Sebuah Ajakan Mengarsipkan Bacaan
Informasi akan hilang jika tidak ada upaya untuk mempertahankannya. Tanpa strategi, intisari yang didapat dari buku atau koran yang awalnya sangat kita pahami bisa begitu saja hilang di kemudian hari.
Informasi akan hilang jika tidak ada upaya untuk mempertahankannya. Tanpa strategi, intisari yang didapat dari buku atau koran yang awalnya sangat kita pahami bisa begitu saja hilang di kemudian hari.
Mengunjungi toko buku adalah sebuah kemewahan setelah semua kegiatan didorong serba virtual. Melihat tumpukan buku, membolak-balik halaman, hingga mengintip jajaran terbitan baru jadi sangat menyenangkan.
Penantian untuk bisa membawa pulang buku pun akhirnya terwujud. Salah satunya adalah buku berwarna hijau bergambar kulit apel merah menjuntai-juntai berjudul Usaha Menulis Silsilah Bacaan.
Buku ini adalah wujud cetak dari blog Eka Kurniawan yang berisi ulasan-ulasan atas karya sastra yang dibaca selama 2008-2011 dan 2015-2019. Ia menyebut kumpulan catatan ini sebagai usaha menyusun sejarah kesusastraan yang bersifat personal. Usaha kecilnya untuk mencatat dan mempraktikkan pokok-pokok pikiran dalam buku-buku yang ia baca.
Buku atau bagian buku diulas tanpa template. Ada yang dikupas dari sisi latar belakang pengarang, dibandingkan dengan karya lain, diceritakan berkaitan dengan isu tertentu, atau bahkan dicampur dengan pengalaman pribadi.
Dalam satu ulasan, ia bisa membandingkan karya Orhan Pamuk dengan Willian Faulkner terkait kecanggihan memilih sudut pandang tokoh-tokohnya. Di ulasan lainnya, ia menebak-nebak kaitan cerita Seribu Satu Malam dengan penembakan di kantor majalah Charlie Hebdo di Paris, Perancis. Eka pun tak ragu menyebut cerita A Short History of Tractors in Ukrainian punya kedekatan dengan latar belakang keluarganya.
Mengarsipkan bacaan mejadi level berikutnya setelah tekun membaca.
Dalam seratusan artikel yang termuat dalam buku ini, setidaknya dijumpai tiga penulis Indonesia, yakni Abdullah Harahap, Riyono Pratikto, dan Aman Datuk Madjoindo. Eka menyebut karya Abdullah sebagai perpaduan antara cita rasa gothic dan pelacakan ala detektif.
Sementara itu, Eka mengapresiasi karya Riyono sebagai harta karun langka dalam kesusastraan cerita-cerita seram. ”Riyono tidak bermain di hantu-hantu kultural yang diakrabi pembacanya, tetapi bermain di wilayah hal-hal yang kita tidak tahu,” kata Eka.
Dalam peta kesusastraan Eka, kita berjumpa dengan sastrawan Amerika Latin, Eropa, hingga Asia. Beberapa nama pengarang yang rajin ia sebut misalnya Jorge Luis Borges (Argentina), Jose Saramago (Portugal), dan Orhan Pamuk (Turki). Buku hijau ini memberikan kesempatan bagi pembaca untuk mengintip perpustakaan sastra Eka Kurniawan.
Mengarsipkan bacaan mejadi level berikutnya setelah tekun membaca. Mengarsipkan dapat berarti menulis sitasi buku, resensi sederhana, atau menceritakan pengalaman membaca buku. Mengingat konteks membuat ingatan melekat lebih lama.
Dalam Why We Forget Most of the Books We Read yang terbit di The Atlantic, Julie Beck menelusuri mengapa sebagian orang bisa sangat menguasai pengalamannya mengonsumsi budaya (buku, film, acara TV), tetapi bisa langsung kehilangannya. Selain karena keterbatasan kapasitas memori manusia, memadatkan komsumsi budaya juga turut andil memperpendek ingatan.
Misalnya, orang yang berturut-turut menonton (binge-watched) tidak punya ingatan yang lebih baik dibandingkan yang menonton seminggu sekali. Dalam hal membaca, orang yang mencatat apa yang ia baca dan konteks ketika ia membaca buku tersebut punya ingatan yang lebih baik. Ahli juga berpendapat, di era internet ini, persoalan mengingat itu menjadi tidak perlu dikhawatirkan selagi kita tahu di mana dan bagaimana memori itu dapat diakses.
Evaluasi diri
Selain Eka, mengarsipkan bacaan juga ditekuni oleh Hestia Istiviani (27) sejak akhir 2012. Ia mencatat buku-buku yang ia baca sekaligus menuangkan perenungannya dalam platform goodreads.com. Selama hampir delapan tahun, Hestia telah mengentri 860 buku sebagai buku yang sudah ia baca dan mencatat 208 buku yang ingin ia baca.
