lebih dalam, setelah mengalami keterpurukan setidaknya selama satu tahun terakhir.
Salah satu contohnya ialah semakin hancurnya nilai mata uang pound Lebanon. Semenjak Oktober tahun lalu, mata uang Lebanon ini nilainya semakin anjlok, bahkan hingga mencapai lebih dari 80 persen pada Agustus tahun ini.
Selain kurs yang kian melemah, rasio utang dibandingkan dengan PDB (Debt-to-GDP) Lebanon pun kelewat tinggi. Pada 2018, rasio utang Lebanon mencapai angka 152 persen.
Angka tersebut menjadikan Lebanon sebagai negara dengan rasio utang tertinggi ketiga di dunia. Parahnya, kondisi ini dibarengi dengan tingkat pengangguran setinggi 25 persen dan sepertiga penduduknya yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Karut-marut Pemerintahan
Karut-marutnya Lebanon tidak lepas dari rapuhnya pemerintahan yang dibangun pascaperang saudara di negara tersebut. Pada tahun 1975 sampai 1990, Lebanon sempat dikoyak dengan perang saudara yang melibatkan beberapa golongan di negara tersebut.
Konflik yang dipicu oleh sentralisasi kekuasaan politik di salah satu golongan di Lebanon ini diselesaikan dengan ”Persetujuan Taif”. Secara umum, perjanjian tersebut memberi jaminan representasi politik yang lebih adil bagi umat Muslim dan Kristiani di Lebanon.
Namun, ternyata kontrak yang berhasil membawa perdamaian dengan membagi kekuasaan politik kepada pihak-pihak yang berperang ini justru dinodai oleh kepentingan ekonomi di kemudian hari.
Pasca-perang saudara di Lebanon, praktik penyelewengan kekuasaan sudah menjadi rahasia umum. Kekuatan politik yang dimiliki oleh elite-elite agama di Lebanon dikonversi menjadi kontrak proyek yang dibagikan kepada kroni-kroninya. Akhirnya, setelah 30 tahun dari perjanjian tersebut, masyarakat Lebanon lah yang harus menanggung akibatnya.
Konsekuensi dari praktik bagi-bagi proyek tersebut ialah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat Lebanon. Beberapa contohnya ialah krisis listrik dan sampah yang dialami negara tersebut sejak tahun 2015 hingga saat ini. Nyatanya, jika ditelisik lebih dalam, banyak pihak yang mendapatkan keuntungan di balik krisis yang diderita oleh masyarakat.
Salah satu krisis paling parah yang dialami Lebanon ialah perihal pengendalian sampah. Mengurus persoalan sampah di negara yang relatif kecil di Lebanon seharusnya bukanlah persoalan pelik untuk diselesaikan. Namun, karena pengendalian sampah tidak sepenuhnya dipegang oleh pemerintah, tetapi dikerjakan oleh pihak swasta, perebutan jatah proyek antara perusahaan yang didekengi oleh elite-elite agama di negara tersebut pun tidak dapat dihindarkan. Akhirnya, berton-ton sampah pun menumpuk di jalan-jalan di seluruh wilayah Lebanon.
Masyarakat yang sebelumnya telah dihantam dengan krisis air bersih dan listrik ini pun marah bukan main. Mereka yang sudah tak tahan dengan buruknya kinerja pemerintahan pun akhirnya berbondong-bondong melakukan demonstrasi di jalanan. Serangkaian demonstrasi yang terjadi ini dijuluki dengan demonstrasi ”Anda Bau” (”You Stink”).
Sebagai solusi jangka pendek, Pemerintah Lebanon pun meneken kontrak dengan perusahaan Al Jihad Commerce and Contracting (JCC) untuk membuat tempat pembuangan akhir (TPA) dengan nilai sebesar 288 juta dollar AS. Perusahaan ini merupakan milik saudara laki-laki dari Saad Hariri, mantan Perdana Menteri Lebanon kala itu.
Adapun kontrak serupa dengan nilai 144 juta dollar AS juga diberikan kepada perusahaan Khoury Contracting Company. Perusahaan tersebut dimiliki Dany Khouri yang merupakan kolega dari Michael Aoun, mantan Presiden Lebanon saat itu.
Namun, proses penunjukkan yang cenderung asal-asalan ini menimbulkan petaka di kemudian hari. Alih-alih menyelesaikan persoalan sampah secara menyeluruh, perusahaan-perusahaan tersebut hanya memindahkan persoalan sampah dari pusat kota Beirut ke daerah pesisir lain yang lebih sepi penduduk. Alhasil, setelah 3 tahun beroperasi, TPA tersebut tidak mampu menampung sampah lagi dan menyebabkan berbagai persoalan lingkungan di Lebanon.
Tak ayal, persoalan sampah kembali muncul pada 2019. Bersamaan dengan itu, krisis listrik, di mana warga Lebanon tidak dapat menikmati listrik selama 24 jam dalam sehari dan harus bergantung pada generator bermesin diesel, belum terselesaikan. Terlebih lagi, krisis listrik yang terjadi di Lebanon sarat akan kepentingan elit, di mana perusahaan generator listrik diesel dan penyedia solar di negara tersebut dikuasai oleh kroni dari elit-elit pemerintahan.
Krisis yang terus menumpuk pun menjadi tak tertahankan bagi masyarakat Lebanon. Mereka yang muak terhadap pemerintah tak ragu untuk turun ke jalan lagi dan melakukan aksi demonstrasi. Setelah serangkaian demonstrasi yang dimulai sejak Oktober 2019, beberapa pejabat tinggi Lebanon, Perdana Menteri Saad Hariri bersama kabinetnya, pun mengundurkan diri pada Februari 2020.
Gagalnya dua kabinet pemerintahan dalam rentang waktu kurang dari satu tahun terakhir ini menunjukkan seberapa kacaunya situasi sosial, politik, dan ekonomi di Lebanon.
Karut-marutnya Lebanon menjadi contoh nyata bagaimana sistem pemerintahan yang hanya berfokus pada kohesi elite akan berujung pada negara yang disfungsional dalam segala aspek.
Dalam skenario terburuk, bukan tidak mungkin apabila di kemudian hari Lebanon menjadi ”negara gagal” (failed state), sama seperti nasib dari negara tetangganya, Suriah, dan negara Somalia di Afrika. (LITBANG KOMPAS)