Perkembangan teknologi digital turut membawa praktik kekerasan terhadap perempuan bertransformasi ke ranah daring. Seruan melindungi perempuan dari kekerasan virtual harus didukung regulasi yang kuat.
Oleh
Andreas Yoga Prasetyo
·5 menit baca
Perkembangan teknologi digital turut membawa praktik kekerasan terhadap perempuan bertransformasi ke ranah daring. Seruan melindungi perempuan dari kekerasan virtual harus didukung regulasi yang kuat.
Di Indonesia, fenomena kekerasan daring terhadap perempuan terekam dari pengaduan yang diterima LBH Apik sepanjang Maret-November 2020. Dari 710 pengaduan yang diterima, sebanyak 196 di antaranya merupakan kekerasan berbasis jender online. Kekerasan ini merupakan yang terbanyak kedua yang diadukan setelah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.
Survei global tentang pengalaman perempuan menghadapi kekerasan dan pelecehan daring yang dilakukan Web Foundation dan World Association of Girl pada Februari 2020 menemukan fenomena tersebut. Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet menyebutkan, kekerasan berbasis jender online atau KBGO merupakan kekerasan yang difasilitasi teknologi dan memiliki niatan melecehkan korban berdasarkan jender atau seksual.
Ranah kekerasan dan pelecehan daring terhadap perempuan (online violence and abuse against women), menurut Amnesty International, adalah semua jenis tindakan kekerasan dan pelecehan yang menciptakan lingkungan daring yang tidak bersahabat dengan tujuan mempermalukan, mengintimidasi, atau merendahkan perempuan.
Tindakan tersebut dapat dikelompokkan dalam enam kategori ,yaitu ancaman kekerasan, diskriminasi, pelecehan daring, mengungkap dokumen pribadi (doxxing), menyebarkan gambar seksual, serta membagikan gambar pribadi tanpa persetujuan orang yang bersangkutan.
Sebanyak 52 persen perempuan, termasuk remaja perempuan, di 183 negara yang disurvei pernah mengalami kekerasan online. Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami adalah penyebaran foto/video pribadi tanpa persetujuan mereka. Kasus-kasus lain adalah mendapat pesan kasar/memalukan, memperoleh bahasa yang mengancam, serta pelecehan seksual.
Pandemi bayangan
Badan PBB untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) dalam laporannya pada April 2020 menyoroti lingkungan digital dan perkembangan teknologi yang turut memfasilitasi kekerasan daring terhadap perempuan dan anak perempuan selama Covid-19.
Munculnya kekerasan daring ini, dilihat UN Women, sama bahayanya dengan kekerasan langsung dalam dunia nyata. Tindakan kekerasan terhadap perempuan, baik daring maupun luring, disebut sebagai pandemi bayangan yang tumbuh di tengah krisis Covid-19.
Kekerasan di dunia maya ini setidaknya dapat dilihat dari tiga faktor. Pertama, mudahnya kekerasan daring terjadi. Komunikasi virtual telah mendorong kekerasan meluas ke daring yang memudahkan membuat perempuan menjadi sasaran utama.
Di Amerika Serikat, dua dari sepuluh wanita muda berusia 18-29 tahun telah dilecehkan secara seksual secara daring. Bentuk pelecehan yang paling banyak adalah mendapat kiriman gambar/foto yang merendahkan martabat perempuan. Kasus lain, sebanyak 15 persen perempuan di Perancis juga mengungkapkan telah mengalami beberapa bentuk pelecehan dunia maya. Sementara di Pakistan, sebanyak 40 persen wanita pernah menghadapi berbagai bentuk pelecehan di internet.
Faktor berikutnya adalah jenis kekerasan yang makin meluas. Kekerasan daring tidak lagi sekadar penyebaran gambar atau video tanpa persetujuan, teetapi dapat mencakup ke kasus penindasan daring, memancing emosi (trolling), penguntitan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, penghinaan, hingga pencurian serta peretasan identitas pribadi.
