Letkol Laut (K) Muhammad Arifin, Pantang Pulang Sebelum Korona Tumbang
Pantang pulang sebelum korona tumbang. Inilah semboyan yang dipegang Letkol Laut (K) Muhammad Arifin selama menjadi Komandan Lapangan RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran.
Nama Letkol Laut (K) drg Muhammad Arifin kerap terdengar di lorong-lorong hingga ruangan para pasien RS Darurat Covid-19 atau RSDC Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta. Pasalnya, Komandan Batalyon Kesehatan 1 Korps Marinir ini menjadi komandan lapangan di rumah sakit itu. Ia lebih dikenal dengan sebutan Komandan Kobra.
Arifin memilih sendiri nama kobra bagi tim kesehatan di Wisma Atlet. Menurut dia, kobra merujuk pada gambar ular di lambang kesehatan universal yang berarti pengobatan dan penyembuhan. Harapannya, tim bisa menyembuhkan para pasien yang terkena Covid-19.
Sebutan kobra ini juga sebagai simbol untuk memberikan semangat karena kobra adalah ular yang gesit, pandangannya tajam, dan gerakannya cepat. ”Di sini enggak ada yang lambat. Semua harus cepat. Terima pasien, atasi keluhan, semua harus cepat,” katanya.
Arifin membuat berbagai semboyan untuk jadi penyemangat. Alasannya, tim yang terdiri dari sukarelawan, sipil, dan militer itu memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Mereka harus dibangun untuk punya semangat sebagai satu tim. Semangat itu lantas mesti ditularkan kepada para pasien. Ia yakin, semangat yang tinggi akan meningkatkan imunitas.
”Jadi, semangat itu harus kita tularkan. Makanya, saya bikin semboyan di mana-mana di Wisma Atlet, pantang pulang sebelum korona tumbang,” katanya, Kamis (29/10/2020).
Arifin terus berada di garis depan, mulai dari kedatangan 245 warga negara Indonesia dari Wuhan, China, di Natuna awal Februari 2020 lalu. Ia juga bertugas ketika kru kapal pesiar World Dream diobservasi di KRI dr Suharso yang berlayar tidak jauh dari Pulau Bintan.
Jejak Arifin hadir juga di Pulau Sebaru Kecil, Kepulauan Seribu, saat 69 kru kapal Diamond Princess dikarantina. Tidak heran, ketika pemerintah mengubah Wisma Atlet Kemayoran menjadi RS Darurat Covid-19, sejak 23 Maret 2020, Arifin diberi kepercayaan untuk menjadi komandan lapangan.
Semangat
HT dan telepon genggamnya tidak pernah berhenti berbunyi. Ia harus segera berpindah dari menara satu ke menara yang lain di kompleks Wisma Atlet. Pasien dan para tenaga kesehatan sering melihat Arifin mondar-mandir di wilayah seluas 10 hektar ini dengan sepeda kuningnya.
Berbulan-bulan menangani Covid-19, Arifin mengatakan, ia tahu bahwa protokol harus ditegakkan, tetapi juga jangan sampai ada ketakutan berlebihan. Awal-awal menangani anak buah kapal yang diisolasi karena diduga terkontaminasi Covid-19, Arifin mengakui, dia takut. Apalagi, saat ia harus menyambut para anak buah kapal Diamond Princess dari Jepang yang saat itu dianggap sangat menularkan virus korona penyebab Covid-19.
Waktu itu, ia mengenakan baju militer untuk mengatasi senjata nuklir, biologis, dan kimia (nubika) yang tertutup dari kepala sampai kaki. ”Saya ya tidak ujug-ujug seperti sekarang ini. Saya manusia juga, terbentuk dari pembuluh darah, bukan kawat,” ucapnya.
Ditanya tentang tugasnya sehari-hari, Arifin bercerita panjang lebar, tugasnya mulai dari komandan yang mengurus rumput, got mampet, layanan konsumen, hingga urusan internal dan eksternal. Beberapa kali ia juga harus menghadapi berita hoaks.
Pasien itu biasanya drop begitu tahu dia positif. Kalau saya bertemu mereka yang baru masuk rumah sakit dengan APD lengkap, apa enggak tambah drop dia.
Ia bahkan kerap jadi psikolog dan terutama motivator bagi para pasien. Ia berusaha untuk bertemu dengan kelompok-kelompok pasien yang masuk ke Wisma Atlet. Dengan sengaja, ia ”hanya” mengenakan masker N95 rangkap dengan masker medis, face shield (pelindung wajah) atau kacamata, dan seragam lapangan TNI. Ia sudah memperkirakan, pertemuan di ruang terbuka dengan komunikasi satu arah.
