Ada Yu Jiyem di Balik Rivalitas Ganjar dan Anies
Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo menjadi bintang dari hasil survei. Kedua sosok ini memiliki kesamaaan sekaligus perbedaan. Peluang dan peta dukungan keduanya akan menentukan langkah mereka menjelang kontestasi 2024.
“Gimana kabar Kampus Yu Jiyem?”
“Masih adem ayem. Apalagi ini musim pandemi….”
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
“Sudah tampak ada dukungan untuk Ganjar atau Anies?”
“Belum. Moga-moga keduanya gak nyalon.”
“Lho, kenapa?”
“Nasi kucing nanti sulit dicari, amblas diborong …hehehe.”
Yu Ji Yem adalah nama plesetan yang muncul dalam bahasa gaul untuk menyebut UGM, Universitas Gadjah Mada. Dalam pelafalan bahasa Inggris memang ucapan UGM mendekati demikian, yu ji em atau diplesetkan menjadi yu jiyem.
Kampus UGM telah menelurkan ratusan tokoh berpengaruh, baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Di Kabinet Indonesia Maju saja, saat dilantik pada 2019, selain Presiden Joko Widodo juga terdapat nama-nama menteri lulusan UGM, seperti Mahfud MD, Pratikno, Muhadjir Effendy, Airlangga Hartarto, Retno Marsudi, Budi Karya Sumadi, Basoeki Hadimoeljono, Terawan Agus Putranto, dan Pramono Anung (S2).
Pada pemilu mendatang, besar kemungkinan Kampus Biru ini juga akan kembali diramaikan oleh hajatan besar, jika dua nama tokoh lulusannya masuk dalam bursa calon presiden.
Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, dua gubernur yang saat ini memegang wilayah strategis, memiliki peluang untuk dicalonkan sebagai kandidat. Hasil sejumlah survei menunjukkan elektabilitas keduanya bersaing ketat.
Lulus berbarengan dari UGM pada tahun 1995, usia Ganjar dan Anies juga hanya terpaut setahun. Ganjar 53 tahun, Anies 52 tahun. Usia yang sedang berada di puncak vitalitas politik. Ketika Jokowi dilantik sebagai presiden juga umurnya 53 tahun.
Baca juga : Limpahan Suara Jokowi Juga Mengalir ke Anies
Meski lulus berbarengan, keduanya dipisahkan oleh fakultas yang berbeda. Ganjar kuliah di Fakultas Hukum, sedangkan Anies di Fakultas Ekonomi. Anies juga terpaut dua tahun dalam menjalani perkuliahan. Anies menyelesaikan kuliah dalam enam tahun, sedangkan Ganjar dalam tempo delapan tahun.
Garis nasib tampaknya membuat perjalanan hidup kedua tokoh itu berbeda dalam menimba ilmu dan capaian politik. Meskipun saat ini sama-sama menjabat sebagai gubernur, takdir politik tertinggi mungkin hanya menjadi milik satu orang. Strategi penguasaan basis massa akan menjadi jembatan meraih kekuasaan.
Ganjar Pranowo
Ganjar lahir di Karanganyar, Jawa Tengah, 28 Oktober 1968. Ayahnya seorang polisi yang pernah ditugaskan untuk mengikuti operasi penumpasan Pemberontak PRRI/Permesta.
Meski demikian, pangkatnya yang rendah membuat keluarganya harus hidup dengan sederhana. Untuk menghidupi keluarganya, ayahnya harus dibantu istri dan anak-anaknya berjualan barang kelontong dan bensin.
Ketika lahir diberi nama Ganjar Sungkowo, yang artinya ganjaran dari kesusahan, karena saat itu keluarganya sedang banyak dirundung kesulitan. Begitu masuk sekolah, namanya diganti Ganjar Pranowo, agar peruntungannya berubah. Ia beberapa kali pindah mengikuti ayahnya.
