Merawat Eksistensi Museum Kala Pandemi
Pandemi berdampak pada penurunan minat orang mengunjungi museum. Inovasi menjadi kunci untuk merawat eksistensi museum di kala pandemi.
Pandemi Covid-19 turut memberikan ruang yang berjarak antara masyarakat dengan obyek peninggalan bersejarah. Sebagai wadah untuk menyalurkan warisan masa lampau dalam dimensi zaman yang berbeda, inovasi menjadi kunci untuk merawat eksistensi museum di kala pandemi.
Sudah 17 bulan Indonesia bergelut dengan pandemi. Selama itu pula, masyarakat Indonesia silih berganti harus menahan diri untuk melakukan wisata sejarah. Padahal, sebelum pandemi, menikmati peninggalan bersejarah adalah adalah satu cara favorit masyarakat untuk menikmati waktu berlibur bersama kerabat atau teman sejawat.
Banyaknya masyarakat yang memilih melakukan wisata sejarah sebelum pandemi tergambar dalam catatan jumlah pengunjung obyek wisata di sejumlah daerah. Museum Sejarah Jakarta, misalnya, pada 2018 dikunjungi oleh 612.668 orang. Jumlah kunjungan ini setara dengan delapan kali jumlah penonton pertandingan sepak bola di Stadion Utama Gelora Bung Karno jika terisi penuh.
Museum Sejarah Jakarta memang menjadi salah satu lokasi ikonik yang banyak dikunjungi. Bangunan bekas balai kota pada masa pemerintahan VOC ini menyimpan banyak kisah tentang sejarah Jakarta sejak era prasejarah.
Jumlah kunjungan yang begitu tinggi juga dicatatkan oleh Museum Tsunami di Banda Aceh. Museum ini adalah salah satu wadah untuk menyaksikan jejak bencana tsunami di Aceh pada 2004 silam. Selain benda-benda asli yang terlihat rusak akibat terjangan tsunami, di museum ini juga terdapat ruang virtual untuk menyaksikan bencana tsunami yang menyapu Aceh 17 tahun silam.
Sepanjang tahun 2018 jumlah pengunjung ke museum ini mencapai 744.205, melebihi jumlah pengunjung ke Museum Sejarah Jakarta. Dari jumlah pengunjung sepanjang 2018, sebesar 95,5 persen di antaranya adalah wisatawan domestik. Hal ini menunjukkan betapa tingginya animo masyarakat untuk melakukan wisata sejarah sebelum pandemi.
Sayangnya, selama periode pandemi Covid-19 sepanjang tahun 2020, masyarakat tidak lagi dapat melakukan wisata sejarah melalui kunjungan fisik secara leluasa. Penutupan museum dan obyek wisata cagar budaya dilakukan oleh sejumlah daerah seiring peningkatan kasus Covid-19 yang terjadi.
Dampak pandemi pada penutupan museum sudah dirasakan sejak ditemukannya kasus perdana Covid-19 di Indonesia pada Maret 2020. Tidak lama berselang, pada 17 Maret 2020 pemerintah mengumumkan penutupan museum, khususnya yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada sejumlah daerah, buka-tutup museum juga dilakukan dengan menyesuaikan kondisi pandemi. Di Surabaya, Jawa Timur, misalnya, pembukaan museum kembali dilakukan pada April 2021 setelah sempat tutup akibat pandemi.
Hal senada juga dilakukan pengelola Museum Mulawarman di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Setelah tutup akibat pandemi, pada Mei 2021 museum ini kembali dibuka dan disambut antusiasme masyarakat sekitar.
Kondisi inilah yang dialami oleh museum sejumlah wilayah di Indonesia. Dari 439 museum yang ada di Indonesia, penyesuaian harus dilakukan oleh pengelola museum di tengah situasi pandemi untuk menekan laju penularan.
Baca Juga: 20 Museum dan Destinasi Budaya di DKI Jakarta Tutup Sementara
Tantangan eksistensi
Pandemi Covid-19 yang berdampak pada pembatasan ruang gerak dan penutupan museum tentu menjadi tantangan untuk terus merawat eksistensi museum. Apalagi, pandemi Covid-19 turut menjadi beban yang mengkhawatirkan bagi pengelolaan museum.
Kondisi yang mengkhawatirkan itu tecermin dalam survei yang dilakukan oleh International Council of Museums (ICOM) terhadap hampir 1.600 museum dan pekerja museum pada 107 negara di dunia. Pengumpulan data dilakukan mulai 7 April hingga 7 Mei 2020.
Berdasarkan survei yang dilakukan, pada masa-masa awal pandemi, hampir seluruh museum di dunia tutup. Kondisi ini berdampak pada kehidupan pekerja dan pengelola museum. Setidaknya terdapat sekitar 6 persen pekerja museum yang kontraknya tidak diperpanjang. Sebanyak 16,1 persen responden juga menyebutkan pekerja lepas diberhentikan sementara akibat pandemi. Sementara lebih dari separuh responden dari pekerja paruh waktu di museum mengalami penangguhan gaji.
Memang tidak semua museum dikelola oleh negara. Sebagian di antaranya dikelola oleh swasta sehingga pengelolaan museum bergantung pada tiket masuk dan kegiatan yang diadakan di dalam museum.
