Sejarah merekam penolakan publik pada vaksinasi bukan hal baru. Strategi unik dan menarik menjadi solusi untuk mengedukasi dan meyakinkan publik akan pentingnya berpartisipasi dalam program vaksinasi.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Kehadiran vaksin pernah dianggap sebagai jalan menolak takdir hingga menimbulkan kekhawatiran saat masyarakat Indonesia masih belum terbiasa dengan pengobatan modern. Namun, sebagian di antaranya berhasil diterima di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai pendekatan sosial dan budaya yang dilakukan oleh pemangku kebijakan. Mantri hingga karakter Si Unyil pernah memegang peranan penting dalam proses vaksinasi di Indonesia.
Posisi Indonesia yang terletak di jalur perdagangan internasional memang cukup rentan dalam penyebaran penyakit sejak beberapa abad silam. Hadirnya kota-kota pelabuhan yang menjadi titik temu antara pedagang dari Eropa dan Asia dengan pedagang lokal pada era kolonial turut berperan dalam sejumlah penyebaran penyakit.
Pada era pemerintahan Hindia Belanda, penduduk di Kepulauan Nusantara pernah berhadapan dengan penyakit cacar dan kolera yang menyebar pada sejumlah daerah perdagangan di Pulau Jawa. Masyarakat yang saat itu belum begitu mengenal pengobatan modern kerap kali mengaitkan penyakit ini dengan kepercayaan tradisional, seperti roh atau kutukan.
Pada suasana seperti itulah vaksin untuk pertama kali hadir di tengah-tengah masyarakat. Dapat ditebak, persinggungan antara kepercayaan tradisional dan langkah kesehatan modern menimbulkan pergulatan tersendiri antara pemerintah dan masyarakat dalam proses vaksinasi.
Pada penyakit cacar, misalnya, vaksin yang tiba di Indonesia pada awal abad ke-19 pernah ditolak oleh sebagian masyarakat di Pulau Jawa karena dinilai sebagai jalan menolak takdir. Bahkan, berita bohong juga tersebar untuk memengaruhi masyarakat agar tidak bersedia divaksinasi (Baha’ Uddin, 2006).
Sebagai solusi, pemerintah saat itu merekrut mantri cacar untuk melakukan vaksinasi. Kedekatan kultural antara masyarakat Jawa dengan mantri menjadi jalan pembuka penerimaan masyarakat terhadap vaksin. Hingga tahun 1860 terdapat 479.768 penduduk di Jawa dan Madura yang menerima vaksin cacar.
Selain cacar, vaksin juga digunakan untuk mengatasi penyebaran penyakit kolera pada awal abad ke-20. Penolakan dan rasa takut untuk menerima vaksin juga dirasakan oleh sejumlah masyarakat di Batavia saat itu.
Sebagai strategi untuk mempermudah vaksinasi, pemerintah kala itu memberi layanan vaksin dengan menggandeng pelajar STOVIA dan sejumlah mantri. Selain di rumah sakit, vaksinasi juga dilakukan pada beberapa klinik untuk memperluas jangkauan masyarakat. Upaya ini cukup membuahkan hasil. Hingga tahun 1914, sebanyak 64.756 penduduk di Batavia dan sekitarnya telah menerima vaksin kolera (Bek, 2017).
Polio
Memasuki periode kemerdekaan, respons beragam juga masih ditunjukkan oleh masyarakat di Indonesia terhadap vaksin. Menurut catatan arsip harian Kompas, ragam penolakan yang hadir di tengah-tengah masyarakat juga diiringi oleh sejumlah strategi dari pemerintah agar masyarakat bersedia divaksinasi.
Pada tahun 1980-an, polio pernah menjadi salah satu sorotan bagi dunia kesehatan di sejumlah negara. Pasalnya, polio menjadi satu dari enam penyakit utama penyebab kematian bagi anak-anak di bawah usia lima tahun pada negara-negara berkembang di dunia saat itu (Kompas, 7 Maret 1983).
Di Indonesia, polio coba diatasi dengan menerapkan gerakan massal imunisasi, khususnya di perdesaan. Selain melalui suntikan, vaksin oral juga diberikan dalam bentuk serbuk kepada bayi.