Hingga kuliah, kehidupan keluarganya masih sengsara, membuat Ganjar terpaksa beberapa kali minta dispensasi pembayaran uang kuliah. Ia juga sempat cuti dua semester karena ketiadaan biaya. Setelah lulus dan bekerja, hingga menjadi anggota DPR, ia dan saudara-saudaranya masih harus mencicil utang-utang orang tuanya hingga lunas.
Semasa kuliah, Ganjar aktif dalam kegiatan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI/GeMiNI) dan Gelanggang Mahasiswa UGM. Selain itu, ia juga menekuni hobi mendaki dengan menjadi anggota Mahasiswa Pencinta Alam Fakultas Hukum UGM (Majestic 55).
Ketika menjadi politisi, Ganjar sempat kuliah pascasarjana ilmu politik di FISIP UI dan menyelesaikannya pada 2013. Setelah menjadi Gubernur, Ganjar didapuk menjadi Ketua Umum Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA) untuk periode 2014–2019.
Lulus S1, Ganjar bekerja di Konsultan SDM PT Prastawana Karya Samitra dari tahun 1995 sampai 1999. Ia juga sempat bekerja di PT. Semeru Realindo Inti, sebelum kemudian mendirikan kantor hukum sendiri.
Berawal menjadi anggota GMNI saat kuliah, kemudian menjadi simpatisan PDI-P, pada akhirnya Ganjar resmi dilantik menjadi anggota partai berlambang banteng tersebut pada awal 2003.
Dalam Pemilu 2004, ia menjadi kandidat anggota legislatif untuk daerah pemilihan Jawa Tengah 7 (Kabupaten Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara). Namun, Ganjar kalah.
Namun, keberuntungan berpihak kepadanya ketika kandidat yang terpilih (Jakob Tobing) ditunjuk sebagai duta besar. Ia pun menggantikan posisi tersebut dan duduk di kursi DPR RI Komisi IV (Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan, Perikanan, dan Pangan). Ganjar sempat menjadi Ketua Pansus RUU tentang Partai Politik di DPR RI (2007-2009) dan Ketua Pansus tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD di DPR RI (2007-2009.)
Dalam Pemilu 2009, Ganjar kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan terpilih. Ia sempat menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, Aparatur Negara, Reformasi Birokrasi, Pemilu, Pertanahan dan Reformasi Agraria). Ia juga menjadi anggota Pansus Angket Bank Century di DPR RI (2009-2010) dan sempat menjabat sebagai Wakil Sekretaris Fraksi PDIP DPR RI (2010-2013).
Pilkada 2013 membuka peluang bagi Ganjar untuk menjajagi bidang eksekutif. Ganjar pun maju menjadi calon gubernur dalam Pemilihan Umum Gubernur Jawa Tengah, berpasangan dengan Heru Sudjatmoko.
Mereka diusung oleh PDI-P dan berhasil keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara 48,82%, mengalahkan petahana Bibit Waluyo-Sudijono dan pasangan Hadi Prabowo-Don Murdono.
Dalam Pilkada 2018, Ganjar berpasangan dengan Taj Yasin Maimoen, putra KH Maimun Zubair, kiai terkenal di Rembang sekaligus petinggi Partai Persatuan Pembangunan.
Baca juga : Sosok Ideal Pasangan Ganjar Pranowo
Didukung oleh PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, PPP, dan Nasdem, mereka memenangkan pemilihan dengan suara 58,78 persen, mengalahkan pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah yang hanya mendapatkan 41,22 persen suara.
Sejumlah prestasi disandang Ganjar selama menjadi Gubernur Jawa Tengah. Ia pernah dinobatkan sebagai Kepala Daerah Inovatif untuk kategori layanan publik (2014) dan mendapatkan Anugerah Tokoh Media Radio dari Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Jawa Tengah (2015).
Di bidang reformasi birokrasi, Ganjar dinilai berhasil dalam melakukan lelang jabatan dari eselon I hingga IV, pelaporan LHKPN hingga pejabat eselon IV, pelaporan gratifikasi seluruh pejabat, peningkatan tunjangan pegawai, dan pelayanan publik yang mudah murah cepat.
