Hamilton dan Perjalanan Waktu Sang Juara F1
Lewis Hamilton seperti melakukan perjalanan waktu dalam lap terakhir balapan Formula 1 di Istanbul Park, Turki, akhir pekan lalu. Perjalanan kariernya sejak berlatih gokar pada usia lima tahun berkelebat dalam benaknya.
Lewis Hamilton seperti melakukan perjalanan waktu dalam lap terakhir balapan Formula 1 di Istanbul Park, Turki, akhir pekan lalu. Perjalanan kariernya sejak berlatih gokar pada usia lima tahun berkelebat dalam benaknya. Emosinya meledak, hingga tak kuasa menahan air mata di parc ferme, padahal air mata adalah sesuatu yang berusaha keras dia hindari saat merayakan kemenangan.
Namun, momen di Istanbul Park itu terlalu istimewa. Setiap kali roda tergelincir di trek yang selicin permukaan es itu, Hamilton mengingat jalan panjang dan berliku untuk menjadi pebalap Formula 1. Pebalap Inggris itu juga mengingat betapa ayahnya, Anthony, sangat sabar dan berkorban banyak demi mewujudkan mimpi yang seolah mustahil itu. Kenangan perjuangan bersama ayahnya itu telah melintas beberapa hari sebelum balapan seri Turki bergulir, 13-15 November 2020.
“Kami mengawali tanpa apa-apa, dia memiliki empat pekerjaan supaya saya tetap bisa balapan pada suatu waktu, dan saya tidur di sofa. Kami bermimpi melakukan sesuatu, sesuatu yang sangat jauh dari jangkauan kami, menjadi pebalap F1,” kenang Hamilton di laman personalnya.
“Bagi keluarga yang tidak punya uang, kami mungkin terlihat dan terdengar gila. Orang-orang akan menertawakan kami, meremehkan, mengolok-olok kami, tetapi kami tetap fokus pada usaha kami. Kami berjuang dengan aksi di lintasan balap. Mereka yang dulu menilai kami, saya bertanya-tanya apakah mereka memandang kami dengan kebencian dan kemarahan karena kami membuktikan mereka salah atau mungkin mereka telah dewasa dan berpikir "baik untuk mereka". Saya lebih senang yang terakhir,” tulis Hamilton.
“Tetapi kami melakukan itu sebagai sebuah keluarga dan kami tidak pernah menyerah. Jadi, jika Anda yang berada di luar sana bertanya-tanya, meragukan diri sendiri, jangan!! Jangan menyerah, terus berusaha, terus bermimpi dan wujudkan mimpi itu menjadi kenyataan. Anda bisa melakukan apapun yang anda tempatkan dalam pikiran, saya percaya pada Anda dan seharusnya demikian juga Anda,” tegas Hamilton.
Kekuatan pikiran itulah yang membuat Hamilton bisa mengunci gelar ketujuh juara Formula 1 di Turki. Balapan ini sangat beresiko, dan Hamilton kehilangan keunggulan pada mobil Mercedes W11, di trek yang sangat licin itu. Mobil tercepat musim 2020 itu menjadi sangat sulit dikendalikan di Turki, itu dibuktikan dengan apa yang dialami oleh rekan setim Hamilton, Valtteri Bottas, yang mobilnya melintir enam kali saat balapan.
Hamilton yang start dari posisi ketujuh, dan sempat tertinggal hingga 24 detik dari pemimpin balapan Lance Stroll. Namun, dia bersabar menunggu momen yang tepat dari posisi keenam di belakang Stroll, Sergio Perez, Max Verstappen, Alexander Albon, dan Sebastian Vettel. Pengalaman membalap di berbagai kondisi sejak debut 2007 bersama McLaren, membuat Hamilton mampu mengendalikan “nafsu” finis terdepan.
Kami memimpikan ini ketika saya anak-anak, ketika kami menyaksikan Grand Prix, dan ini sangat jauh melampaui mimpi kami
Kematangan itu yang tidak dimiliki oleh para pebalap muda, seperti Verstappen dan Albon, yang gagal naik podium karena mobilnya melintir karena terlalu bernafsu mendahului Perez. Momen itu, ditambah keputusan Vettel dan Stroll masuk pit untuk mengganti ban, mengantar Hamilton naik ke posisi dua di belakang Perez. Hamilton pun memimpin balapan sejak lap 37 hingga finis di putaran ke-58.
