Jangan Ada Canda di Antara Gagap
Orang gagap berbicara kerap kali menjadi bahan untuk bercanda. Padahal, mereka mengalami hambatan bicara serius yang bisa menjadi beban seumur hidup.
Insani Silmi (25) menderita gagap sejak kelas I SD. Ketika sadar akan ini, orangtuanya tak bisa berbuat banyak karena ketidaktahuan mereka.
Gagap yang dialami Silmi berlanjut hingga dia kuliah. ”Banyak pengalaman perlakuan tidak menyenangkan dan ini memberikan tekanan pada psikis, sosial, dan kepercayaan diri,” ujar Silmi.
Untunglah, Silmi terbantu mengatasi problem itu ketika ia mulai berani membuka diri mengutarakan kendala bicara yang dialaminya. Pihak kampus memberikan dukungan saat Silmi harus mempresentasikan skripsinya.
Sebelumnya, Silmi pernah mencoba hipnoterapi untuk memperbaiki kondisi ini, tetapi tidak diteruskan karena biayanya mahal. Pihak penyedia terapi pun tidak banyak membantu karena tidak menerapkan standar prosedur dengan tepat.
Silmi tidaklah sendirian. Problem gagap bicara juga dialami sebagian penduduk Indonesia. Namun, gangguan bicara ini kerap kali dianggap sebagai hal lucu yang layak ditertawakan. Gangguan bicara gagap muncul di tayangan sinetron, reality show, atau komedi situasi dan dianggap menjadi tontonan hiburan.
Populasi gagap
Belum banyak orang memahami, di balik gagap berbicara ada sebuah persoalan besar. Jika tak teratasi, masalah itu bisa terus menghantui hidup seseorang.
Walaupun begitu, ada juga orang yang menyadari seriusnya masalah gagap ini. Pada April 2004, Surat Pembaca Kompas memuat keluhan seorang ibu atas tayangan sebuah sinetron yang menyebabkan anaknya meniru gaya bicara gagap. Ibu tersebut meminta agar pengelola acara itu tidak mengada-ada dan mengekspos masalah disabilitas seseorang (Kompas, 11/4/2004).
Populasi manusia dengan gangguan bercakap atau lebih populer dengan istilah gagap diperkirakan akan terus meningkat. Jumlahnya bisa mencapai 450 juta orang pada 2040, merujuk penelitian Ehud Yairi, ahli patologi bicara dan audiologi dari Universitas Illinois, Amerika Serikat.
Dengan perkiraan angka insidensi 5 persen dan prevalensi 1 persen, kini ada sekitar 360 juta penduduk dunia yang mengalami gangguan bercakap. Kondisi ini terjadi baik di negara-negara maju maupun berkembang.
Dalam kondisi demikian, para penderita gagap belum mendapatkan penanganan optimal. Negara maju, seperti Amerika Serikat, tercatat baru mampu menyediakan tenaga medis bagi penderita gagap dengan rasio 439 orang berbanding 1 juta penduduk.
Rasio itu menunjukkan, satu tenaga medis di AS harus menangani 2.278 penderita gagap. Bahkan, di India, rasio tersebut mencapai 1 berbanding 625.000 penderita gagap.
Blokade bahasa
Lazim disebut stuttering atau stammering, gagap adalah masalah ketidaklancaran bicara dalam bentuk pengucapan kata dan aliran kalimat yang dialami anak-anak hingga dewasa.
Biasanya hal ini diikuti dengan mata berkedip, dahi berkerut, tangan mengepal, bibir atau rahang gemetar, dan rasa tegang selama berkomunikasi. Ini semua bisa semakin parah jika penderita mengalami stres berat, lelah, terlalu girang, atau hilang percaya diri.
Gejalanya bisa berupa pengucapan, pengulangan, pemanjangan, blokade bagian kata (huruf tertentu), atau keragu-raguan dalam mengucapkan sesuatu (kata atau kalimat).