Hestia juga menggunakan layanan googlesheet untuk merekap judul, genre, nama, dan latar belakang pengarang, serta memberikan penilaian pada bacaan. Tak jarang, ia juga menuangkan ide dan gagasannya terkait buku yang ia baca di Twitter.
Per bulan ini, Hestia mengaku sudah membaca 135 buku dari target 65 buku. Buku nonfiksi dan kajian tentang feminisme jadi genre yang mendominan, salah satu buku yang mengesankan buatnya tahun ini adalah Feminist City: A Field Guide karya Leslie Kern.
Pengarsipan buku Hestia lakukan sebagai bahan refleksi diri. ”Ini untuk rekap diri sendiri. Apakah bacaanku sudah beragam atau cenderung ke penulis yang itu-itu saja. Apakah aku sudah membaca buku terkait isu dominan di tahun itu atau belum. Penting juga untuk melacak kenapa kita bisa punya pola pikir tertentu saat ini,” tuturnya dalam obrolan bersama Kompas, Senin (14/9/2020).
Hestia juga merupakan penggagas ”Baca Bareng”, sebuah kolektif membaca buku senyap atau silent reading untuk menciptakan ruang yang nyaman bagi para pembaca buku. Bersama teman-temannya, ia kerap bertukar profil goodreads sebagai bahan referensi bacaan.
Selain Hestia, Abriany Sinaga (27) juga mulai tertarik untuk mengarsipkan bacaan yang ia mulai sejak 2019. Di tahun ini, Abriany mengaku makin rapi mencatat judul dan pengarang buku yang ia baca. Ia memilih Twitter untuk mencurahkan pengalamannya membaca buku.
”Aku jadi punya semacam catatan panggil ketika aku ceritakan pengalamanku membaca buku via Twitter. Soalnya aku sendiri enggak suka mencoret-coret di buku,” ujarnya ketika dihubungi Kompas melalui telepon, Minggu (13/9/2020).
Tahun ini Abriany ingin menuntaskan 12 buku. Genre buku yang dibaca beragam, dari fiksi hingga pengembangan diri, seperti Kekasih Musim Gugur (Laksmi Pamuntjak) dan Slow (Greatmind).
Berdiri di bahu raksasa
Selain dalam dunia perbukuan populer, pengarsipan bacaan juga penting dalam dunia akademis meskipun penyusunan daftar pustaka sudah seperti keharusan. Di tahun ini pula muncul terbitan dari ranah akademis berjudul Nanos Gigantum Humeris Insidentes Sebelum Meneliti Susunlah Bibliografi Beranotasi dan Kajian Pustaka (2020) yang disusun oleh Noer Fauzi Rachman dan Ahmad Nashih Luthfi juga terbit.
Nanos Gigantum Humeris Insidentes dalam bahasa Inggris dapat diartikan menjadi stand on the shoulders of giants atau dalam bahasa Indonesia berarti ”berdiri kokoh di atas bahu para raksasa”. Istilah ini dipopulerkan oleh Isaac Newton yang hingga kini dapat dimaknai bahwa pengetahuan ilmiah yang baru itu dihasilkan di atas jasa warisan pengetahuan para pendahulu.
Buku ini berangkat dari keresahan banyaknya peneliti yang tidak disiplin dalam menulis bacaan yang akan ia pakai dalam tulisannya. Pengarang menjelaskan prosedur teknis dan hal-hal lainnya yang akan membantu pembaca dalam menyusun buku-buku babon untuk menguatkan bacaan.
Tidak hanya bibliografi atau daftar pustaka, buku ini mendorong para akademisi untuk menyusun bibliografi beranotasi. Artinya, sebuah daftar pustaka yang disertai dengan uraian ringkas mengenai kualifikasi penulis, topik, dan ruang lingkup bahasan, kualitas argumen, metode penelitian, serta arti penting naskah tersebut. Dengan bibliografi beranotasi, pembaca dengan cepat dapat mendapatkan pokok isi suatu naskah.
Meski berbeda jazirah, kedua buku ini sama-sama menjadi contoh bagaimana menyusun arsip bacaan. Eka dengan gaya penulisan blog dan Noer-Ahmad dengan gaya metodologisnya. Seperti penjelajah masa lalu, menyusun dokumentasi buku sama halnya seperti menyusun peta buta dan menandai tempat-tempat yang sudah dikunjungi. Dengan begitu, kita tahu ke arah mana lagi harus memperluas wilayah jelajah. Tertantang? (LITBANG KOMPAS)