Semiotika Politik PSI di Pilpres 2024
Deklarasi kader Partai Solidaritas Indonesi, Giring Ganesha, akan lebih bergema untuk Pilkada DKI Jakarta 2022, bukan Presiden RI.
Giring Ganesha telah mengonfirmasi pencalonan dirinya sebagai presiden Indonesia pada Pemilu 2024. Publik perlu mencerna fenomena ini sebagai strategi Partai Solidaritas Indonesia atau PSI untuk menguji geopolitik di DKI Jakarta.
Kemunculan awal isu pencalonan Giring Ganesha sebagai calon presiden Indonesia untuk 2024 dimulai dengan adanya baliho berukuran besar di Jakarta dan Pekanbaru. Awalnya pihak PSI dan Giring tidak memberikan komentar apa pun terkait dengan baliho yang telah tersebar di media sosial. Satu-satunya kabar yang diberikan adalah berkaitan dengan penunjukan Giring sebagai pelaksana tugas ketua umum PSI.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Penunjukan itu dinyatakan langsung oleh Grace Natalie tepat pada peringatan HUT Republik Indonesia pada 17 Agustus 2020. Alasannya karena Grace akan melanjutkan studi pascasarjana di Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore selama setahun. Menurut Grace, Giring mewakili sosok anak muda kreatif dan telah berjuang bersama PSI selama beberapa tahun terakhir.
Konfirmasi langsung akhirnya diberikan oleh Giring Ganesha melalui konferensi pers yang diselenggarakan PSI pada 24 Agustus 2020. Dalam konferensi itu, Giring mendeklarasikan dirinya menjadi calon presiden RI pada Pemilu 2024. Sehari sebelumnya, dalam akun Youtube PSI, diunggah video berdurasi sembilan menit yang berisi penegasan dan alasan pencalonan Giring.
Reaksi dari warganet di media sosial pun beragam. Ada yang mendukung, tetapi ada juga yang meragukan. Perdebatan di dunia maya berkutat pada sosok Giring yang tidak bisa dilepaskan dari profesi dirinya sebagai musisi. Selain itu, ada pula yang meragukan sosok Giring lantaran kiprahnya di politik Indonesia belumlah mumpuni.
Di sisi lain, pencalonan diri Giring sebagai presiden RI pada Pilpres 2024 adalah hak dirinya sebagai warga negara Indonesia. Dalam 20 butir Pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Giring Ganesha tidak memiliki halangan terkait dengan pencalonan dirinya. Begitu pula jika melihat Pasal 6A Undang-Undang Dasar tentang Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat syarat pengajuan calon presiden diusulkan oleh partai politik sebelum pemilihan umum dijalankan.
Kendati pencalonan Giring sesuai dengan hukum dan hak warga negara Indonesia yang berlaku, keputusan ini diduga terlalu dini menimbang pemilihan presiden masih lama. Di sisi lain, PSI berambisi merebut suara pemilih muda seturut yang dinyatakan Giring dalam konferensi pers. Menurut dia, setengah dari jumlah pemilih pada Pilpres 2024 adalah anak muda sehingga Giring sebagai perwakilan anak muda mampu memahami kebutuhan kelompok pemilih ini.
Meski begitu, fenomena pencalonan Giring tidak dapat dilepaskan dari partai pendukung di belakangnya. Hal ini terlihat janggal apabila perhatian hanya berpusat pada sosok Giring yang diusung PSI. Justru dalam momentum inilah, publik perlu mencerna strategi PSI lebih dalam lagi.
Mencuri atensi
Apabila pencalonan Giring pada akhirnya memberikan tempat bagi nama PSI di media massa, strategi PSI dapat dikatakan berhasil. Asumsi ini didasarkan fakta terkait dengan agenda politik terdekat, yakni pemilihan kepala daerah. Bisa jadi target PSI sesungguhnya bukanlah semata-mata langsung pada Pilpres 2024, melainkan pilkada yang menurut rencana akan digelar pada 9 Desember 2020.
Setidaknya ada empat efek positif bagi PSI selain mendapat tempat dalam pemberitaan politik di media massa seminggu ini. Pertama, dengan pencalonan yang masih jauh dari Pilpres 2024, PSI membuat terobosan.