Di Indonesia, dari 439 museum yang dimiliki, sebagian besar (34,6 persen) di antaranya justru dikelola oleh pihak swasta. Sementara sisanya dikelola oleh pemerintah daerah (28,7 persen), kementerian atau lembaga negara (17,3 persen), pemerintah provinsi (12,8 persen), dan TNI/Polri (6,6 persen).
Museum swasta di Indonesia juga turut merasakan dampak dari pandemi Covid-19. Hal ini salah satunya terjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hingga Juni 2021 lalu, terdapat 12 museum yang tutup, beberapa di antaranya adalah museum yang dikelola oleh pihak swasta.
Baca Juga: Lebih dari Setahun Pandemi, Museum Masih Terasing
Pengunjung berkurang
Banyaknya museum yang tutup tentu tidak dapat dipisahkan dari kebijakan buka-tutup museum dan pembatasan ruang gerak selama pandemi. Kondisi ini turut memberikan dampak penurunan jumlah pengunjung. Bahkan, pada sejumlah wilayah dengan laju penambahan kasus positif Covid-19 yang tinggi, jumlah pengunjung ke museum menurun hingga lebih dari 70 persen.
Museum Nasional, di DKI Jakarta, adalah satu museum di Indonesia yang mengalami penurunan jumlah pengunjung yang sangat besar. Jika dibandingkan pada 2019, jumlah pengunjung pada museum ini pada 2020 berkurang hingga 81,4 persen. Kondisi serupa juga dialami oleh museum lainnya di Ibu Kota, seperti Museum Wayang (78 persen) dan Museum Satria Mandala (79,5 persen).
Di luar Jawa, penurunan jumlah pengunjung museum yang cukup drastis salah satunya terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat. Kunjungan pada Museum Kereta Api berkurang hingga mencapai 68,2 persen. Jika pada 2019 jumlah pengunjung pada museum bersejarah ini mencapai 7.314 orang, sepanjang tahun 2020 jumlah pengunjungnya hanya mencapai 3.390 orang. Kondisi ini menjadi ironi di tengah upaya Sawahlunto untuk menarik minat wisatawan setelah ditetapkannya tambang batubara Ombolin sebagai warisan cagar budaya dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Baca Juga: Pandemi Dorong Digitalisasi Museum Perguruan Tinggi
Inovasi
Keterbatasan selama pandemi turut memaksa pengelola museum memutar otak. Demi menjaga eksistensi agar museum dapat dinikmati selama pandemi, beragam cara dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia.
Jika merujuk survei yang dilakukan oleh ICOM, sejak awal pandemi sebagian museum di dunia mulai beralih ke dunia digital agar masyarakat tetap dapat menikmati koleksi tanpa harus melakukan kunjungan fisik. Pada awal pandemi, aktivitas komunikasi dari pengelola museum melalui media sosial meningkat hingga 15 persen. Media sosial menjadi salah satu wadah yang dimanfaatkan oleh pengelola untuk mendekatkan masyarakat dengan museum.
Di Indonesia, layanan museum digital juga telah dikenalkan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada awal pandemi. Setelah menjalin kerja sama dengan Google, pemerintah memasukkan sejumlah museum yang dapat dinikmati melalui aplikasi Google Arts & Culture. Masyarakat dapat melakukan jelajah virtual dengan bermodalkan gawai yang dimiliki.
Selain itu, sejumlah informasi tentang museum juga dapat diakses melalui laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ketersediaan layanan digital ini dapat memangkas ruang yang berjarak antara masyarakat dan peninggalan bersejarah meskipun tidak dinikmati secara fisik.
Selain teknologi digital, sejumlah penyesuaian juga dilakukan oleh pengelola museum saat kembali membuka museum. Museum Tsunami Aceh, misalnya, yang membatasi jumlah kunjungan maksimal 100 orang di dalam museum. Sementara di Surabaya, kunjungan museum dilakukan dengan sistem kuota per jam. Tiket harus dibeli secara daring untuk melihat kuota yang tersedia.
Di luar negeri, beragam penyesuaian dan inovasi juga dilakukan oleh pemerintah terkait museum. Italia, misalnya, berencana untuk menjadikan surat vaksinasi sebagai salah satu syarat untuk masuk ke museum. Hal ini dinilai perlu untuk dilakukan demi menekan angka penularan di dalam ruangan selama kunjungan ke museum.
Sementara di China, inovasi terkait museum bahkan sudah satu langkah lebih maju. Negara tirai bambu ini telah berinovasi dengan membangun museum pandemi di Wuhan yang berisi kisah perjuangan wilayah itu dalam menghadapi Covid-19. Pada museum ini, pengunjung disuguhkan beberapa peralatan dan teknologi yang digunakan dalam penanganan pandemi.
Museum Covid-19 di Wuhan tentu dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk dapat membuat museum serupa. Tujuannya, agar Indonesia memiliki memori kolektif dalam penanganan dan penanggulangan penyakit menular sebagai pembelajaran di masa yang akan datang.
Bagaimanapun, museum adalah diorama yang merekam kisah masa lampau sebagai pelajaran di masa yang akan datang. Eksistensi museum perlu terus dijaga sehingga tetap memiliki denyut nadi dalam kondisi apa pun.
Baca Juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?