Hamilton meraih kemenangan pada balapan yang seolah tidak bisa dia menangi. Salah satu balapan terbaik Hamilton ini mengantar dia meraih gelar ketujuh juara F1 dengan brilian. Hamilton menyamai rekor juara terbanyak milik Michael Schumacher yang bertahan selama 16 tahun. Sebelumnya Hamilton juga menyamai rekor 91 kemenangan Schumacher, yang kini telah dia lampaui dengan meraih kemenangan ke-94 di Turki.
“Kami memimpikan ini ketika saya anak-anak, ketika kami menyaksikan Grand Prix, dan ini sangat jauh melampaui mimpi kami,” tegas pebalap berusia 35 tahun itu.
Hamilton merintis karier balapnya dengan mulai berlatih gokar pada usia lima tahun. Dia kemudian bersaing dalam kejuaraan gokar pada usia delapan hingga 12 tahun. Balapan adalah sumber kegembiraan bagi Hamilton kecil, karena bisa bepergian ke berbagai kota, bertemu banyak orang dengan latar belakang beragam, dan waktu berkualitas bersama keluarga yang selalu menemani. Dia selalu ingat menyanyikan lagu “We Are The Champions” bersama ayahnya di mobil.
Namun, tekanan semakin besar seiring dia naik kelas kejuaraan yang persaingannya lebih ketat. Semua diawali dari gelar juara British Cadet Kart Championship pada 1995 di usia 10 tahun. Kejuaraan pun menjadi lebih serius, meskipun tetap menyenangkan. Hamilton terus bersinar, tahun berikutnya dia memenangi Kejuaraan Kadet McLaren Mercedes of the Future Series. Pada 1997, dia naik kelas lagi ke kelas junior dan langsung menjuarai Kejuaraan Yunior Yamaha McLaren Mercedes of The Future Series, juga British Super One saat menyisakan satu seri balapan.
Pada 1998, Hamilton mendapatkan tiket penting menuju Formula 1 dengan masuk McLaren Mercedes Young Driver Support Programme. Dia pun menjalani debut balapan di level Eropa saat membalap di Belgia. Dia kemudian bertemu dengan Nico Rosberg, kelak menjadi rekan setimnya di Mercedes F1, pada sebuah balapan di Parma, Italia.
Mereka kemudian berada satu tim di bawah bimbingan ayah Rosberg, Keke. Pada 2001 mereka naik ke kelas tertinggi gokar, Formula Super A. Persaingan kelas ini lebih ketat, dan Hamilton kesulitan meraih hasil yang bagus. Namun, dia tetap mendapat kesempatan menjalani tes di kelas Formula Renault bersama Manor Motorsport. Balapan pertama Hamilton di Formula Renault dijalani di Donington Park pada November 2001. Dia merasakan atmosfer yang berbeda pada balapan dengan mobil balap berkursi tunggal yang lebih "galak". Saat start dia pun langsung didahului mobil-mobil lain.
“Di gokar saya raja, tetapi sekarang di kursi tunggal saya kembali ke awal,” ujarnya dalam buku autobiografi Lewis Hamilton: My Story (2007).
Perubahan besar terjadi di balapan Formula, karena dia tidak bisa lagi bersantai dan bermain setelah balapan. Hamilton memasuki dunia baru, di mana dia harus ikut menganalisis data bersama tim mekanik dan pelatihnya. Data yang sangat detail dan perencanaan strategi balapan adalah sesuatu yang asing bagi pebalap gokar.
Pada 2002, pada musim penuhnya di Formula Renault, Hamilton merasakan tekanan yang berat, hingga dia sulit mengikuti pelajaran di sekolah. “Sesungguhnya, ada satu titik di mana saya bertanya pada diri saya sendiri, ‘Apakah saya akan bisa melakukan ini?’ Saya ingat duduk bersama ayah saya di dalam mobil, memberitahu dia bahwa saya ingin berhenti. Ayah saya sangat emosional terkait balapan saya, dan dia merasa kesal, dia hanya mengatakan, ‘Yeah, oke, kita akan berhenti.’ Dia tidak bersungguh-sungguh, tetapi saya meragukan diri saya, tidak merasakan bahwa sayalah orang untuk itu,” kenang Hamilton.
“Tetapi keadaan berubah, dari titik rendah dalam hidup saya itu, saya menyatukan diri saya, memenangi beberapa balapan dan kemudian finis ketiga dalam tahun penuh pertama saya di Formula Renault,” ujar Hamilton. Dia menemukan klik pada 2003 dan memenangi 10 balapan dari 15 seri, dua kali finis kedua dan sekali finis ketiga. Tahun itu dia juara dengan dua sisa balapan.
