Densy Fluzianti berjuang mengeluarkan orang-orang suku Laut dari stigma. Buat Densy, manusia terlahir sama, apa pun suku, agama, ataupun rasnya. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Oleh
PANDU WIYOGA
·6 menit baca
Dengan gigih, Densy Fluzianti (46) bertahan mendayung sampan peradaban di lautan stigma yang ganas terhadap komunitas Orang Laut di Kepulauan Riau. Perempuan itu bertekad membebaskan mereka dari buta huruf dan menebar benih pendidikan dasar.
Suatu pagi, pertengahan 2014, beberapa pasang mata mungil diam-diam mengamati tingkah Densy yang sedang mengajar anak-anak usia dini di Pulau Penaah. Si perempuan berkerudung menatap balik sosok-sosok kecil yang bersembunyi di balik pohon itu. Didorong naluri seorang ibu, ia memanggil mereka agar mendekat.
Anak-anak itu saling pandang, lalu dengan malu-malu menghampiri Densy. Pakaian mereka kucel, kulitnya legam, serta rambutnya ikal dan kemerahan. Sekilas pandang, sepertinya mereka terlalu sering terpanggang matahari di lautan.
”Tetapi, sorot matanya tajam sekali penuh rasa ingin tahu, tampak sangat cerdas,” kata Densy, Senin (5/10/2020), saat menceritakan kembali tonggak sejarah yang mengubah hidupnya itu.
Orang Melayu di pulau menyebut bocah-bocah itu ”Anak Selat”. Mereka anak Orang Laut, suku yang hidup nomaden di atas sampan dayung beratap daun nipah. Di Kepulauan Riau, Orang Laut atau Pengembara Laut diperkirakan berjumlah 12.800 jiwa. Sebagian besar berada di Kabupaten Lingga, salah satunya di Pulau Penaah.
Salah seorang Anak Selat itu bernama Maisarah, waktu itu usianya enam tahun. Kekaguman Densy kepada gadis kecil yang cerdas dan jujur itu akhirnya menuntunnya untuk mengenal suku Laut lebih dalam.
Ia mulai mengunjungi perkampungan suku Laut yang terdekat dari Pulau Penaah, yakni di Selat Konky. Di sana ada 17 keluarga atau lebih kurang 70 jiwa. Mereka sudah tidak lagi hidup nomaden, tetapi tinggal di rumah panggung bantuan pemerintah.
Hampir semua penduduk di sana buta huruf. Kesedihan juga kegusaran timbul dalam hati dan mulai mengganggu Densy. Dalam diam ia terus menggugat, laut mereka sungguh kaya, tetapi mengapa suku Laut hidup sangat miskin.
Tanpa pikir panjang, ia lalu menawarkan diri kepada para ibu di Selat Konky untuk mengajari baca dan tulis. Ia percaya aksara itu bak sampan, sarana pertama yang dibutuhkan orang Laut untuk mengarungi samudra pengetahuan.
Tawaran itu sempat diragukan orang Laut. Mereka sulit percaya Densy yang tinggal di pusat Kabupaten Lingga, yakni Daik, bisa menepati janji untuk sering datang ke Selat Konky. ”Saya betul-betul mau, dengan catatan kalian harus jemput karena saya enggak bisa bawa sampan,” ucapnya menjawab keraguan.
Dibantu Kepala Desa Penaah, pada 21 Juni 2014, Densy merintis taman buta aksara di Selat Konky. Lima hari dalam seminggu, ia menepati janjinya rutin datang untuk mengajar orang Laut.
Di sana, Densy menemukan rumah dan keluarga kedua. Maisarah, gadis kecil yang dulu mengintip dari balik pohon, dia angkat menjadi anak asuh. Sejak itu pula, orang Laut menganggapnya sebagai ibu dan memanggilnya bunda.
Cerita soal Densy mulai tersebar lewat mulut ke mulut dari satu kelompok ke kelompok lain. Ia terkejut mengetahui ternyata ada 32 titik perkampungan suku Laut di Lingga. Yang lebih mengejutkan lagi, suku Laut di pulau-pulau lain ternyata hidup dalam kondisi serupa, miskin dan terpinggirkan.
