Pretty Sihite, Calon Ratu Maraton Indonesia
Pretty Sihite baru pertama kali mengikuti lomba lari maraton. Hebatnya, dia langsung menjadi juara di ajang bergengsi Borobudur Marathon 2020. Apa rahasianya?
Indonesia tampaknya tidak akan kehabisan pelari jarak jauh putri ketika era Triyaningsih (32) dan Odekta Elvina Naibaho (29) berakhir. Pelari muda asal Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Pretty Sihite (23), siap meneruskan tongkat estafet tersebut. Dengan bakat besarnya, Pretty bisa menjadi ratu maraton Indonesia di masa depan.
Setelah melewati garis finis, Pretty menutup wajah dengan kedua tangan. Tak lama, dia mencium bumi. Air mata dan suara tangis haru pecah di atas karpet merah lintasan lomba. Dirinya seolah tak percaya bisa memenangi lomba maraton putri Borobudur Marathon 2020 yang menjadi perlombaan maraton pertama sejak menjadi pelari pada 2010.
Lebih-lebih, Pretty berhasil menaklukkan pelari senior Irma Handayani (30) yang menduduki peringkat kedua dalam kejuaraan kali ini. Dia finis pertama dengan waktu 3 jam 11 menit 51 detik, sedangkan Irma finis kedua dengan waktu 3 jam 12 menit 33 detik.
Catatan waktu itu melebihi ekspektasinya yang tadinya menarget 3 jam 20 menit dan melewati batas PON Papua 3 jam 15 menit. ”Itu adalah tangis rasa syukur. Ternyata, hasil latihan saya selama ini tidak sia-sia, setidaknya saya bisa finis dan juara itu adalah bonus,” ujarnya saat diwawancarai seusai lomba di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (15/11/2020).
Pencapaian ini melanjutkan prestasi tak terduganya sewaktu meraih emas lari 5.000 meter Kejuaraan Nasional Atletik 2019 di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Dalam ajang itu, ia mengalahkan ratu lari jarak jauh Indonesia, Triyaningsih, di urutan ketiga dan Odekta di urutan kedua.
Bukan pelari maraton
Pretty sejatinya atlet spesialis lari 1.500 meter, 5.000 meter, 10.000 meter, dan halang rintang 3.000 meter. Namun, dalam benaknya, ia ingin mencoba menjadi pelari maraton. Itu dia rintis dengan membeli sepatu khusus lari jarak jauh merek luar negeri seharga Rp 3,5 juta pada 2018.
Kemudian, dia mencoba lomba setengah maraton. Hasilnya tak mengecewakan, antara lain juara setengah maraton Bali Marathon 2019. ”Saya ingin coba semua nomor lari jarak jauh supaya paham semua karakternya. Apalagi saya bercita-cita menjadi pelatih. Kalau tidak tahu soal maraton, nanti saya tidak bisa menjelaskan kepada anak didik,” ujar mahasiswa S-2 Jurusan Pendidikan Olahraga, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat, tersebut.
Sayangnya, niat itu belum terwujud dalam waktu dekat karena dia mesti mencurahkan fokus ke latihan nomor spesialisnya, antara lain persiapan Asian Games Jakarta-Palembang 2018 dan SEA Games Filipina 2019. Sepatu yang telah dibeli pun lebih banyak dipakai untuk jalan-jalan.
”Waktu itu saya belum sempat untuk terjun ke maraton. Sebab, saya harus konsentrasi menyiapkan diri di nomor spesialis, terutama halang rintang 3.000 meter,” kata Pretty yang berhasil meraih perunggu halang rintang 3.000 meter SEA Games 2019 kemarin.
Dipicu pandemi
Mimpi Pretty merasakan lomba maraton akhirnya terwujud kala pandemi Covid-19. Karena terjadi wabah, semua perlombaan nasional dan internasional nomor spesialisnya ditunda, bahkan dibatalkan. Hari-harinya menjadi hanya diisi latihan ringan hingga sedang guna menjaga kebugaran di kawasan Pangalengan, Jawa Barat.
Dua bulan lalu, panitia Borobudur Marathon 2020 mengundangnya tampil di perlombaan maraton putri ajang tahunan tersebut. Karena tidak ada jadwal khusus menghadapi lomba nomor spesialisnya, pelari kelahiran Desa Pangaribuan, Tapanuli Tengah, itu tak pikir panjang dan mengambil kesempatan tersebut.
Antusias ditunjukkannya dengan meminta program khusus kepada pelatih tak lama dari undangan tersebut. Dengan waktu singkat, dia digembleng program maraton oleh pelatih Wita Witarsa di Pangalengan. Dirinya berlatih pagi-sore dengan jarak latihan mencapai 26-28 kilometer per sesi Senin-Jumat dan hanya pagi untuk Sabtu-Minggu.
Pretty mengakui latihan itu cukup berat. Sebab, sebelumnya, jarak lari yang pernah dilakukannya paling jauh 20 kilometer per sesi. Akan tetapi, dia tidak pernah mengeluh karena memang sudah berkomitmen ingin mencoba lomba maraton. ”Ternyata, tidak mudah menjadi pelari maraton. Latihannya sangat keras, lebih-lebih untuk menjadi juara,” tutur pelari bertinggi 149 sentimeter tersebut.
Memulai sejarah
Walau tak menjadi unggulan, Pretty tetap melangkah pasti menuju lintasan lomba Borobudur Marathon 2020. Sejarah karier maratonnya dimulai dari jalanan yang mengelilingi candi Buddha terbesar di dunia, Minggu pagi. Bahkan, dirinya memulai karier maratonnya benar-benar dari nol.