Contohnya, ”sssayya, mmau mmma... makan nnn naaasi goreng”. Tidak jarang penderita diam sebentar untuk ”menyiapkan” kata tertentu atau bergumam ”emm...” jika kesulitan melanjutkan kalimat.
Menurut laporan ”Public Attitudes in Asia Toward Stuttering” (2020), beberapa negara dengan angka prevalensi (gagap) 0,5-2,5 persen adalah Amerika Serikat, Belgia, India, Iran, dan Jepang. Adapun di Asia, angkanya berkisar 1-1,5 persen.
Sejumlah tokoh dunia pun pernah tercatat mengalami gagap. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya Isaac Newton, Aristoteles, Winston Churchill, dan Emily Blunt. Joe Biden, bakal calon presiden AS yang kini bersaing ketat dengan Donald Trump, juga pernah mengalami hal ini.
Baca juga: Gagap Parah di Masa Kecil, Biden Berbagi Cara Mengatasinya
Penyebab gagap
Penyebab gagap tak hanya sebatas faktor genetis, tetapi juga psikologis. Gagap bisa disebabkan peristiwa traumatis di masa lalu atau stressor kehidupan.
Kondisi jumlah penderita tersebut biasanya dilihat dalam dua aspek. Pertama, anak-anak kelompok usia prasekolah (2 sampai 5 tahun) yang relatif bisa ”sembuh” atau normal. Kedua, sebagian dari kelompok ini akan terus mengalaminya.
Banyak faktor penyebab gangguan ini. Secara garis besar, ada dua tipe gangguan yang bisa mengakibatkan seseorang menjadi gagap bicara.
Pertama adalah gangguan pada masa perkembangan (developmental stuttering) dan neurogenik. Tipe pertama, menurut laman idai.or.id, terjadi pada masa kanak-kanak. Mereka belajar berbahasa pada usia 3 sampai 5 tahun dan akan normal dalam waktu sekitar enam bulan hingga usia sekolah.
Gagap di masa kecil juga bisa juga berlanjut hingga dewasa. Penyebab pastinya hingga kini masih terus diteliti.
Dari berbagai riset, masalah ini kerap dikaitkan dengan faktor keturunan (gen) dari keluarga penderita yang nyatanya memang banyak terjadi. Sedangkan tipe neurogenik biasanya merupakan kelainan di otak yang terkait fungsi organ bicara. Pencetusnya bisa karena cedera atau trauma pada kepala ataupun stroke.
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan, gagap disebabkan koneksi yang lemah pada beberapa bagian otak. Bagian otak tersebut bertanggung jawab untuk fungsi pendengaran dan gerakan dalam berbicara.
Sebelumnya, para ahli juga banyak mengkajinya dari sisi peran hormon dopamine dan peran lisosom. Hormon tersebut adalah organ dalam sel yang berfungsi mencerna senyawa karbohidrat dan protein.
Menurut dr Lahargo Kembaren, psikiater dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKI), kasus gagap tak melulu karena faktor genetis. Gagap bisa terjadi akibat kondisi yang kompleks.
Kondisi tersebut bisa berupa peristiwa traumatis di masa lalu, seperti konflik yang tidak terselesaikan, harapan yang tak tercapai, kekecewaan, atau pola relasi yang tidak baik dengan masyarakat sepanjang kehidupan. Selain itu, bisa juga stresor kehidupan yang berat, antara lain pola asuh orangtua, norma masyarakat, dan lingkungan.
Mengunyah kerikil
Riwayat penanganan gangguan bicara ternyata sudah berlangsung sejak ribuan tahun silam. Sekitar tahun 320 SM pada zaman Yunani kuno, dikisahkan cara mengatasinya adalah dengan berpidato sambil mengunyah kerikil.