Dalam dua pilpres sebelumnya pada 2014 dan 2019, para calon presiden dan wakil presiden diumumkan dekat dengan batas pengajuan diri ke Komisi Pemilihan Umum. Pada Pilpres 2009 pun Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan kembali pencalonan dirinya setahun sebelum pemilihan diadakan.
Kedua, PSI mampu mencuri atensi publik dan para tokoh politik mengingat saat ini tidak ada partai lain yang mengisi pemberitaan dan mengundang pembicaraan di ruang publik. Bisa dikatakan kiprah partai-partai lainnya meredup setelah pemberitaan tentang pengusungan kepala daerah dengan koalisi partai di dalamnya. Lagi pula pemulihan ekonomi dan sosial akibat pandemi Covid-19 masih menjadi perhatian pemerintah di berbagai sektor.
Ketiga, secara tidak langsung PSI membuka bursa dalam pencalonan presiden dan wakil presiden yang mungkin belum dideklarasikan oleh partai lain. Perlu diingat PSI tidak lolos ke parlemen lantaran pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 hanya memperoleh 2.650.361 juta atau 1,89 persen suara. Maka, PSI perlu mendapat perhatian dan dukungan dari partai lainnya, terutama partai yang mendapat perolehan suara banyak pada Pileg 2019.
Besar kemungkinan, sasaran PSI tidak lain untuk menggandeng PDI-P, terlepas dari calon yang nanti diusung oleh partai banteng itu. Pasalnya, dukungan PSI terhadap PDI-P sudah terjalin sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 yang kala itu mengusung pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Hingga kini, secara tidak langsung, dukungan terhadap PDI-P masih dilancarkan PSI, misalnya dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wali kota Surakarta.
Keempat, atensi publik terhadap PSI menjadi salah satu modal untuk mengenalkan PSI ke daerah-daerah yang terlibat dalam Pilkada 2020. Sejauh penelusuran Litbang Kompas, PSI telah menyatakan dukungan terhadap 10 pasangan calon yang akan maju di pilkada. Mulai dari pasangan calon Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakoso di Pilkada Solo hingga pasangan calon Muhammad Rudi dan Amsakar Achmad di Pilkada Batam.
Menariknya, tujuh dari 10 pasangan calon yang didukung PSI merupakan pasangan calon yang diusung PDI-P. Hanya ada tiga pasangan calon yang tidak segerbong dengan PDI-P, yakni di Sintang, Batam, dan Lamongan. Tampaknya, di ketiga dapil tersebut PSI lebih mengekor pada Partai Nasdem, apalagi di Sintang dan Batam calon yang maju adalah petahana di dapilnya.
Kemesraaan PSI dan PDI-P juga sempat terusik pada bursa pencalonan di Tangerang Selatan. Masalahnya, PSI sedari awal mengajukan Azmi Abubakar untuk berpasangan dengan Muhamad yang dijagokan oleh PDI-P. Sebagai Sekretaris Daerah Tangerang Selatan, Muhamad tentu memiliki modal besar dalam pencalonan dirinya.
Kemudi PDI-P pun kemudian berubah arah. Muhamad justru maju bersama Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (keponakan Prabowo Subianto) yang diusung oleh Partai Gerindra di Pilkada Tangerang Selatan nanti. Hingga saat ini, PSI belum memberikan dukungan ke pasangan calon mana pun di Tangerang Selatan.
Maka, dukungan kepada 10 pasangan calon menjadi jalan satu-satunya bagi PSI untuk mempertahankan eksistensinya dalam politik Indonesia. Jalan ini juga ditempuh lantaran sosok-sosok kader PSI yang terancam gagal maju pencalonan pilkada tahun ini.
Di Batam, pasangan calon Rian Ernest dan Yusiani Gurusinga menyatakan mundur karena harapan lolos yang kecil dalam proses verifikasi faktual. Begitu juga dengan Azmi Abubakar yang kandas di Pilkada Tangerang Selatan. Selain itu, ada Dhimas Anugrah yang digadang-gadang PSI maju di Pilkada Surabaya, tetapi tidak ada kejelasan hingga saat ini.
Keempat efek positif inilah, terlebih atensi publik, yang diharapkan PSI dapat terkonversi menjadi suara pemilih pada Pemilu 2024. Perjuangan PSI tentu berat mengingat selisih 2,11 persen suara pada Pemilu 2019 dari ambang batas parlemen 4 persen. Terlebih perubahan ambang batas presiden ataupun parlemen masih menunjukkan dinamikanya terkait dengan usulan partai-partai pada pertengahan tahun ini.