Karena tidak memiliki catatan waktu maraton, Pretty memulai start dari baris terakhir perlombaan yang diikuti sembilan pelari putri tersebut. Dari awal hingga pertengahan lomba yang memutari candi sebanyak 12 kali itu, dia terlihat tidak menonjol. Dirinya lebih banyak berada di baris tengah dan sempat jauh tertinggal dari pelari terdepan, Juni Ramayani (28).
Walakin, dengan penuh kesabaran, Pretty tetap mempertahankan ritme kecepatan yang seolah tidak memedulikan persaingan dengan pelari lain. Konsistensinya membuahkan hasil. Pelan tapi pasti, dirinya justru merangsek ke garis depan seiring dengan bertumbangannya para pesaing yang mengalami cedera dan kehabisan energi jelang akhir lomba.
Puncaknya, di putaran kesembilan, Pretty sudah berada di baris terdepan dan bersaing ketat dengan Irma yang sudah kawakan menjuarai perlombaan maraton. Mereka terus saling tempel hingga satu putaran sebelum finis. Namun, sekitar 500 meter sebelum garis akhir, Pretty seolah punya bensin cadangan untuk tancap gas meninggalkan Irma dan akhirnya menjadi juara.
Itu prestasi cukup fenomenal. Selain menjadi juara maraton dalam kesempatan perdananya ikut ajang lari berjarak 42,195 kilometer tersebut, Pretty juga menyiapkan diri dalam waktu relatif singkat. Biasaya, persiapan atlet maraton untuk ikut lomba paling singkat sekitar enam bulan.
”Kunci keberhasilan saya adalah sabar. Saya tidak ingin terpancing bersaing dengan pelari lain yang sudah melaju kencang sejak awal lomba. Saya sadar diri, saya tidak berpengalaman di maraton. Tapi, karena sabar, saya ternyata bisa menjaga kondisi tidak sampai cedera dan menuntaskan lomba dengan finis pertama,” jelasnya.
Terus bersabar
Sabar sudah menjadi filosofi hidup Pretty sejak pertama kali mengenal olahraga lari. Dengan kesabaran, karier dia bisa merangkak dari atlet tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Awal mula dirinya mengenal olahraga lari saat kelas I SMA pada 2010. Waktu itu, dirinya mendapat uang saku Rp 20.000 setiap selesai latihan.
Setelah itu, Pretty terus memotivasi diri untuk berlatih lebih keras. Hasilnya, dia menjadi juara halang rintang 3.000 meter Kejuaraan Nasional 2015 di Jakarta dan terpilih sebagai wakil Indonesia dalam Asian Cross Country Championship di Bahrain 2015. Sejak itu, kariernya terus menanjak mulai dari wakil Sumatera Utara pada PON Jawa Barat 2016 dan membela Indonesia di Asia Games 2018 dan SEA Games 2019.
Bapak pernah bilang saya gila karena memilih menjadi pelari. Berulang kali, bapak melarang saya meneruskan latihan lari.
Tak hanya bersabar dalam merintis karier, Pretty juga bersabar dalam menyakinkan orangtua untuk mendukung pilihnya menjadi atlet lari. Sejak pertama menjadi atlet, ayahnya, Jairon Sihite, tidak pernah mendukung dan meminta dirinya berhenti latihan. ”Bapak pernah bilang saya gila karena memilih menjadi pelari. Berulang kali, bapak melarang saya meneruskan latihan lari,” ujarnya.
Dengan sembunyi-sembunyi dari orangtua, Pretty tetap meneruskan latihan. Bahkan, dia selalu berahasia dari orangtua ketika ikut lomba. Dirinya baru berani mengabarkan kepada orangtua ketika akan mengikuti PON 2016 dan mengajak orangtuanya menyaksikan penampilanya secara langsung di Bandung, Jawa Barat.
Dari itu, kedua orangtuanya baru terbuka hati mendukung pilihan anaknya. Mereka sangat bangga tatkala anak kedua dari lima anaknya itu berhasil meraih perak di lari 1.500 meter dan perunggu halang rintang 3.000 meter di PON ke-19 tersebut. ”Setelah PON 2016, bapak berbalik sangat mendukung saya. Sekarang, dia selalu kasih semangat sebelum lomba dan langsung menanyakan kabar setelah lomba,” kata Pretty.
Kesabaran pula yang akan dipraktikkannya sebelum terjun penuh di nomor maraton. Kendati sudah membuktikan diri mampu menjadi juara di Borobudur Marathon 2020, Pretty tidak ingin jemawa dan lekas mengambil keputusan pindah haluan ke nomor tersebut.
Dia coba menahan diri untuk tetap fokus di nomor spesialisnya hingga sudah tak mampu lagi berprestasi di sana. Apalagi, dalam maraton, semakin matang usia dan fisik atlet justru semakin cocok tubuhnya untuk berkiprah di nomor tersebut.
”Saya tidak ingin buru-buru. Lebih-lebih, saya tidak ingin hanya berprestasi di level nasional, tetapi di level internasional pula. Untuk mencapai itu, saya butuh persiapan lebih panjang dan matang. Mungkin, beberapa tahun lagi, saya baru berani benar-benar fokus ke maraton,” pungkasnya.
Pretty Sihite
Lahir: Desa Pangaribuan, Kecamatan Andamdewi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 21 Desember 1996
Tinggi: 149 cm
Orangtua:
- Jairon Sihite (ayah)
- Riati Panjaitan (ibu)
Pendidikan:
- S-1 Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, Universitas Negeri Medan (2013-2017)
- S-2 Jurusan Pendidikan Olahraga, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat (semester pertama)
Prestasi:
- Perak lari 1.500 meter PON Jawa Barat 2016
- Perunggu halang rintang 3.000 meter PON Jawa Barat 2016
- Perunggu halang rintang 3.000 meter SEA Games Filipina 2019
- Juara Borobudur Marathon 2020