Kinerjanya membuat Pemprov Jateng menduduki peringkat teratas dalam penilaian evaluasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tahun 2014.
Anies Baswedan
Anies Baswedan dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat pada tanggal 7 Mei 1969, dari keluarga terpelajar. Ayahnya, Rasyid Baswedan, pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia dan ibunya Aliyah adalah guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta.
Anies juga merupakan cucu Abdurrahman Baswedan yang semasa hidupnya dikenal sebagai seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, muballigh, dan sastrawan.
Anies adalah tipikal organisatoris yang sejak kecil sudah aktif dalam kelembagaan siswa. Di SMP Negeri 5 Yogyakarta, ia bergabung dengan OSIS di sekolahnya, menjadi pengurus bidang humas. Ia juga ditunjuk sebagai ketua panitia tutup tahun SMP.
Di SMA Negeri 2 Yogyakarta, Anies menjadi Wakil Ketua OSIS dan kemudian terpilih menjadi Ketua OSIS se-Indonesia pada tahun 1985. Meski demikian, ia harus menyelesaikan SMA dalam empat tahun dan baru lulus pada tahun 1989, karena pada tahun 1987 dia terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar AFS dan tinggal selama setahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat.
Tahun 1989 Anies masuk kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada. Ia bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam dan terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi.
Anies membidani kelahiran kembali Senat Mahasiswa UGM, setelah pembekuan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Anies kemudian terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM. Anies turut membentuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM.
Ia juga turut menginisiasi demonstrasi melawan penerapan Sistem Dana Sosial Berhadiah pada bulan November 1993 di Yogyakarta. Selama kuliah, pada tahun 1993 Anies mendapat beasiswa dari JAL Foundation untuk mengikuti kuliah musim panas di Sophia University, Tokyo dalam bidang kajian Asia.
Setelah lulus S1, Anis sempat bekerja di Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi UGM. Kemudian ia mendapatkan beasiswa Fulbright dari AMINEF untuk melanjutkan kuliah masternya dalam bidang keamanan internasional dan kebijakan ekonomi di School of Public Affairs, University of Maryland, USA, pada tahun 1997.
Lulus pada 1998, Anies kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah doktoralnya dalam bidang ilmu politik di Northern Illinois University, USA, dan lulus pada tahun 2005.
Setelah kembali ke Indonesia, Anies langsung mengemban tugas menjadi Direktur Riset The Indonesian Institute, organisasi riset dan analisis kebijakan publik.
Dalam tempo hanya dua tahun, kemudian ia diangkat menjadi Rektor Universitas Paramadina (2007-2011), menggantikan Nurcholish Madjid. Ia menjadi rektor termuda Indonesia, di usianya yang saat itu menginjak 38 tahun.
Namanya semakin populer setelah ia menginisiasi Gerakan Indonesia Mengajar, menghimpun generasi muda potensial yang dilatih dan dikirimkan untuk mengabdi di masyarakat sebagai guru di pelosok Indonesia selama satu tahun.
Anies juga menggagas Gerakan Turun Tangan, gerakan sosial yang berfokus di bidang politik, pendidikan, dan lingkungan untuk mendorong masyarakat peduli dan terlibat aktif dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Pada tahun 2013, Anies mengikuti konvensi calon presiden Partai Demokrat untuk menentukan siapa yang akan diusung oleh Partai Demokrat dalam pemilihan umum Presiden Indonesia 2014.
Selain Anies, terdapat nama-nama peserta konvensi, seperti Ali Masykur Musa, Dahlan Iskan, Dino Patti Djalal, Endriartono Sutarto, Gita Wirjawan, Hayono Isman, Irman Gusman, Marzuki Alie, Pramono Edhie Wibowo, dan Sinyo Harry Sarundajang.
