Melati Bersemi di Tanah Air
Di antara kisah heroik perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, ada sekumpulan pejuang perempuan yang turut ke medan perang. Semangat tersebut kini berlanjut dalam upaya membela hak-hak masyarakat.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia bukan hanya milik kaum laki-laki. Para perempuan turut membela bangsa dari belakang layar hingga ikut angkat senjata. Kini, perjuangan itu masih berlanjut dalam kiprah membela hak-hak masyarakat kecil.
Masa penjajahan Belanda di tanah air belumlah usai meski kemerdekaan Republik Indonesia sudah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Belanda mencoba kembali menguasai Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu. Tanpa ragu, pasukan Belanda melancarkan agresi militer, salah satunya di daerah Bekasi.
Di Januari 1946, Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Sultan Hamengkubuwana IX menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk memindahkan ibu kota negara mengingat agresi militer yang makin memanas. Tawaran ini disambut baik oleh Presiden Soekarno dan malamnya langsung disusun rencana yang cermat. Pada 4 Januari 1946 dini hari, rombongan pejabat tinggi negara tiba di Yogyakarta.
Untuk sementara, kendali keamanan di Jakarta di bawah komando Letnan Kolonel Daan Jahja sebagai Gubernur Militer Kota Jakarta. Jakarta kala itu berada dalam darurat militer karena Sekutu dan Belanda sudah merangsek ke sana. Karena terdesak, tentara Indonesia menempati sisi luar Jakarta, yakni di Bekasi, Cikarang, Cikampek, dan Karawang (Sejarah Indonesia Baru II, 2009).
Posisi Bekasi yang berdampingan langsung dengan Jakarta membuatnya menjadi garda terdepan perlawanan terhadap Belanda. Padahal, saat itu pusat komando pertahanan berada di Karawang. Maka, terjadilah pertempuran di tapal batas yang terbentang di Kali Cakung hingga Cilincing, serta Kali Buaran hingga Cileungsi.
Julukan Kota Bekasi sebagai ”Kota Patriot” dan simbol bambu runcing tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah perlawanan ini. Tepatnya pada 10 Juni 1946, pertahanan Bekasi di Kali Cakung hingga sebelah Barat Kali Bekasi berhasil ditebus oleh Belanda. Demi membendung laju pasukan Belanda, jembatan jalan raya Kali Bekasi diputus oleh para pejuang.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah pinggir Jakarta ikut dikenang melalui karya-karya seni. Sebut saja pujangga Chairil Anwar dalam karyanya berjudul ”Karawang-Bekasi” (1948), menuliskan sajak yang menggetarkan jiwa nasionalisme hingga kini. Begitu pula dengan Pramoedya Ananta Toer melalui dua novel berjudul ”Krandji-Bekasi Djatuh” dan ”Di Tepi Kali Bekasi” (1947).
Di antara kisah heroik para pejuang ini, ada sekumpulan pejuang perempuan yang turut ke medan perang. Kayatin Sahir Nitihardjo dan Hadijah Siregar menjadi tokoh yang membentuk Barisan Srikandi Indonesia (BSI) yang bertugas menyiapkan dapur umum dan pos kesehatan. BSI didirikan dengan berbekal pelatihan singkat saat di Pusat Latihan Bah Birong Ulu.
BSI bukanlah kelompok pejuang perempuan yang pertama. Sebelumnya ada Laskar Wanita Indonesia (Laswi) dalam perang di Bandung. Begitu pula dengan Pemuda Putri Republik Indonesia yang turut berperang dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Selain urusan dapur dan medis, BSI juga bertugas mengumpulkan selongsong peluru dari pasukan lawan dengan cara yang unik. Mereka mengikat beberapa pohon yang dihubungkan dengan tali untuk mengelabui pesawat lawan yang lewat agar mengira ada rombongan pejuang yang lewat lalu ditembaki.
Setelah pesawat sudah jauh, pasukan BSI mengumpuli selongsongan peluru-peluru pesawat tadi untuk diisi mesiu kembali (Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi, 1984).
