Pentingnya Memahami Zonasi Risiko Covid-19
Meski penetapan berkala zonasi risiko Covid-19 belum efektif, hal ini bisa menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk mengevaluasi penyebaran virus korona.
Zonasi risiko Covid-19 menginformasikan tingkat penyebaran virus baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Informasi berkala ini seharusnya dapat dijadikan pedoman untuk mengantisipasi lonjakan kasus di setiap daerah.
Pengumuman Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentang pengetatan pembatasan sosial berskala besar mulai 14 September 2020 mengejutkan banyak pihak. Satu di antaranya, sejumlah pemerintah daerah, seperti Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta, mulai mewaspadai masuknya gelombang pemudik untuk mengantisipasi penularan Covid-19 yang dibawa pemudik dari zona merah Ibu Kota.
Pemkab Gunung Kidul melakukan koordinasi dengan organisasi perangkat daerah (OPD). Selain harus karantina mandiri, setiap pemudik didata melalui Sistem Informasi Desa (SID) untuk dipantau perkembangan kesehatannya. Sementara di Kota Yogyakarta, Wakil Wali Kota Heroe Poerwadi mengingatkan, pemudik dari DKI Jakarta harus mengantongi surat keterangan bebas Covid-19.
Tidak hanya di Yogyakarta, kebijakan serupa juga ditemukan di Kabupaten Banyumas. Pemkab setempat bahkan kembali mengaktifkan lokasi karantina bagi semua pemudik baik di sejumlah desa maupun di GOR Satria, Purwokerto. Sebelumnya, antisipasi ini juga pernah dilakukan Pemkab Banyumas ketika menghadapi pemudik menjelang Lebaran pada Mei lalu.
Upaya yang dilakukan sejumlah pemda tersebut sangatlah baik. Namun, perlu diingat bahwa zona merah tidak hanya ada di DKI Jakarta. Menurut data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, hingga 6 September 2020, ada 70 kabupaten/kota yang termasuk dalam zona merah. Selain DKI Jakarta, zona dengan risiko tinggi ini juga ditemukan di 18 provinsi lain di Indonesia.
Jika ditengok dari proporsinya, persentase jumlah kabupaten/kota zona merah terbanyak justru ada di Bali (88,9 persen). Dari total sembilan kabupaten/kota di Bali, delapan di antaranya merupakan zona merah. Sementara DKI Jakarta ada di peringkat kedua dengan persentase 66,7 persen, disusul Riau (50 persen), Kalimantan Timur (50 persen), Kalimantan Selatan (46,2 persen), Banten (37,5 persen), Kepulauan Riau (28,6 persen), dan Kalimantan Tengah (28,6 persen).
Wilayah berzona merah sebaiknya melakukan pembatasan mobilitas keluar masuk warganya. Jika tidak diberlakukan, potensi penularan Covid-19 di daerah tujuan masih tetap ada. Namun, sejak pemerintah pusat memberlakukan adaptasi kebiasaan baru awal Juni lalu, pembatasan mobilitas itu secara bertahap dilonggarkan.
Baca juga : Merunut Pola Penyebaran Covid-19 di Jakarta
Zonasi risiko
Zonasi risiko daerah ini dibuat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang kini bernama Satgas Penanganan Covid-19. Zonasi risiko tersebut terbagi dalam empat level kriteria. Setiap level dibedakan berdasarkan warna sebagai indikator kategori risiko Covid-19 sesuai tingkat penyebarannya. Selain merah, ada juga zona oranye, kuning, dan hijau.
Suatu daerah masuk kategori zona hijau atau tidak terdampak jika tidak ditemukan kasus positif meski risiko penyebaran Covid-19 tetap ada dan terkontrol di tempat-tempat isolasi. Sementara daerah zona kuning atau risiko rendah penyebaran virus dapat terkendali, tetapi tetap ada kemungkinan transmisi, seperti dari kasus dari luar daerah dan tingkat rumah tangga.
Sementara di daerah zona oranye atau risiko sedang, transmisi lokal hingga kasus dari luar daerah kemungkinan dapat terjadi dengan cepat dan berpotensi sulit dikendalikan. Terakhir, zona merah atau zona risiko tinggi berarti penyebaran Covid-19 tidak terkendali. Transmisi lokal sudah terjadi dengan cepat, wabah menyebar luas, dan banyak muncul kluster baru.
Baca juga : Fase Awal Kluster-kluster Covid-19
Predikat zonasi risiko daerah ini dapat berubah sesuai dengan perkembangan skor indikator yang digunakan tim pakar satgas nasional di setiap analisisnya. Total terdapat 15 indikator utama kesehatan masyarakat yang terdiri dari 11 indikator epidemiologi, 2 indikator surveilans kesehatan masyarakat, dan 2 indikator pelayanan kesehatan.
Secara rinci, indikator epidomologi itu di antaranya penurunan jumlah kasus positif selama dua minggu dari puncak, penurunan jumlah kasus ODP dan PDP yang dirawat di rumah sakit selama dua minggu, kenaikan jumlah sembuh dari kasus positif, penurunan angka kematian per 100.000 penduduk, serta angka produksi efektif (Rt) kurang dari 1.