Namun, pada tanggal 16 Mei 2014 Partai Demokrat mengumumkan bahwa konvensi ini telah dimenangkan oleh Dahlan Iskan. Pemenang dipilih berdasarkan hasil survei elektabilitas para peserta. Namun, Dahlan Iskan tidak jadi diusung oleh Partai Demokrat karena partai ini gagal memperoleh cukup suara untuk dapat mengusung calon sendiri.
Menjelang Pemilu Presiden 2014, Anies mendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Ia berpandangan bahwa pasangan Jokowi-JK adalah kekuatan yang ideal dan punya potensi untuk memunculkan terobosan yang lebih besar.
Ketika kemudian Jokowi-JK terpilih, Anies diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Namun, baru dua tahun menjabat, Anies dicopot oleh Jokowi dalam perombakan kabinet Juli 2016. Posisinya digantikan oleh tokoh Muhammadiyah, Muhadjir Effendy.
Baca juga : Cawapres Pasangan Anies Paling Potensial
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 kembali membuka peluang bagi Anies untuk terjun ke politik. Berpasangan dengan Sandiaga Uno, pengusaha yang juga kader Partai Gerindra, pasangan Anies-Sandi diusung oleh Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Anies-Sandi berhadapan dengan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menggandeng Djarot Saiful Hidayat dan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni. Keduanya merupakan pesaing dengan popularitas yang tinggi, sehingga elektabilitas Anies-Sandi seringkali menempati posisi buncit pada survei-survei pendahuluan oleh sejumlah lembaga.
Namun, Anies-Sandi beruntung karena persoalan yang melilit lawan-lawannya. Elektabilitasnya naik setelah Sylviana Murni, pasangan AHY, dipanggil penyidik tindak pidana korupsi Bareskrim Polri terkait kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial.
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 kembali membuka peluang bagi Anies untuk terjun ke politik.
Imbasnya, pasangan AHY-Sylviana hanya mendapatkan 17,07 persen suara dan harus tersingkir di putaran pertama. Sedangkan pasangan Anies Sandi masuk ke putaran kedua dengan perolehan suara 39,95 persen dan Ahok-Djarot berada di posisi teratas dengan perolehan suara 42,99 persen.
Di putaran kedua, Ahok harus berhadapan dengan masalah hukum terkait ucapannya di Pulau Pramuka, Jakarta Utara, yang dinilai menghina umat Islam. Masalah ini kian meruncing menjelang pemungutan suara dengan demonstrasi besar-besaran di Jakarta.
Alhasil, Anies-Sandi mengalahkan pasangan Ahok-Djarot di putaran kedua dengan selisih yang cukup jauh. Anies-Sandi memperoleh suara 57,96 persen, sementara Ahok-Djarot hanya mendapatkan suara 42,04 persen. Anies pun dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk periode 2017-2022.
Selama kepemimpinannya, Anies dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menuai sejumlah penghargaan. Ia menerima penghargaan Top Leader on Digital Implementation 2020, sedangkan Pemprov DKI Jakarta memenangkan penghargaan Top Digital Implementation 2020 on Province Government dan Top Digital Transformation Readiness 2020. Pemprov DKI juga meraih penghargaan Innovative Government Award (IGA) 2020 dari Kementerian Dalam Negeri.
Anies juga dinobatkan salah satu dari 20 pahlawan transportasi dunia oleh lembaga internasional Transformative Urban Mobility Initiative (TUMI), karena keberhasilan transformasi mobilitas kota yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup warga.
Pada Maret 2021 Anies menerima penghargaan Karya Bhakti Peduli Satpol PP dari Kementerian Dalam Negeri, karena dinilai telah memberikan dukungan penuh dalam peningkatan peran, tanggung jawab, serta peningkatan tugas dan fungsi Satpol PP.
Baca juga : Prabowo, Ganjar, dan Anies Masih ”Top of Mind” Masyarakat
Peta Basis Massa
Meskipun berasal dari kampus yang sama dan saat ini sama-sama menjabat sebagai gubernur, namun pada akhirnya kedua tokoh ini membentuk basis pemilih yang berbeda. Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo masing-masing memiliki ceruk dukungan massa yang terbilang tidak sama dalam beberapa hal.
