Orangtua Melek Informasi, Anak Berkebutuhan Khusus Aman dari Pandemi
Pemahaman orang-orang terdekat anak berkebutuhan khusus (ABK) tentang protokol kesehatan Covid-19 sangat penting. Namun, hal ini tidaklah mudah mengingat ABK membutuhkan perhatian khusus.
Pemahaman orangtua akan pentingnya informasi protokol kesehatan Covid-19 dapat menyelamatkan banyak nyawa. Terlebih, orangtua dengan buah hati berkebutuhan khusus yang termasuk dalam kelompok rentan terpapar virus.
Awal April 2020, empat anak berkebutuhan khusus dan tiga pendamping positif terjangkit Covid-19. Mereka berasal dari Yayasan Rawinala di Kramat Jati, Jakarta Timur. Kasus ini bermula dari salah satu orangtua murid yang sebelumnya terjangkit virus ini dan meninggal. Selama dirawat di rumah sakit, orangtua itu menitipkan anaknya di Asrama Rawinala (kompas.tv, 28/4/2020)
Pasca-kejadian itu, satu anak dan tiga pendamping dirawat di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat. Sementara tiga anak lainnya dilakukan isolasi mandiri di asrama yayasan. Dalam penanganan pasien Covid-19, belasan tim di sekolah luar biasa (SLB) itu diedukasi oleh tim komando tugas gabungan terpadu dari Rumah Sakit Wisma Atlet.
Contoh di atas menunjukkan bahwa pemahaman orang-orang terdekat anak berkebutuhan khusus (ABK) tentang protokol kesehatan Covid-19 sangat penting. Protokol ini dipahami untuk mencegah penularan virus pada diri sendiri dan meminimalisasi penularan pada ABK di sekitarnya. Dalam level lebih lanjut, pemahaman tersebut juga dapat disalurkan ke ABK itu sendiri.
Namun, hal terakhir ini terkadang memerlukan upaya lebih besar. Sebab ABK membutuhkan layanan pendidikan yang khusus, baik metode, materi pembelajaran atau kegiatan, pelayanan, maupun peralatannya. Dengan demikian, agar dapat mencapai pemahaman protokol kesehatan yang optimal contohnya, anak-anak ini perlu belajar dengan kecepatan dan cara yang berbeda.
Baca juga: Anak dengan Disabilitas Terancam Alami Kemunduran Perkembangan
Peran orangtua
Proses pembelajaran pada ABK ini tidak lepas dari peran orangtua. Di dalam tulisan Peran Keluarga dan Lingkungan dalam Memberdayakan ABK (Titin Suheri, 2008) disebutkan, sehebat-hebatnya seorang terapis, guru terbaik adalah orangtuanya. Orangtua baik ibu maupun bapak melakukan apa pun demi kebaikan anaknya, tanpa pamrih, dan tidak mengenal kata ”percuma”.
Hal ini juga berlaku pada upaya melindungi ABK dari paparan Covid-19. Orangtua diharapkan menjadi tumpuan utama dalam menjalankan protokol kesehatan ketat di rumah. Ungkapan itu pun dilontarkan 59,2 persen responden dari hasil jajak pendapat telepon Litbang Kompas minggu lalu. Selain itu, protokol serupa juga dinilai paling tepat dilakukan oleh lingkungan sekitar rumah (18,0 persen), pemerintah (13,9 persen), dan terakhir ABK itu sendiri (8,3 persen).
Jawaban mayoritas responden ini seturut dengan kondisi bahwa orangtua menjadi orang terdekat yang paling sering berinteraksi dengan ABK. Terutama ketika masa pandemi ini, di mana kebijakan pembatasan sosial di sejumlah daerah membuat banyak kegiatan ABK berlangsung di rumah. Sebab, belajar-mengajar tatap muka dan kegiatan terapi terhenti sementara waktu.
Upaya yang dilakukan orangtua di rumah itu dapat menjadi salah satu cara pengajaran bagi para ABK. Titin Suheri menjelaskan, dalam meningkatkan pemahanan ABK, khususnya autis spectrum disorder (ASD), disarankan tidak sekadar memberi tahu secara verbal. Namun juga dengan memberi contoh atau peragaan dan pengarahan hingga anak mengerti apa yang diharapkan.
Contoh yang diberikan dapat mulai dari perihal yang kecil, seperti peragaan mencuci tangan dengan sabun atau memakai masker yang benar. Karena sebagian penyandang ASD kesulitan berinteraksi secara verbal dan merupakan visual learner, maka penerapan strategi visual cocok bagi mereka. Namun, pembelajaran itu tidak akan berhasil tanpa adanya pendampingan intensif, konsistensi disiplin, dan pemahaman orangtua akan protokol kesehatan.
Baca juga: Peran Ganda Orangtua dengan Anak Berkebutuhan Khusus Selama Pandemi Covid-19
Dukungan pemerintah
Untuk mengurangi penularan Covid-19, Kementerian Kesehatan sudah gencar memublikasikan sejumlah protokol kesehatan. Diawali dengan SE Menteri Kesehatan nomor HK.02.01/MENKES/199/2020 tentang Komunikasi Penanganan Covid-19. Melalui SE yang diterbitkan 12 Maret 2020 ini, masyarakat diedukasi gejala jika terpapar Covid-19 dan prosedur berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Tidak lama berselang, muncul protokol isolasi diri sendiri dalam penanganan Covid-19. Protokol ini diatur dalam SE nomor HK.02.01/MENKES/202/2020 yang diterbitkan 16 Maret 2020. Setelah itu ada juga protokol penggunaan masker dan penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun yang terbit sejak 9 April 2020 melalui SE nomor HK.02.02/I/385/2020.