”Pasien itu biasanya drop begitu tahu dia positif. Kalau saya bertemu mereka yang baru masuk rumah sakit dengan APD lengkap, apa enggak tambah drop dia,” kata Arifin.
Ia berusaha menepis kesan bahwa RSDC Wisma Atlet itu horor. Di Wisma Atlet, pasien bisa merasakan tinggal di apartemen, mendapat makan dan vitamin, serta memperoleh teman-teman baru. Sore hari ada lokasi khusus untuk berfoto. Tiap pagi dan sore, pasien bisa ramai di daerah terbuka antarmenara walau tetap berjarak.
Ia memberlakukan protokol bahwa jalan harus searah serta kelompok yang baru datang jangan bercampur dengan kelompok yang sudah lama agar tidak menularkan. ”Semua disampaikan dengan guyon-guyon dan semangat petarung,” katanya.
Semangat pasien sangat ia jaga. Untuk itu, Arifin harus punya energi menghadapi pasien dan keluarga yang beraneka ragam pikiran dan tindakannya. Ada istri pasien yang terus-menerus mengirimkan pesan singkat, menanyakan kapan suaminya bisa pulang. Maklum, suaminya adalah tulang punggung keluarga. Ibu ini bahkan sempat mengatakan, ia bersedia membayar agar hasil tes usap (swab) suaminya bisa negatif.
”Saya katakan, ’Ibu itu tidak tahu kalau disayang. Kalau suami Ibu masih positif terus nularin Ibu dan anak gimana? Ibu jangan teror suami tiap hari. Malah tambah sakit dia’,” kata Arifin menirukan kalimatnya kepada si ibu.
Arifin mengatakan, menjadi komandan lapangan, ia harus berani berpikir out of the box. Ada ibu yang lain diisolasi di sebuah apartemen mewah menangis saat menelepon Arifin karena ia dipisahkan dengan anaknya yang juga positif, tetapi diisolasi di rumah. Arifin lalu menawarkan isolasi bersama ibu dan anak itu di RSDC Wisma Atlet. Ada juga anak buah kapal yang mengancam agar bisa segera pulang ke keluarganya.
Namun, malah ada yang betah karena situasi RSDC Wisma Atlet yang lebih nyaman dari kontrakannya. Demikian juga pasien napi perempuan yang merasa betah. ”Dia bertanya, ’Saya kalau bisa sampai habis masa tahanan, bisa enggak, Pak?’” kata Arifin menirukan napi itu.
Benteng kerakhir
Arifin mengatakan, RSDC Wisma Atlet hanya bisa berharap agar seluruh masyarakat bersungguh-sungguh menghadapi pandemi Covid-19. Kesehatan diri harus dijaga dan protokol harus dipatuhi. Ia mencontohkan, ketikapembatasan sosial berskala besar (PSBB) diberlakukan, okupansi RSDC Wisma Atlet di bawah 50 persen. ”Kami hanya bisa terima, semakin banyak yang enggak ikut protokol, semakin banyak yang masuk ke sini,” katanya.
Saat disuruh istirahat satu bulan, Arifin malah bersedih. Pasalnya, ia harus mengingkari semboyannya sendiri, pantang pulang sebelum korona tumbang. Akan tetapi, ia sadar, istirahat penting untuk dia bisa bekerja lebih baik lagi.
Beberapa orang mengatakan, memang dibutuhkan orang-orang ”gila” seperti Arifin untuk bisa menangani RSDC. Namun, baginya, ungkapan itu disampaikan orang yang tidak mengerti hatinya. ”Hidup sekali, harus memberi manfaat. Saya senang di sini. Karena di sini saya bisa memberi manfaat untuk orang lain,” pungkasnya.
Letkol Laut (K) drg Muhammad Arifin
Lahir: Karanganyar, 22 Agustus 1975
Istri: drg Tri Haryani
Anak:
- Ragheb Raidul Islam Annadif
- Kalyca Calleuella Sakhi Talitha
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Surabaya (1997)
- S-2 Spesialis Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, Bandung (2015)
Penugasan:
- Satgas Operasi Disaster Victim Indentification (DVI) Sukhoi Air Crash 2012
- Satgas Operasi DVI AirAsia Crash 2015
- Satgas Operasi DVI Pabrik Kembang Api 2017
- Satgas Operasi DVI Lion Air Crash 2018
- Satgas Observasi Covid-19 Natuna, Pulau Sebaru, Wisma Atlet Kemayoran