Lagu
Meskipun sumbangan para pejuang perempuan BSI begitu besar, kekhawatiran lain bermunculan. Semangat patriotisme BSI juga diikuti oleh para anak-anak gadis dari kalangan petani di daerah Bekasi. Sayangnya, semangat para pejuang ini tidak diiringi keterampilan untuk bertempur.
Mayoritas puteri petani yang turun angkat senjata itu bermodalkan semangat dan euforia mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Akibatnya, banyak para gadis yang menjadi korban keganasan peluru musuh di medan pertempuran.
Bersamaan dengan berita gugurnya para gadis tersebut, Komandan Resimen V Cikampek Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min (yang membawahi wilayah pertempuran Jakarta dan sekitarnya) merasa prihatin dan bertanggung jawab atas ini. Dia merasa bahwa pertempuran senjata bukanlah ranah yang harus dijangkau oleh para perempuan.
Pandangan ini bukan semata karena idealisme patriarkis, namun Moe’min memandang perempuan memiliki ranah perjuangannya sendiri. Menurut Moe’min, para perempuan memiliki tugas mulia untuk melahirkan generasi baru agar dapat melanjutkan perjuangan kemerdekaan di kemudian hari.
Lagi pula, medan pertempuran baiknya diserahkan kepada kaum pria, terutama mereka yang sudah mendapatkan pelatihan militer dari Jepang sebelumnya (Jakarta-Karawang-Bekasi, dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min, 1999).
Dilema bermunculan, bila Moe’min menyampaikan langsung kepada para perempuan di garis pertempuran, maka akan sia-sia. Pasalnya, euforia angkat senjata sudah membara dan mereka masih berdarah muda. Maka, Moe’min lantas mencari akal agar pesannya ini dapat didengar dan diikuti oleh para pejuang.
Di tengah kebingungan Moe’min, secara kebetulan penyair Ismail Marzuki dan Suto Iskandar berada di markas Resimen V Cikampek. Mereka singgah di sana dalam perjalanan menuju ke Yogyakarta.
Di antara kisah heroik para pejuang ini, ada sekumpulan pejuang perempuan yang turut ke medan perang.
Tanpa pikir panjang, Moe’min langsung menceritakan keresahannya dan meminta kedua penyair itu membuatkan sebuah lagu. Ide ini disambut baik Ismail Marzuki dan Suto Iskandar demi meminta para perempuan menarik diri dari garis pertempuran tanpa merasa kehilangan kehormatan berjuang.
Maka, sekitar 1947, berkumandanglah lagu ”Melati di Tapal Batas” melalui siaran radio di Jawa. Mendengar lantunan syahdu itu, para pejuang di palagan pun menjadi heboh. Kesadaran pun terbangun, para remaja putri rela mundur dari garis depan medan dan mempertahankan kemerdekaan tanpa memanggul senjata.
Berlanjut
Peran para perempuan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia sesungguhnya masih berlanjut hingga kini. Bukan lagi dengan angkat senjata namun dengan menyuarakan suara rakyat kecil. Lawannya memang bukan lagi penjajah seperti di era kolonial, melainkan sudah berubah wajah.
Pada 12 April 2020, sepuluh perempuan Kendeng melakukan aksi dalam rangka mempertanyakan pabrik semen yang tetap beroperasi di masa pandemi. Aksi tersebut menjadi yang kesekian kalinya para perempuan Kendeng memprotes operasi industri di wilayah mereka. Menurut mereka, kehadiran pabrik semen di sana mengancam sumber air, ekosistem, dan mata pencarian para petani.
Padahal, di tengah masa pandemi ini, para petani Kendeng tidak mengalami keresehan berarti karena pasokan pangan yang tercukupi. Mereka masih bisa ke sawah, memanen, dan mengumpulkan bahan makanan tanpa khawatir krisis pangan. Ketahanan pangan inilah yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah guna mencegah resesi ekonomi di kemudian hari.
Para petani perempuan dari Kendeng ini menjadi salah satu contoh perjuangan oleh kaum perempuan yang belum selesai meski kemerdekaan sudah diproklamasikan. Perjuangan kemerdekaan Indonesia masih perlu diupayakan dalam berbagai aspeknya.
Bisa jadi, perkataan Presiden Soekarno menemui kebenarannnya, ”Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tetapi perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengenal Peristiwa Sejarah Indonesia