Tantangan Berat Partisipasi Pilkada di Tengah Pandemi
Pelaksanaan pilkada bergantung pada kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Jika keseriusan penanganan wabah ini diragukan, bukan tidak mungkin pemilih ragu untuk datang ke TPS nanti.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·6 menit baca
Meski ditekan oleh banyak pihak, pemerintah memutuskan pilkada tetap dilaksanakan sesuai jadwal pada 9 Desember mendatang. Salah satu tantangan berat yang harus dihadapi adalah soal tingkat partisipasi publik. Pengalaman negara lain memperlihatkan sulitnya menjaga tingkat partisipasi publik di tengah pandemi.
Kompas/Wawan H Prabowo
Warga memberikan hak suaranya dalam kegiatan simulasi pemungutan suara pilkada serentak 2020 di kawasan Cilenggang, Serpong, Tangerang Selatan, pada Sabtu (12/9/2020). Melalui kegiatan tersebut, Komisi Pemilihan Umum ingin memastikan efektivitas penerapan protokol kesehatan di tempat pemungutan suara dalam penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi Covid-19.
Dalam sebuah konferensi pers pada 21 September lalu, Fadjroel Rachman, Juru Bicara Presiden, menyatakan, keputusan pilkada yang tetap digelar itu diambil untuk menjaga hak konstitusi rakyat. Selain itu, ia juga menyatakan, pemilu pada masa pandemi tidak mustahil untuk dilakukan.
Fadjroel membeberkan, sejumlah negara, seperti Singapura, Jerman, Perancis, dan Korea Selatan, menyelenggarakan pemilu di tingkat daerah, bahkan hingga tingkat nasional. Menurut pemerintah, hanya satu kunci menyelenggarakan pemilu di kala pandemi, yakni taat protokol kesehatan.
Pernyataan di atas memang tidak sepenuhnya salah. Menurut laporan dari International Institute for Democracy and Election Assistance (International IDEA) bertajuk ”Global Overview on the Impact of Covid-19 on Elections”, dua dari tiga negara yang dijadwalkan menyelenggarakan pemilu pada tahun 2020 memutuskan untuk menunda agenda politik tersebut. Namun, masih ada lebih dari 30 negara yang tetap kukuh menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi.
Banyaknya negara yang menunda pemilu, bahkan hingga waktu yang tidak ditentukan, bukanlah tanpa alasan. Sebagian besar dari negara-negara tersebut merasa bahwa memaksakan pemilu merupakan langkah gegabah yang membahayakan nyawa masyarakatnya.
Sebagian lain berpikiran bahwa pemilu akan menjadi terlalu berat dari segi biaya hingga masalah teknis pelaksanaan yang menyedot banyak sekali sumber daya manusia. Belum lagi persoalan penyediaan serta penyaluran logistik pemilu, skema pengawasan pemilu, proses kampanye, dan mobilisasi pemilih.
Partisipasi publik
Salah satu masalah yang perlu diamati dengan serius ialah persoalan mobilisasi pemilih. Sebab, dengan buruknya mobilisasi yang berujung pada rendahnya partisipasi publik, pemilu akan kehilangan legitimasinya. Ujungnya, kualitas pilkada dan demokrasi Indonesia-lah yang akan dipertaruhkan.
Hal ini terlihat dari pengalaman negara-negara lain yang juga kukuh melaksanakan agenda pemilu mereka di tengah pandemi. Memang, beberapa negara, seperti Polandia, Singapura, dan Korea Selatan, mendulang kesuksesan dalam hal partisipasi publik ketika menyelenggarakan pemilu pada April dan Juli lalu. Alih-alih menurun, tingkat partisipasi publik untuk menyalurkan suaranya pada pemilu di kedua negara tersebut justru meningkat.
REUTERS/KIM HONG-JI
Tempat pemungutan suara dalam pemilu Korea Selatan, Rabu (15/4/2020).
Salah satu negara yang merasakan peningkatan tajam partisipasi publik dalam pemilu ialah Polandia. Negara yang melaksanakan pemilu pada akhir Juni lalu itu menikmati lonjakan partisipasi dalam pemilu hingga lebih dari 17 persen, dari 50,9 persen pada pemilu 2015 menjadi 68,2 persen pada 2020. Selain Polandia, Korea Selatan serta Singapura juga menikmati kenaikan angka partisipasi pemilu sebesar 8,2 persen dan 2,1 persen.
Hal sebaliknya terjadi pada beberapa negara lain yang mengadakan pemilu. Di negara-negara itu, partisipasi publik dalam pemilu anjlok akibat pandemi Covid-19. Iran menjadi salah satu negara yang menderita penurunan angka partisipasi pemilu yang paling drastis. Partisipasi pemilu legislatif yang diadakan pada 21 Februari lalu itu berada di angka 42,3 persen. Capaian tersebut jauh di bawah angka partisipasi pemilu legislatif Iran pada 2016 yang berada di kisaran 60 persen.
Setelah Iran, Perancis juga menjadi salah satu negara dengan penurunan partisipasi pemilu yang parah. Dari beberapa pilkada yang diselenggarakan oleh negara itu pada masa pandemi, diketahui bahwa tingkat partisipasi publik berada di angka 40 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan masa pilkada sebelumnya dengan tingkat partisipasi publik 52 persen. Selain kedua negara di atas, beberapa negara lain, seperti Belarus dan Serbia, juga mengalami penurunan tingkat partisipasi pemilu meski tidak terlalu parah.
Kasus menarik terjadi pada pemilu pendahuluan di Amerika Serikat. Berdasarkan studi National Bureau of Economic Research AS, keseriusan pemerintah dalam menangani Covid-19 menjadi salah satu kunci dalam menjaga partisipasi publik dalam pemilu ketika pandemi.