Sejumlah terapi ekstrem juga pernah dilakukan sejak abad ke-6, misalnya membedah atau memodifikasi ukuran lidah hingga memasang alat mirip garpu di samping lidah. Ada juga pendapat bahwa hal ini disebabkan oleh kejang pada glottis (celah suara yang berfungsi dalam vokalisasi).
Sejalan dengan kemajuan zaman, tentu saja cara-cara semacam itu tak lagi diterapkan pada penderita gagap. Ada beberapa terapi untuk mengalami masalah tersebut. Menurut dr Lahargo Kembaren, terapi yang dapat dilakukan antara lain mengatur pola hidup yang sehat, psikoterapi, atau terapi bicara.
Cara lain yang juga bisa dilakukan adalah rehabilitasi psikososial, stimulasi gelombang elektromagnetik, hingga latihan gelombang otak. ”Yang jelas faktor psikologis memang berperan besar dan ini juga menjadi faktor untuk memulihkan masalah gagap,” ujar psikiater di RS Dr H Marzoeki Mahdi, Bogor, ini.
Melawan stigma
Walaupun penanganan penderita gagap sudah sedemikian maju, tidak banyak orang memahami hal ini. Gagap masih kerap dipersamakan dengan hal memalukan yang tak perlu diketahui orang. Bahkan, ada juga anggapan bahwa gagap adalah bagian dari gangguan jiwa.
Riset Haryani, dkk berjudul ”Public Attitudes in Asia Toward Stuttering: A Scoping Review” yang dipublikasikan The Open Public Health Journal, September 2020, merinci anggapan tentang stigma gagap di sejumlah negara.
Gagap dianggap sebagai bagian dari disebilitas. Dalam budaya Yunani, Arab, dan China, masyarakat akan mengurangi harapan anak-anak dengan disabilitas untuk bersekolah, bermain dengan anak-anak di lingkungan sekitar, dan diikutsertakan dalam kegiatan keluarga.
Sebagian masyarakat India percaya bahwa menyembunyikan anak penyandang disabilitas, termasuk gagap, dari pandangan publik adalah tepat karena disabilitas merupakan cerminan dari seluruh keluarga.
Hal serupa terjadi di Indonesia. Tak sedikit anak-anak yang akhirnya dijauhkan dari sekolah, tempat bermain, dilarang bersosialisasi, dan mendapatkan perundungan.
Baca juga: Satu dari Dua Anak di Dunia Mengalami Kekerasan
Tak bisa dimungkiri, perlakuan yang dialami penderita gagap tak lepas dari minimnya informasi. Hal ini terjadi juga di Indonesia. Informasi tentang gagap hanya tertulis sekilas dalam Penuntun Hidup Sehat (2010) dan Perilaku Berisiko Kesehatan pada Pelajar SMP dan SMA di Indonesia (2015). Sementara Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2020-2024 tidak menyinggung persoalan gagap.
Dalam Riset Kesehatan Dasar tahun 2013-2018, ada indikasi bahwa gagap terkait dengan masalah disabilitas kelompok anak usia 5-17 tahun dalam masalah komunikasi. Namun, publikasi ini pun tidak memberikan penjelasan lebih terinci tentang kelancaran berbahasa. Padahal, jika dipahami sejak dini, gagap bisa disembuhkan.
Penderita gagap pun tidak sepatutnya diabaikan. Mereka tetap berhak atas semua aspek hidup yang sama sebagai manusia. Hak-hak inilah juga diingatkan pada ”International Stuttering Awareness Day” tanggal 22 Oktober lalu. Insani Silmi kini turut berjuang di dalamnya, menjadi wakil ketua komunitas ini.
Komunitas ini menjadi wadah bagi penderita gagap untuk saling menyemangati dan berbagi pengetahuan tentang cara mengendalikan serta mengurangi gagap. Para penderita hambatan berbicara ini akhirnya mengupayakan sendiri untuk menggugah kesadaran masyarakat agar jangan ada lagi canda di antara gagap.
(LITBANG KOMPAS)