Pada masa Orde Baru, pemerintah melalui Departemen Sosial pernah berupaya mengubah cara hidup suku Laut di Kepri. Pemerintah membangunkan rumah di darat bagi orang Laut agar mereka bisa menyesuaikan diri dengan standar kehidupan modern.
Namun, hal itu tidak berhasil membuat orang Laut bisa hidup beradab seturut selera pemerintah. Orang Laut yang dipaksa ”mendarat” oleh pemerintah kini justru hidup sangat miskin. Selain itu, mereka juga kesulitan hidup berdampingan dengan kelompok masyarakat lain yang telah lebih dulu menata hidup di darat.
Densy merasakan betul betapa sulitnya meyakinkan orang Melayu di Pulau Penaah untuk merelakan anak mereka belajar di bawah atap yang sama dengan anak suku Laut. ”Waktu itu enggak ada titik temu, sampai saya mengancam akan mundur,” ucapnya.
Di Kepri dan sekitarnya, orang Laut dianggap sebagai komunitas yang terpisah dari suku Melayu yang hidup di darat. Orang Melayu melihat suku Laut sebagai kelompok tidak berbudaya yang makan babi dan tinggal di perahu bersama anjing.
Sejarawan maritim Universitas Indonesia, Adrian B Lapian, dalam buku Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, berpendapat, tidak jarang penyebutan Orang Laut mengandung arti yang cenderung merendahkan, seperti orang kota melihat orang kampung.
Orang Laut sering dianggap sebagai orang liar yang tidak berbudaya dan kotor. Mereka juga dianggap jahat karena percaya dukun dan kekuatan magis. Padahal, menurut Adrian, kemampuan menyembuhkan orang sakit dengan metode tradisional itu didapat dari cara hidup yang akrab dengan alam.
Awalnya, suami dan kedua anak Densy juga percaya pada stigma serupa. Namun, dengan sabar, ia berulang kali mengingatkan mereka bahwa manusia terlahir sama. Suku, agama, ataupun ras tidak membuat yang satu lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain.
”Anak-anak beberapa kali saya ajak supaya melihat dan merasakan sendiri berjumpa dengan suku Laut. Suku Laut tidak seperti yang sering dikatakan orang, mereka itu sangat ramah dan terbuka,” ujarnya.
Setelah mendapat dukungan keluarga, semangat dan keberanian Densy berlipat ganda. Berawal dari Pulau Penaah, Densy lalu merintis taman baca dan rumah belajar di empat perkampungan suku Laut lainnya. Pada Februari 2018, seorang sahabat di Batam memberi bantuan dana untuk mendirikan Yayasan Kajang.Belakangan, ia juga sering terlibat diskusi dengan peneliti suku Laut dari dalam dan luar negeri. Perjumpaan dengan kaum cerdik pandai itu melahirkan kesadaran baru. Suku Laut hidup miskin dan terpinggir karena mengalami kekerasan struktural, hukum di Indonesia tidak berpihak kepada mereka.
Wilayah hidup orang Laut kini semakin terancam oleh aktivitas pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Densy ingin pemerintah segera menetapkan suku Laut sebagai masyarakat hukum adat (MHA). Wilayah adat suku Laut harus diakui agar mereka bisa menentukan pilihan terbaik dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki.
Persoalannya, untuk ditetapkan menjadi MHA, sekelompok orang harus dapat menunjukkan ikatan asal leluhur, hubungan kuat dengan tanah, pranata pemerintahan, dan tatanan hukum. Sementara Orang Laut sebagai suku nomaden tidak memiliki hubungan kuat dengan suatu teritori tanah yang tetap.
Densy berpendapat, perjuangan mendapat pengakuan dari pemerintah pusat bisa dimulai dulu dari level daerah. Pemerintah Kabupaten Lingga seharusnya bisa mengadopsi peraturan lokal untuk menghasilkan pengakuan tertulis agar Orang Laut mendapat hak untuk diprioritaskan.
”Prinsip saya, bekerja dari yang ada dan yang bisa dulu. Saya sudah berjanji kepada diri sendiri enggak akan meninggalkan suku Laut sebelum mereka mendapat pengakuan tertulis dari pemerintah,” ucapnya dengan lirih.
Densy Fluzianti
Lahir: Bengkulu, 21 Juni 1974
Suami: Afandi (54)
Anak: Muhammad Fahmi Pajar (25); Muhammad Aldiaz (11)