Sebagian besar dari negara-negara tersebut merasa bahwa memaksakan pemilu merupakan langkah gegabah yang membahayakan nyawa masyarakatnya.
Studi itu melakukan perbandingan kabupaten-kabupaten di AS yang memiliki jumlah pemilih pada pemilu pendahuluan (primaries) di atas jumlah rata-rata pemilih di tingkat negara bagian dengan kabupaten yang memiliki jumlah pemilih di bawah rerata tersebut.
Hasilnya, kabupaten dengan jumlah pemilih yang lebih tinggi daripada rerata di tingkat negara bagian memiliki jumlah tes yang lebih banyak, hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kabupaten yang jumlah pemilihnya rendah. Penelitian di atas juga menemukan bahwa pertambahan 100 pemilih dapat dikaitkan dengan peningkatan rasio tes positif sekitar 0,4 persen.
Hal ini dapat dilihat dari kasus pemilu pendahuluan di Negara Bagian Nevada dan Wisconsin. Angka partisipasi pemilih pada pemilu pendahuluan di Nevada mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada 2020, angka partisipasi pemilih di negara bagian tersebut sebesar 36 persen. Capaian tersebut merupakan perbaikan yang cukup signifikan dibandingkan dengan angka partisipasi pemilih pada tahun 2016 yang sebesar 27 persen.
JOHN HART/WISCONSIN STATE JOURNAL VIA AP
Pemilih di kota Dunn, Wisconsin, memeriksa surat suara dalam pemilihan pendahuluan, Selasa (7/4/2020). Sejumlah negara bagian AS tetap menyelenggarakan pemilihan pendahuluan yang merupakan bagian dari proses pemilu dengan puncak pada 2020. Sementara 17 negara bagian menunda pemungutan pendahuluan karena khawatir terhadap pandemi Covid-19.
Hal sebaliknya terjadi di Negara Bagian Wisconsin. Partisipasi pemilu pendahuluan di negara bagian tersebut merosot cukup tajam di angka 34 persen. Padahal, pada pemilu pendahuluan sebelumnya tahun 2016, angka partisipasi pemilu di negara bagian tersebut mencapai 47 persen atau 13 persen lebih tinggi.
Hasil temuan studi dari National Bureau of Economic Research AS menjadi nyata ketika kita melihat kasus di kedua negara bagian tersebut. Jika dibandingkan, jumlah tes Covid-19 di Nevada dengan rasio 322.000 per 1 juta populasi memang lebih baik dibandingkan dengan jumlah tes di Wisconsin yang memiliki rasio tes sebesar 249.000 per 1 juta populasi. Dari situ, asumsi bahwa semakin banyak tes akan meningkatkan partisipasi publik dalam pemilu terbukti benar.
Refleksi bagi Indonesia
Serangkaian perbandingan partisipasi pemilu di sejumlah negara di atas perlu untuk dilihat lebih mendalam serta dijadikan bahan refleksi bagi Indonesia. Pertama, kesuksesan pemilu yang dicerminkan tingginya angka partisipasi publik dapat dicapai apabila situasi pandemi telah dapat dikendalikan.
Hal ini terlihat dari kasus Korea Selatan. Di sana, pemilu dilakukan ketika rerata mingguan pertumbuhan kasus (7-days moving average) berhasil ditekan di bawah 30 kasus, jauh di bawah masa puncak penyebaran Covid-19 di negara itu selama Februari yang mencapai rerata 600 kasus.
Selain itu, pemerintah juga perlu menyediakan alternatif pemilihan selain melalui pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS). Polandia dan Negara Bagian Nevada di AS menjadi contoh bagaimana pemanfaatan pos terbukti berhasil meningkatkan partisipasi publik pada pemilu di tengah pandemi. Bahkan, di Nevada, lebih dari 98 persen warganya memilih melalui pos.
Selain dapat menjaring lebih banyak pemilih, cara ini juga menjadi jurus ampuh dalam menyiasati agar TPS tidak terlalu penuh pada saat pemilihan. Selain pemilihan pos, cara lain, seperti mengadakan pemilu di tanggal atau jam berbeda, juga bisa menjadi opsi yang baik untuk menghindari kerumunan di TPS dan menggenjot angka partisipasi pemilih.
Apabila kedua hal di atas saja tak dapat dilakukan, besar kemungkinan pemilu akan terselenggara dengan buruk. Negara-negara yang hanya mengandalkan slogan ”dengan menerapkan protokol kesehatan” terbukti tidak mampu menghasilkan pemilu yang berkualitas, seperti pada kasus di Iran dan Perancis.
Kompas
Partisipasi Publik dalam Pemilu Saat Pandemi
Jika dilihat lebih jauh, panduan pemilu pada kedua negara tersebut memang hanya sebatas pada protokol masker, cuci tangan, dan jaga jarak saja. Jauh lebih tidak detail dibandingkan peraturan pemilu yang dibuat oleh Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia.
Pada akhirnya, kesuksesan pemilu di tengah pandemi bergantung pada seberapa serius pemerintah menangani Covid-19. Logikanya, semakin serius pemerintah menangani pandemi, masyarakat yang hendak memilih pun percaya akan keselamatannya ketika memilih di TPS.
Selain itu, apabila kukuh untuk tetap mengadakan pemilihan umum, pemerintah juga dituntut untuk kreatif dalam mencari alternatif cara pemilihan. Jika tidak, bukan hanya pemilu yang dilaksanakan tidak berkualitas, nyawa masyarakat yang terpaksa memilih di tengah pandemi pun dipertaruhkan. (LITBANG KOMPAS)