Sementara itu, protokol kesehatan untuk anak resmi diluncurkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2 Juni 2020. Protokol yang tersedia di laman covid19.go.id ini berisikan sejumlah panduan, seperti pencegahan keterpisahan anak dari orangtua, pengasuh, atau keluarga. Pencegahan anak-anak dari kekerasan, perlakuan salah, stigma, dan pelabelan kondisi orangtuanya yang terpapar Covid-19.
Pada tujuan khusus, protokol ini juga mengantur tata kelola lintas sektor pengasuhan bagi anak tanpa gejala, anak dalam pantauan, pasien anak dalam pengawasan Covid-19. Begitu juga anak dengan orangtua/pengasuh/wali berstatus orang dalam pengawasan ataupun meninggal. Sejumlah protokol ini juga berlaku bagi ABK dan anak penyandang disabilitas.
Meski sudah resmi diluncurkan, nyatanya penyuluhan protokol ini langsung ke masyarakat belum banyak ditemui. Baru 18,2 persen responden yang mengaku sudah ada penyuluhan informasi Covid-19 dari pemerintah atau dinas setempat khusus bagi ABK dan orangtuanya. Sementara 73,7 persen responden lainnya menjawab sebaliknya.
Kondisi ini dapat menjadi kendala jika tidak diantisipasi kreativitas orangtua mencari informasi. Sebab, ABK mungkin tidak bisa mengkuti protokol melindungi diri sendiri yang telah disarankan pemerintah. Banyak dari mereka mengandalkan dukungan dari orang lain untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti mencuci tangan, makan, berpakaian, hingga menutup mulut tidak bersin.
Masa pandemi ini juga dapat mengurangi kemandirian dan meningkatkan kerentanan ABK. Kebijakan pembatasan sosial dapat melemahkan jejaring bantuan yang bertujuan untuk mendukung para ABK hidup mandiri di rumah. Sebab, selama sekolah berasrama ditutup, ABK banyak melakukan aktivitas di rumah. Sementara tidak semua keluarga terbiasa mengasuh anaknya seharian sehingga justru menempatkan ABK pada risiko kekerasan, penelantaran, dan penganiayaan.
Kerentanan ini pun bertambah ketika masih banyak fasilitas umum belum menyediakan sarana penunjang protokol kesehatan ramah ABK. Sebab, diketahui baru 36,9 persen responden yang menilai sarana itu sudah memadai, sementara 56,6 persen lainnya masih menilai sebaliknya. Salah satu contohnya kesulitan pengunjung berkursi roda mencuci tangan di wastafel yang tersedia.
Baca juga: Potret Kaum Disabilitas di Masa Pandemi
Harapan
Selain hambatan akses informasi tentang Covid-19, sejumlah persoalan lain turut menggelayuti ABK. Oleh sebab itu, harapan demi harapan dilontarkan warga agar pemerintah terus mendukung ABK selama masa pandemi ini. Di antaranya memperhatikan kebutuhan ABK dalam menjalankan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diungkapkan 27,3 persen responden.
Secara umum, PJJ itu sendiri sudah menjadi tantangan, seperti belum meratanya akses listrik, akses listrik, dan kepemilikan ponsel pintar pelajar di berbagai lokasi di Indonesia. Bagi ABK, tantangan PJJ tidak hanya berhenti di situ saja. Sebab, tanpa pembelajaran tatap muka, diperlukan metode pembalajaran khusus agar materi guru dapat efektif diserap ABK dengan berbagai kondisinya.
Harapan selanjutnya, yaitu kemudahan akses melakukan terapi (26 persen). Sebab, selama pandemi tidak sedikit ABK tidak dapat mengaksesnya, baik karena kesulitan sarana transportasi maupun kebijakan work from home (WFH) yang menyebabkan jasa itu tutup. Maka dari itu, jasa terapis jemput bola di rumah ABK dengan menerapkan protokol kesehatan dapat menjadi solusinya.
Berikutnya adalah memastikan aturan mengenai ABK di daerah terlaksana dengan baik (23,4 persen). Sejumlah peraturan pusat belum terimplemensi secara merata di daerah. Satu di antaranya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak di mana pada Pasal 51 disebutkan ABK diberikan kesempatan yang sama memperoleh pendidikan biasa dan luar biasa.
Terakhir, memastikan ABK mendapatkan informasi Covid-19 dan pelayanan kesehatan yang sama (21,2 persen). Informasi ini disampaikan oleh orangtua sebagai guru terbaik ABK atau bisa juga tenaga pengajar melalui metode PJJ yang optimal. Namun, agar berhasil maksimal, bekal pemahaman orangtua harus terlebih dahulu terpenuhi melalui penyuluhan ataupun akses informasi lainnya.
Sebab, pemahaman yang baik tentang informasi Covid-19 dapat menyelamatkan banyak nyawa. Tugas pemerintah untuk memastikan hal itu terakomodasi dengan baik. Namun, jika belum terpenuhi juga, kesigapan orang terdekat ABK, terutama orangtua, sangat dibutuhkan. Sebab, selama pandemi ini belum usai, ABK juga berhak memperoleh perlindungan. (LITBANG KOMPAS)