Saatnya Reorientasi Otonomi Daerah
Jajak pendapat Litbang ”Kompas” menunjukkan 28 tahun otonomi daerah masih dihadapkan pada sejumlah problem. Apa itu?
Lebih dari seperempat abad otonomi daerah berjalan, banyak kemajuan yang telah dicapai. Otonomi daerah memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Hasilnya banyak dinikmati sekarang.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 23-25 April 2024 menunjukkan mayoritas responden (83,4 persen) sepakat bahwa otonomi daerah telah membuat pembangunan semakin merata di seluruh Tanah Air. Selain itu, sebanyak 84,3 persen responden pun menyatakan otonomi daerah telah membuat pelayanan publik menjadi lebih baik.
Otonomi daerah sejatinya memperpendek rentang kendali pemerintahan dengan semakin dekat melayani kebutuhan masyarakat. Itu pula yang menjadi alasan terjadinya pemekaran daerah. Setelah banyak daerah dimekarkan, per 2023, wilayah administrasi di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik sudah bertambah menjadi 38 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota.
Jika dilihat berdasarkan wilayah, pendapat mengenai pemerataan pembangunan dan pelayanan publik ini berbeda berdasarkan dikotomi Jawa dan luar Jawa. Terlihat bahwa buah manis otonomi daerah dinilai berbeda dirasakan antara masyarakat di Jawa dan luar Jawa.
Baca juga: Sejarah Kebijakan Otonomi Daerah
Sebanyak 89,8 persen responden di Jawa menyatakan otonomi daerah telah membuat pembangunan semakin merata. Meski berpendapat sama, persentase persetujuan atas pendapat itu dari responden luar Jawa lebih kecil, yakni 75,6 persen.
Namun, dalam menilai otonomi daerah telah membuat pelayanan publik menjadi lebih baik, persentase jawaban dari responden Jawa lebih rendah, yakni 79,6 persen. Adapun persentase dari responden luar Jawa lebih besar, yakni 90,1 persen. Bisa dikatakan bahwa pemekaran wilayah yang banyak terjadi di luar Jawa telah berkontribusi dan memberikan manfaat yang lebih banyak bagi masyarakat.
Publik juga menilai kinerja pemerintah daerah sudah cukup baik dalam menjalankan otonomi daerah. Terutama dalam mengatasi persoalan-persoalan daerah dan meningkatkan pendapatan daerah untuk membiayai pembangunan.
Sebanyak 55,4 persen responden mengatakan kinerja pemerintah daerah sudah baik dalam mengatasi persoalan daerah, sementara 21,4 persen mengatakan semakin baik. Hanya 27,9 persen yang menyatakan sebaliknya, yaitu buruk atau semakin buruk.
Baca juga: Lubang Hitam Otonomi Daerah
Para peserta audiensi berfoto bersama setelah mengikuti rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR terkait pemekaran daerah otonomi baru di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Terkait keuangan daerah, sebanyak 74,4 persen responden menyatakan, pemerintah daerahnya sudah bekerja dengan baik dan semakin baik dalam meningkatkan pendapatan daerah. Namun, masih ada sekitar 21 persen yang menyatakan sebaliknya, alias buruk dan semakin buruk.
Persoalan utama
Meski demikian, otonomi daerah masih dihadapkan pada persoalan yang tidak mudah, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Ketika ditanyakan apa yang menjadi persoalan utama di daerah, porsi jawaban terbesar responden adalah soal kemiskinan (26,7 persen) dan pengangguran (23,8 persen).
Dua persoalan ini memang masih menjadi persoalan nasional. Meski tren angka kemiskinan terus menurun dalam dua dekade terakhir, dari 16,62 persen (2004) menjadi 9,36 persen (Maret 2023), masih banyak provinsi yang tingkat kemiskinannya di atas angka nasional.
