Dokter Sisca Wiguno, Blusukan di Pedalaman hingga Sarang Teroris
Dokter Sisca Wiguno (39) selama 14 tahun blusukan ke daerah pedalaman di Tanah Air, lokasi konflik di Timur Tengah, hingga ke basis kelompok teroris di Afrika.
Oleh
Frans Pati Herin
·5 menit baca
Empat belas tahun sudah Sisca Wiguno (39) menjadi dokter. Selama periode itu, ia masuk ke daerah pedalaman di Indonesia, lokasi konflik di Timur Tengah, hingga basis kelompok teroris di Afrika, untuk mengobati orang-orang yang sakit. Kini, ia menjadi salah satu aktor penting yang mengarsiteki penanganan Covid-19 di Provinsi Maluku.
Sisca duduk di sudut kafe dengan wajah letih. Bola matanya yang dibingkai kacamata dengan lensa minus tiga itu menyorot segelas kopi panas yang baru mulai diseruput sambil mulutnya mengunyah pelan potongan kenari. Baginya, sajian kopi berpadu kenari sudah cukup sempurna mengakhiri hari yang melelahkan di Ambon, Maluku, akhir Juli 2020 lalu.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, setiap hari ia bekerja dengan tempo cepat di tengah tekanan tenggat waktu yang tinggi, sementara waktu istirahat kian mepet. Banyak hal mesti dikerjakan, mulai dari mengolah data, memberikan pendapat, menjadi pembicara dalam acara tatap muka dan virtual, menyiapkan jawaban atas pertanyaan publik, hingga meluruskan informasi bias soal Covid-19. Sebelum ke kafe petang itu, ia diminta ke Kantor Gubernur Maluku untuk memberikan masukan terhadap draf peraturan gubernur tentang penanganan Covid-19.
Sisca mulai terlibat dalam urusan Covid-19 sejak muncul terduga pasien Covid-19 di Saumlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Februari 2020. Ia kian sibuk setelah kasus Covid-19 pertama di Maluku diumumkan pada 22 Maret 2020. Ia ikut membidani penyediaan karantina terpusat untuk mengatasi keterbatasan fasilitas kesehatan di Maluku.
Balai Pengembangan Sumber Daya Manusia Maluku di Ambon jadi tempat karantina pertama, lalu diikuti penyediaan tempat karantina yang lain. Tak lama kemudian, kasus meledak, rumah sakit mulai kewalahan menerima pasien. Rumah Sakit Umum Daerah dr Haulussy Ambon yang menjadi benteng terakhir 1,8 juta jiwa penduduk Maluku ditutup akibat puluhan tenaga medis terinfeksi Covid-19. Beruntung, kondisi itu sudah diantisipasi dengan karantina terpusat di beberapa tempat.
Pemerintah Provinsi Maluku mengapresiasi kerja Sisca. ”Dia berperan sangat besar dalam membantu penanganan Covid-19 di Maluku. Kapan saja bisa diajak diskusi atau diminta masukan. Dia juga turun lapangan,” kata Sekretaris Daerah Maluku, yang sekaligus Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku, Kasrul Selang.
Pedalaman
Sisca yang berasal dari Karawaci, Banten, pertama kali bertugas di Maluku sebagai Health Officer Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) sejak 2017. Ia khusus menangani masalah malaria dan imunisasi bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat. Ia sering masuk keluar kampung dan mendatangi belasan pulau.
Berkat kolaborasi itu, bersama timnya Sisca membawa Maluku bergerak menuju titik eliminasi kasus malaria. Pada 2019, angka annual parasite incidence (API) turun hingga 0,71 per 1.000 penduduk. Padahal, pada 2017, API masih sebesar 2,95. Penyebaran penyakit malaria juga menyempit. Pada 2019, dari 11 kabupaten/kota, 5 daerah masuk zona hijau atau endemisitas rendah dan sisanya zona kuning atau endemisitas sedang. Pada 2017, di Maluku masih terdapat 2 daerah zona merah, 7 zona kuning, dan 2 zona hijau. ”Itu kerja keras banyak orang. Bukan saya sendiri,” ujar Sisca.
Mengabdi di daerah terpencil dan pedalaman menjadi pilihan sadar Sisca. Saat masih berstatus mahasiswa kedokteran, ia telah terjun sebagai sukarelawan untuk membantu korban gempa di Nias, Sumatera Utara, pada 2005. Saat itulah, ia melihat bagaimana pelayanan kesehatan di luar Jawa begitu minim.