Indikator surveilans kesehatan masyarakat, antara lain, mencakup peningkatan jumlah pemeriksaan spesimen selama dua minggu dan tingkat positivity rate kurang dari 5 persen. Sementara indikator dalam pelayanan kesehatan antara lain jumlah tempat tidur di ruang isolasi rumah sakit rujukan mampu menampung lebih dari 20 persen jumlah pasien positif.
Berdasarkan analisis skor dan pembobotan belasan indikator itu, setiap daerah akan memiliki hasil yang berbeda-beda. Daerah dengan skor 0 hingga 1,8 akan masuk ke dalam zona merah. Skor 1,9 hingga 2,4 masuk dalam zona oranye. Skor 2,5 hingga 3,0 masuk zona kuning. Terakhir, suatu daerah masuk zona hijau jika tidak tercatat kasus Covid-19 positif selama dua minggu terakhir.
Baca juga : Waspadai Lonjakan Kasus Covid-19 di Daerah
Fluktuasi
Dalam rentang waktu 2,5 bulan ke belakang, jumlah kabupaten dan kota zona merah terus mengalami fluktuasi. Jumlah terbanyak ditemukan pada hasil analisis 31 Mei 2020, yaitu 108 kabupaten/kota atau 21 persen dari total kabupaten/kota di Indonesia. Diketahui dalam kurun dua minggu sebelum tanggal itu ada hari raya Idul Fitri pada 23-24 Mei yang erat dengan tradisi silaturahmi.
Selain itu, peningkatan jumlah zona merah juga terjadi dua hingga tiga pekan terakhir. Berdasarkan hasil analisis tanggal 23 Agustus, baru terdapat 32 kabupaten/kota zona merah (6,2 persen). Namun, angka ini meningkat menjadi 65 daerah pada 30 Agustus dan bertambah lagi menjadi 70 daerah pada 6 September.
Namun, di balik melonjaknya daerah yang masuk zona merah, fluktuasi tersebut turut dibarengi keberhasilan sejumlah daerah memperbaiki posisi zonasi risikonya. Catatan Satgas Penanganan Covid-19, pada 6 September ada 39 kabupaten/kota yang berhasil melakukan hal itu. Dibandingkan 30 Agustus lalu, ada satu daerah dari zona oranye menjadi zona hijau, yaitu Kabupaten Mamberamo Tengah, Papua.
Sebanyak 24 daerah juga berubah dari zona merah menjadi oranye, seperti Kabupaten Nagan Raya, Aceh; Kudus, Jawa Tengah; Tuban, Jawa Timur, dan Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Ada juga 14 daerah beralih dari zona oranye ke kuning, seperti Gayo Lues, Aceh; Tapanuli Selatan, Sumatera Utara; Kapuas Hulu, Kalimantan Barat; dan Konawe Utara di Sulawesi Tenggara.
Baca juga : Risiko Penyebaran Covid-19 Meluas
Kondisi ini terwujud karena ketegasan pemerintah setempat yang patut mendapat apresiasi. Contohnya, kebijakan di Kota Kendari melalui Surat Edaran Wali Kota Nomor 433.1/2992/2020. Dalam SE ini diatur adanya jam malam mulai pukul 22.00 hingga 04.00 Wita yang melarang warga beraktivitas di luar rumah. Bagi warga yang melanggar, akan dilakukan kegiatan pembinaan oleh kepolisian, TNI, dan satpol PP.
Hal serupa juga diterapkan di Kabupaten Tuban. Kecuali apotek dan SPBU, jam malam diberlakukan bagi semua kegiatan usaha yang diwajibkan tutup pukul 21.00. Bagi pelanggar akan dikenakan denda Rp 300.000 atau bisa juga pencabutan izin usaha. Sementara bagi masyarakat umum, razia masker lebih digalakkan aparat hukum dengan sanksi bagi yang melanggar menyapu jalan raya.
Upaya yang dilakukan Kota Kendari dan Kabupaten Tuban di atas merupakan contoh yang baik untuk mengendalikan penyebaran virus di dalam wilayah. Semua itu tidak lepas dari kesigapan pemda dalam melihat perkembangan kondisi zonasi risiko Covid-19 di daerah masing-masing. Adanya peraturan yang tepat dan tegas terbukti dapat memperbaiki zonasi risikonya.
Namun, selain itu, perlu juga diperhatikan adanya arus pendatang dari daerah lain dengan zona risiko lebih buruk. Apa yang dilakukan Kabupaten Gunung Kidul, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Banyumas sudah sangat baik. Namun, selama pandemi ini belum usai, alangkah baiknya hal semacam itu terus rutin diberlakukan untuk mencegah penularan virus dari luar wilayah.
Meski sejumlah ahli menyebutkan zonasi wilayah belum sepenuhnya efektif, informasi berkala ini tetap dapat menjadi data yang berharga. Setidaknya ini dapat menjadi pedoman bagi setiap pemda untuk mengevaluasi kondisi penyebaran virus di daerah masing-masing. Hal ini sekaligus juga mencegah penularan virus yang dibawa para pendatang dari daerah zona risiko tinggi. (LITBANG KOMPAS)