Hampir separuh provinsi atau terdapat 16 provinsi yang angka kemiskinannya masih tinggi. Beberapa di antaranya adalah Aceh (14,45 persen), Nusa Tenggara Timur (19,96 persen), Gorontalo (15,15 persen). Maluku (16,42 persen), Papua Barat (20,49 persen), dan Papua (26,03 persen).
Di Pulau Jawa yang pembangunannya lebih maju juga masih terdapat tiga provinsi yang angka kemiskinannya di atas angka nasional. Ketiga provinsi itu ialah Jawa Tengah (10,77 persen), Daerah Istimewa Yogyakarta (11,04 persen), dan Jawa Timur (10,35 persen).
Begitu pula soal pengangguran yang menyumbang pada kemiskinan. Meski angka pengangguran terus menurun dalam dua dekade terakhir, dari 9,86 persen (2004) menjadi 5,32 persen (Agustus 2023), masih terdapat 10 provinsi yang tingkat penganggurannya tinggi.
Kondisi ini menunjukkan perlunya reorientasi pelaksanaan otonomi daerah. Dari yang semula fokus pada perbaikan tata kelola pemerintahan dengan memeratakan pembangunan dan memperbaiki pelayanan publik, ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat. Sumber daya yang dimiliki daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, dan ditambah dengan dukungan dari pusat harus diarahkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Ketergantungan daerah
Meski diapresiasi dengan baik, otonomi daerah berjalan bukan tanpa konsekuensi keuangan. Bersamaan dengan pelimpahan wewenang untuk daerah agar bisa mengurus kepentingan masyarakatnya masing-masing, ada beban fiskal yang dipikul negara dalam membantu kemandirian daerah.
Publik juga memandang ada ketergantungan daerah terhadap dana perimbangan yang ditransfer dari pusat. Sebanyak 62,5 persen responden menyatakan otonomi daerah telah pula menciptakan ketergantungan daerah terhadap pusat dalam hal keuangan. Sementara 33,7 persen responden lainnya menyatakan sebaliknya.
Pemerintah mengucurkan dana perimbangan yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Merujuk data Kementerian Keuangan, setiap tahun dana perimbangan, atau yang kini disebut dana transfer ke daerah, meliputi dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus (untuk Papua, Aceh, dan dana tambahan infrastruktur dalam rangka otonomi khusus), dana keistimewaan DI Yogyakarta, dana desa, dan insentif fiskal.
Besaran dana transfer ke daerah untuk tahun 2024 tercatat Rp 857,6 triliun atau 25,8 persen dari total belanja negara. Jumlah ini meningkat 5,5 persen dibandingkan dengan masa sebelum pandemi Covid-19 (2019) yang tercatat Rp 813 triliun.
Dengan menganalisis anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tahun 2023 dari 508 kabupaten/kota di Indonesia, di luar wilayah administratif DKI Jakarta, terlihat adanya ketergantungan daerah yang tinggi terhadap dana transfer dari pusat, yaitu mencapai 79,4 persen.
Ketergantungan fiskal yang tinggi itu diperoleh dengan cara membandingkan dana transfer dari pemerintah pusat terhadap pendapatan daerah.
Baca juga: Menggagas Kabinet Pro-otonomi
Angka 79,4 persen menunjukkan bahwa sumber keuangan daerah didominasi olah dana yang didapat dari pusat. Bahkan, untuk wilayah-wilayah bagian timur Indonesia, tingkat ketergantungannya terhadap dana dari pusat mencapai 90 persen. Hal itu berarti dana yang dihimpun pemerintah daerah yang masuk ke pos pendapatan asli daerah porsinya relatif kecil, sekitar 20 persen atau bahkan di bawahnya.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa selain keberhasilan meratakan pembangunan dan memperbaiki pelayanan publik, setidaknya terdapat dua persoalan yang melingkupi pelaksanaan otonomi daerah.
Persoalan itu adalah, pertama, otonomi daerah yang belum mampu mengangkat kesejahteraan rakyat. Kedua, hubungan antara pusat dan daerah yang menimbulkan ketergantungan fiskal yang tinggi terhadap pemerintah pusat.