Semiotika politik
Terlepas dari kesungguhan Giring Ganesha dalam deklarasinya untuk maju di Pilpres 2024, menarik untuk mencermati video pernyataan dirinya yang diunggah PSI. Video tersebut masih dapat disaksikan di kanal Youtube PSI dengan judul ”GIRING GANESHA”. Untuk mengulasnya, semiotika visual dapat menjadi pisau analisis yang berguna untuk memahami pesan dan kesan dari video tersebut.
Video ini diawali dengan pembicaraan dua lelaki muda terkait baliho pencalonan Giring di suatu ruas jalan. Dialog di antara keduanya pun mengalir alami seperti percakapan sehari-hari.
Di sinilah sedari awal, figur kaum muda menjadi pengingat bahwa PSI identik dengan kaum muda yang mau terlibat aktif dalam politik. Dalam bahasa semiotika Ferdinand de Saussure, sosok dua lelaki muda tersebut menjadi signifier (gambaran visual) dan dialog di antara mereka menjadi langue (sistem bahasa).
Adegan berikutnya beralih ke sosok Giring Ganesha yang menyatakan diri maju dalam pencalonan presiden. Setelah itu, muncul tayangan transisi dengan jargon-jargon yang silih berganti: Giring Kemajuan, Giring Kebebasan, dan Giring Kebaikan. Di sini, PSI mencoba memainkan kata ”giring” dalam ambiguitas, yang satu sebagai kata kerja dan yang lainnya merujuk pada pribadi Giring Ganesha.
Kemudian, mulailah Giring Ganesha menceritakan pengalaman pribadi dan alasannya untuk maju sebagai calon presiden. Premis awal dibangun dengan temuan bahwa kaum muda apatis dengan politik. Di tengah-tengah atmosfer apatis itulah, Giring hadir sebagai sosok, yang menurut dia, mau terlibat secara aktif dalam politik, termasuk ikut serta pasukan oranye saat membersihkan sampah.
Secara singkat, narasi yang disampaikan dalam video tersebut bercerita tentang kegelisahan Giring mengenai situasi di Jakarta. Secara jelas, Giring menyanjung kinerja Joko Widodo sewaktu memimpin Jakarta di periode 2012-2014. Mulai dari masalah sampah, banjir, kriminalitas, kemacetan, dan pemandangan kumuh terlihat mulai teratasi di masa itu.
Tidak lupa Giring mengangkat kembali sosok kaum muda untuk aktif terlibat dalam politik, termasuk mendukung dirinya, yang menurut dia, hadir sebagai perwakilan kaum muda. Tampak sekilas tayangan pemberitaan di televisi mengenai kasus korupsi oleh anggota parlemen menjadi perwakilan citra buruk politik yang membuat anak muda menjadi apatis.
Dengan yakin, Giring menawarkan jaminan bahwa dirinya mengerti kebutuhan masyarakat saat ini, khususnya lagi-lagi kaum muda yang terus diulang sepanjang video sebagai sebuah signifier.
Menyaksikan video ini secara keseluruhan, rasanya tidak salah apabila menilai perhatian Giring dan PSI sebatas DKI Jakarta. Permasalahan lain di Indonesia, seperti pendidikan dan kesejahteraan, tidak dibahas sedikit pun. Maka, akan jauh lebih tepat dan bergema apabila pencalonan yang Giring dan PSI maksud adalah gubernur DKI Jakarta, bukan presiden RI.
Lagi pula, sebagai pendatang baru, capaian PSI di Pemilu 2019 untuk DKI Jakarta tidaklah buruk. PSI berhasil meraup 404.508 suara dan menempatkannya di urutan keempat dari sembilan partai lainnya yang bertarung. Dengan hasil itu, PSI berhak memperoleh delapan kursi di DPRD DKI Jakarta.
Mungkin saja Giring dan PSI memang ingin membuat gebrakan dengan mengabaikan tradisi pimpinan negara yang memulai karier politiknya dari bawah. Toh, jika memang benar sasaran PSI adalah mencuri atensi dan menunjukkan eksistensinya, tercapailah tujuan itu. Pertanyaannya, mampukah strategi ini meloloskan PSI dari ambang batas parlemen dalam Pemilu 2024? Jawabannya masih perlu menunggu empat tahun lagi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Politik Gaya Generasi Milenial