Akan tetapi, sejumlah respons negatif muncul dari sebagian masyarakat setelah sang anak menerima vaksin polio. Dokter atau mantri disalahkan karena kaki anak mengalami perubahan bentuk, seperti besar sebelah setelah diberi vaksin. Padahal, perubahan bentuk bagian kaki adalah dampak dari polio yang diderita oleh anak yang sebelumnya tidak diketahui oleh orangtua.
Selain itu, sejumlah anak mengalami demam setelah diberi vaksin. Hal ini membuat para orangtua enggan untuk membawa anak mereka ke puskesmas karena khawatir vaksin memberikan efek buruk bagi anak (Kompas, 20 Maret 1982).
Sebagai solusi, pemerintah saat itu gencar melakukan sosialisasi tentang vaksin polio dengan memanfaatkan media massa. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular di Departemen Kesehatan saat itu juga gencar memberikan sosialisasi tentang dampak yang ditimbulkan jika terlambat memberikan vaksin polio kepada anak.
Vaksinasi berikutnya yang juga menuai kekhawatiran dari masyarakat adalah campak pada lustrum pertama dekade 1980-an. Masyarakat saat itu khawatir dengan efek samping yang ditimbulkan akibat vaksin.
Campak menjadi penyakit yang dikhawatirkan penyebarannya pada sejumlah wilayah. Di Jayapura, misalnya, pada Juni 1982, sebanyak 10 orang pada kawasan transmigrasi, Kecamatan Arso, menderita campak. Kawasan itu baru dihuni oleh 150 jiwa transmigran kurang dari tiga bulan. Satu orang di antaranya meninggal karena menderita campak dan malaria (Kompas, 4 Juli 1984).
Untuk mencegah penularan campak, khususnya pada anak-anak, pemerintah saat itu mencoba melakukan sosialisasi secara masif kepada masyarakat agar bersedia divaksinasi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggunakan karakter Si Unyil dalam poster sosialisasi.
Poster itu disebar pada puskesmas dan pos penimbangan bayi di seluruh Indonesia dengan tulisan ”Mari kita bawa adik-adik bayi untuk diimunisasi”. Selain campak, poster itu juga menyuarakan pentingnya imunisasi untuk mencegah penyakit tetanus, batuk rejan, difteri, polio, dan TBC (Kompas, 2 Juli 1984).
Si Unyil saat itu memang menjadi pusat perhatian setelah serialnya ditayangkan di TVRI. Lagu ”Cis Kacang Buncis” dalam serial Si Unyil sudah cukup familiar oleh anak-anak pada sejumlah kota di Indonesia. Momen inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menarik perhatian masyarakat agar bersedia divaksinasi.
Memasuki periode reformasi, keberterimaan terhadap vaksin masih menjadi catatan tersendiri bagi dunia kesehatan di Indonesia. Sebagian masyarakat masih enggan untuk menerima vaksin karena meragukan kehalalan dan dampak kesehatan yang ditimbulkan.
Hal ini sempat terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta saat pelaksanaan imunisasi campak-rubella pada tahun 2018. Sejumlah sekolah di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Sleman keberatan dengan pelaksanaan vaksin. Salah satu alasannya adalah keraguan terhadap kehalalan vaksin rubella (Kompas, 1 Agustus 2017).
Persoalan kehalalan vaksin juga kembali mengemuka dalam pemberian vaksin Covid-19. Sebagian masyarakat masih meragukan kehalalan bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan vaksin. Selain kehalalan, dampak kesehatan yang muncul juga menjadi kekhawatiran masyarakat.
Pemerintah pun telah melakukan sejumlah langkah untuk meyakinkan masyarakat terkait dengan kehalalan dan keamanan vaksin. Selain melalui pernyataan Majelis Ulama Indonesia terkait kehalalan vaksin, sejumlah tokoh publik terlebih dulu diberi vaksin. Cara ini merupakan strategi komunikasi yang diharapkan mampu berpengaruh pada keputusan masyarakat untuk divaksinasi.
Dari sejumlah catatan program vaksinasi di Indonesia, tampak selalu ada penolakan dari masyarakat dengan beragam alasan. Namun, pemangku kebijakan selalu memiliki strategi yang berbeda pada setiap periode agar vaksin diterima oleh masyarakat luas. Tentu menarik untuk menunggu strategi seperti apa yang diterapkan oleh pemerintah saat ini untuk mencapai target vaksinasi Covid-19 bagi 181,5 juta penduduk di Indonesia. (LITBANG KOMPAS)