Faktor ketiga bahaya kekerasan daring adalah dampak yang ditimbulkan. Kekerasan daring menimbulkan akibat yang tidak bisa dianggap remeh karena melibatkan multi efek yang sangat merugikan. Praktik kekerasan daring dapat mengakibatkan kerugian fisik, seksual, psikologis, ekonomi, serta mengikis harga diri. Beberapa perempuan bahkan meninggalkan dunia digital setelah mengalami kekerasan.
Beberapa perempuan bahkan meninggalkan dunia digital setelah mengalami kekerasan.
Ujung dari tindakan-tindakan kekerasan daring tersebut adalah terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Padahal, penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan merupakan salah satu perjanjian hak asasi internasional yang diisiasi PBB melalui Konvensi CEDAW pada 1979. Komitmen lain tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) yang menyerukan untuk mengeliminasi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan pada ruang publik dan pribadi.
Banyaknya ragam kekerasan daring memberikan gambaran rentannya kasus-kasus kekerasan yang dapat menimpa perempuan saat berada di lingkungan digital. Data The Telecommunication Development Sector (ITU-D) menunjukkan, pada 2019 terdapat sekitar 4 miliar penduduk dunia yang menggunakan internet. Dari jumlah itu, sebanyak 48 persen merupakan perempuan. Populasi perempuan yang mengakses internet ini berpotensi rentan mengalami kekerasan daring.
Di Indonesia, dari kasus-kasus kekerasan berbasis jender online yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan pada 2017, terdapat delapan bentuk jenis kekerasan daring. Kedelapan kategori tersebut adalah pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online, peretasan (hacking), konten ilegal, pelanggaran privasi, ancaman distribusi foto/video pribadi, pencemaran nama baik, dan perekrutan daring.
Keamanan digital
Perjuangan menghapus kekerasan terhadap perempuan ini perlu ditekankan mengingat tidak jarang penyintas perempuan juga mengalami kekerasan ganda, seperti ancaman pembunuhan, penculikan, atau pemerasan. Karena itu, dibutuhkan upaya kolektif global untuk menghentikan praktik kekerasan daring.
Gerakan memperjuangkan hak perempuan dan solidaritas terhadap penyintas kekerasan ini telah dimulai. Salah satu bentuk gerakan sosial muncul pada Oktober 2017 di Amerika Serikat berupa tagar #MeToo di media sosial. Dengan tagar itu, pengguna diajak mengecam tindakan kekerasan seorang produser film Hollywood yang terungkap sebagai agresor seksual.
Gaung solidaritas juga dimulai oleh UN Women pada 2015 lalu melalui kampanye ”Combatting Online Violence Against Women & Girls: A Worldwide Wake-Up Call”. Seruan membangunkan dunia ini bertujuan memobilisasi pemerintah, LSM, dan swasta untuk membangun strategi bersama membendung gelombang kekerasan online terhadap perempuan.
Kampanye perlindungan bagi kaum perempuan, antara lain, dilakukan melalui pelatihan menumbuhkan kesadaran keamanan digital. Perempuan diajak lebih peduli identitasnya dan menyadari batas-batas aman saat menggunakan media daring dan media sosial. Tindakan pencegahan dapat dilakukan, seperti tidak memposting foto/video yang berpotensi disalahgunakan oleh orang tidak bertanggung jawab.
Kaum perempuan juga perlu memahami sarana dan teknologi yang dapat digunakan membantunya agar aman beraktivitas di dunia daring. Misalnya, fasilitas di Instagram dengan fitur ”anti-intimidasi” dan ”batasi” untuk mencegah penyalahgunaan oleh pengguna.
Kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan daring di Indonesia, dilakukan dalam tema besar ”Gerak Bersama: Jangan Tunda lagi, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”. Melalui kampanye ini, upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat dan negara.
Dukungan ini diperlukan sebagai bentuk penguatan regulasi untuk melindungi perempuan dari tindak kekerasan di dunia maya. Secara khusus, Komnas Perempuan mendorong segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk mengatasi tindak kekerasan dan diskriminasi berbasis jender. Tanpa adanya aturan perundangan yang responsif, praktik kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan daring, akan terus menjadi pandemi bagi keamanan perempuan. (LITBANG KOMPAS)