Dengan mempertimbangkan posisi Jokowi yang tidak boleh dicalonkan lagi, maka perolehan Ganjar menjadi lebih mendekati persentase suara yang diraih Anies. Meskipun peringkat Ganjar masih berada di bawah Anies, namun selisih suara untuk keduanya mengecil.
Ketika ada nama Jokowi di kontestasi, suara Anies sebesar 10 persen dan Ganjar 7,3 persen. Tanpa kehadiran Jokowi, suara Anies menjadi 11,7 persen dan Ganjar 10,1 persen.
Dilihat dari penguasaan pemilih berdasarkan geografis, Anies cenderung mendapat dukungan yang lebih merata, baik dari Jawa maupun luar Jawa. Di Jawa, suara Anies meliputi 43,1 persen dari total suara yang diperolehnya, sementara di Sumatera 23,1 persen dan dari wilayah lain 33,8 persen.
Sebaliknya, penguasaan pemilih untuk Ganjar lebih terkonsentrasi di Jawa, khususnya Jawa Tengah. Dari Jawa, Ganjar mendapatkan 80 persen dari total suara yang saat ini diperolehnya. Sisanya, tersebar dalam jumlah yang kecil, dari Sumatera dan wilayah lainnya.
Dari sisi jenis kelamin pemilih, Ganjar lebih banyak disukai oleh kalangan laki-laki daripada perempuan. Dan, persentasenya jauh lebih tinggi daripada jumlah pemilih laki-laki yang mendukung Anies. Soal ini, terutama bagi Ganjar, dapat menjadi peluang atau sebaliknya, kelemahan.
Menjadi peluang jika Ganjar dapat meningkatkan strategi yang lebih simpatik terhadap kepentingan kaum perempuan. Namun, menjadi titik lemah manakala situasi ini dari awal tidak disadari.
Sementara itu, dari segi usia pemilih, Anies cukup diuntungkan oleh banyaknya pemilih dari kaum muda, antara 24-40 tahun. Dukungan yang berasal dari kelompok ini mencapai 49,6 persen dari total pemilihnya. Kategori umur ini adalah kelompok terbesar dari segi jumlah pemilih.
Sementara, Ganjar lebih banyak didukung oleh pemilih dari kelompok umur di atas 40 tahun. Ini mengindikasikan bahwa Ganjar harus mampu melebarkan dukungan kepada kaum muda, jika ingin mengungguli Anies.
Meski demikian, Ganjar memiliki modal yang cukup kuat dari pemilih berpendidikan rendah (63,3 persen). Ini menunjukkan bahwa perilaku dan pemikiran Ganjar lebih mudah dipahami dengan nalar yang sederhana.
Pada Anies, dukungan dari pemilih kategori ini hanya 39,3 persen. Sedangkan untuk level pendidikan menengah dan atas, pemilih Anies lebih kuat dibanding Ganjar. Meraih dukungan dari kalangan berpendidikan rendah akan menjadi kerja yang cukup berat bagi Anies.
Namun, kelemahan Anies dari dukungan pemilih berpendidikan rendah tertutupi oleh sebaran pemilih dari segi etnisitas. Anies cenderung didukung oleh etnis yang lebih beragam dibanding Ganjar. Dari etnis Jawa, Anies memperoleh dukungan 34 persen dan dari etnis Sunda 14,2 persen dari total pemilihnya, selebihnya berasal dari etnis-etnis lainnya.
Sebaliknya, pemilih Ganjar mayoritas merupakan etnis Jawa. Dukungan suara yang mencapai 80 persen dari etnis Jawa menunjukkan profil Ganjar masih terlalu lekat dengan lokalitas. Ia perlu menampilkan diri menjadi sosok yang lebih menasional.