Selesai kuliah, tahun 2006 ia memutuskan bergabung dengan Yayasan Bethesda Serukam di Kalimantan Barat. Lewat Yayasan itu, ia mewujudkan keinginannya menjadi tenaga medis yang melayani masyarakat pedalaman. Selama dua 2,5 tahun di sana, ia mendatangi kampung-kampung menggunakan pesawat kecil, berjalan kaki, dan menyusuri sungai.
Baginya, kepuasan sebagai dokter itu tercapai ketika ia bisa membantu orang susah yang jauh dari layanan kesehatan. Mimpi itu mulai ia bangun saat menjaga ayahnya, Santoso Wiguno, yang terbaring di rumah sakit. Dua tahun ia merawat ayahnya yang akhirnya meninggal saat ia baru tamat sekolah menengah atas.
Ibunya, Reni Tanujaya, kedua kakaknya, Irine Wiguno dan Silvia Wiguno, dengan suara bulat memutuskan mendukung tekad Sisca menjadi dokter. Ia mendaftar dan diterima di Universitas Trisakti Jakarta. ”Ayah sudah meninggal sehingga kedua kakak menabung untuk membiayai kuliah saya. Selesai kuliah, mereka juga tidak keberatan kalau saya memilih jalan ini,” katanya.
Sarang teroris
Selepas dari pedalaman, Sisca mencoba tantangan baru. Ia melamar ke Medecins Sans Frontieres (MSF), lembaga internasional yang bergerak di bidang medis. Sisca diterima dan pertama kali di tugaskan di Sri Lanka tahun 2010. Ia kemudian berpindah ke beberapa negara lain yang tergolong berisiko.
Tahun 2010, ia datang ke Nigeria tepatnya Kota Maiduguri, Borno State. Kota tersebut merupakan basis kelompok teroris Boko Haram. Di sana banyak orang penderita kolera tidak terurus. Dalam ruang perawatan rumah sakit, misalnya, pasien dan kambing bercampur. Ia kemudian ke Kazaure, Jigawa State, mengurusi masalah gizi anak-anak. Selama di Nigeria, ia bekerja dengan kondisi keamanan mencemaskan. ”Jam enam sore sudah harus balik ke hotel,” katanya.
Saat liburan di Indonesia, ia mendapat kabar bahwa seorang dokter asal Indonesia yang bekerja pada MSF tertembak di Somalia. Kabar itu juga diterima ibunya lewat media. Meski khawatir, ibunya tetap mendukung pilihan Sisca.
”Gak apa-apa (tidak apa-apa), mamah (ibu) bangga punya anak kamu. Dulu waktu kita susah setelah papah (bapak) enggak ada (meninggal), Tuhan yang cukupkan dan buat kamu jadi dokter. Jadi kamu boleh pelayanan kemana aja. Yang penting jaga diri,” tutur Sisca meniru ucapan ibunya saat itu.
Ia kemudian ditugaskan di Paskistan, antara lain di Islamabad, Peshawar, dan Hangu dekat perbatasan Afganistan. Selain wilayah operasi militer, di daerah itu juga sering terjadi konflik sektarian. Ia dan tim kerap merawat korban luka akibat peperangan.
Misi terakhir adalah di Tehran, Iran. Setelah itu, ia memutuskan berhenti dan kembali ke Tanah Air. Bertahun-tahun bekerja pada bagian kedaruratan di daerah berisiko, ia membutuhkan waktu untuk refleksi dan mencari suasana baru. Yang terpenting ada kesempatan membantu orang yang susah. Itu sudah cukup baginya.
Saat saya bertugas di daerah yang berisiko itu, saya selalu mendapat bantuan di saat yang tepat.
”Saat saya bertugas di daerah yang berisiko itu, saya selalu mendapat bantuan di saat yang tepat. Saya meyakini bahwa ini adalah balasan dari apa yang pernah saya perbuat. Kebaikan itu akan menular,” ujarnya.
Sisca Wiguno
Pendidikan:
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti (1999-2006)
Public Health Management. Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan (2012-2014)
Pekerjaan:
Obor Berkat Indonesia (2006)
Rumah Sakit Bethesda Serukam, Kalimantan Barat (2006-2009)
Medecins Sans Frontieres. Misi: Sri Lanka, Nigeria, Pakistan, Iran (2010-2017)