Terlebih, jika dikaitkan dengan dukungan berdasarkan wilayah yang juga 80 persen Jawa, strategi keluar kandang tampaknya menjadi langkah yang perlu dilakukan. Bisa berupa produk atau visi besar yang melampaui lokalitas. Jokowi memiliki keduanya saat menjadi Walikota Surakarta.
Sementara itu, dari sisi agama pemilih, sejauh ini tidak ada perbedaan yang signifikan antara Anies dan Ganjar. Meskipun ada tendensi penguasaan Ganjar atas pemeluk Islam NU lebih luas, namun saat ini belum terlihat signifikan selisihnya dengan Anies. Keduanya mengandalkan dukungan terbesar dari NU.
Hanya, untuk kategori pemeluk agama Islam selain NU dan Muhammadiyah, Anies terlihat lebih menonjol, walaupun ini juga belum terlalu signifikan berbeda. Akan tetapi, belajar dari Pilkada DKI Jakarta, sangat mungkin dukungan dari kategori ini ke depan akan semakin membesar bagi Anies.
Aspek pekerjaan juga membedakan karakter pemilih Ganjar dan Anies. Untuk kalangan pelajar dan mahasiswa, Ganjar lebih menarik perhatian, namun bagi ibu-ibu rumah tangga Anies lebih banyak mendapat dukungan.
Anies juga cenderung lebih banyak dipilih oleh pegawai negeri sipil dan kaum pedagang. Sebaliknya, Ganjar mendapat simpati yang lebih dari kalangan pekerja lepas dan buruh.
Dukungan simpatisan partai menjadi titik lemah yang saat ini lebih banyak dihadapi oleh Anies ketimbang Ganjar. Sejauh ini, sebaran pemilih untuk Anies belum mencerminkan soliditas partai, dukungan terbesar hanya 16,4 persen dari simpatisan Partai Demokrat.
Sosok Anies yang independen, bukan menjadi anggota partai tertentu, bisa saja menguntungkan, namun sebaliknya juga dapat merugikan. Menguntungkan, karena ia dapat memperoleh dukungan dari semua simpatisan parpol. Merugikan, karena dukungan itu masih sangat cair.
Situasi ini berbeda dengan Ganjar, yang sejauh ini cukup kuat mendapat dukungan dari simpatisan PDI-P. Dukungan simpatisan partai tersebut untuk Ganjar mencapai 41 persen dari total suara yang diperolehnya.
Ganjar beruntung didukung oleh simpatisan partai terbesar, karena sangat mungkin ke depan PDI-P lebih mudah menjalin koalisi dengan partai-partai lain. Jika ini terjadi, aliran simpatisan partai koalisi dapat menambah pundi-pundi dukungan.
Ganjar juga sangat diuntungkan oleh posisinya sebagai “ahli waris” suara Jokowi. Para pemilih yang pada Pemilu 2019 memenangkan Jokowi, terlihat solid untuk mendukung Ganjar sebagai calon presiden berikutnya. Dari total suara yang saat ini diraihnya, 79,3 persen bersumber dari pemilih Jokowi pada pemilu lalu.
Baca juga : Ganjar Pranowo Warisi Efek ”Jokowi”?
Sementara bagi Anies, nilai dukungan yang saat ini sebanyak 52,1 persen dari pemilih Prabowo-Sandi masih bersifat cair, bisa naik atau bahkan turun. Dukungan akan mengental dan solid, jika Prabowo tidak lagi mencalonkan diri pada pemilu mendatang. Sebaliknya, potensial melemah jika dalam pemilu mendatang ia harus berhadapan dengan Prabowo dan Ganjar.
Rivalitas Ganjar dan Anies dalam merebut kekuasaan lewat pemilu mendatang sangat mungkin menghangatkan suasana gayeng di warung-warung kopi, lesehan, dan angkringan nasi kucing di Jogja. Tetapi, dalam politik yang serba cepat berubah dan penuh ketidakpastian, satu yang pasti: Yu Jiyem akan terus melahirkan tokoh. (LITBANG KOMPAS)