Kenangan itu melintas dalam benak Hamilton pada lap terakhir di Turki akhir pekan lalu. Itulah mengapa dia menangis di akhir balapan, karena tak pernah menyangka bisa segemilang saat ini, bahkan menyamai rekor juara Schumacher yang sempat dinilai mustahil disamai atau dipecahkan oleh pebalap lain.
Saya ingin mendorong agar kami akuntabel sebagai olahraga.... Kami harus menghadapi dan tidak mengabaikan masalah hak asasi manusia yang ada di negara-negara tempat kami pergi (balapan)
Hamilton telah menjadi sosok besar di dunia olahraga berkat komitmennya menekuni karier balap. Dia pun memiliki suara yang berpengaruh, kritiknya bisa mengubah kebijakan di dunia F1, dan bergema hingga keluar. Salah satu suara lantang Hamilton adalah dengan menyuarakan kesetaraan menyusul kasus rasisme di Amerika Serikat. Dia membuat keluarga F1 keluar dari sunyi, di mana para pebalap mulai ikut mengecam rasisme dan mendukung kesetaraan.
Formula 1 pun ikut mendukung gerakan mengakhiri rasisme, dan mengizinkan para pebalap mengawali balapan dengan seremoni antirasisme. Sejumlah pebalap berlutut dan lainnya berdiri dalam hening sebelum balapan. Mercedes pun mengubah warna mobil mereka yang dikenal dengan “Panah Perak” menjadi berwarna hitam yang kemudian disebut “Panah Hitam”.
Hamilton masih ingin bertahan di Formula 1 karena dia masih ingin membantu mengubah dunia menjadi lebih baik dalam konteks kesetaraan manusia. Dia juga ingin mendorong F1 menjadi lebih terbuka bagi semua latar belakang. “Saya merasa masih banyak yang harus dikerjakan di sini. Anda tahu kami baru saja mulai. Saya ingin mendorong agar kami akuntabel sebagai olahraga, untuk menyadari bahwa kami harus menghadapi dan tidak mengabaikan masalah hak asasi manusia yang ada di negara-negara tempat kami pergi (balapan),” tegas Hamilton.
“Saya ingin berusaha dan melihat apakah saya bisa menjadi bagian dari itu, paling tidak dalam fase awal, untuk sedikit lebih lama lagi,” ujar Hamilton.
Pengaruh Hamilton yang melampaui olahraga itu, serta pencapaian bersejarahnya menyamai rekor juara Schumacher, membuat dirinya diusulkan untuk mendapat gelar kebangsawanan Kerajaan Inggris. Usul itu salah satunya disampaikan oleh Motorsport UK melalui surat kepada Perdana Menteri Boris Johnson. Bahkan, akun twitter keluarga Kerajaan Inggris @RoyalFamily menyampaikan selamat kepada Hamilton seusai juara musim ini.
Ketika saya memikirkan penghargaan itu, saya memikirkan orang seperti kakek saya yang mengandikan diri saat perang
Namun, Hamilton merasa, itu bukanlah gelar yang layak bagi dirinya, karena masih banyak “pahlawan tanpa tanda jasa” yang lebih layak. “Ketika saya memikirkan penghargaan itu, saya memikirkan orang seperti kakek saya yang mengabdikan diri saat perang. Saya memikirkan Sir Captain Tom yang mendapat gelar kebangsawanan dan menanti seratus tahun untuk gelar luar biasa itu,” ujarnya.
“Orang-orang yang menjalankan rumah sakit-rumah sakit. Para perawat dan dokter yang menyelamatkan hidup selama masa terberat ini. Saya memikirkan para pahlawan tanpa tanda jasa itu dan saya tidak melihat diri saya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Saya tidak menyelamatkan hidup orang lain. Itu gelar yang luar biasa dan hanya sedikit orang yang dianugerahi itu,” ujar Hamilton yang tetap membumi.
Hamilton ingin menunjukan diri melalui aksi, bukan gelar atau gimik-gimik yang bisa melenakan. Dia selalu terkenang pada petuah ayahnya. “Ayah saya selalu mengatakan kepada saya, sejak saya masih delapan tahun, dia mengatakan ‘berbicaralah di lintasan balap’,” kenang Hamilton.
Itulah mengapa dia masih ingin balapan beberapa tahun lagi. Tetapi, negosiasi kontrak baru Hamilton dan Mercedes tak kunjung selesai. Padahal, kontraknya akan selesai akhir musim ini. Jika musim depan dia masih ada di lintasan balap, rekor-rekor baru masih berpeluang dicetak Hamilton seiring menebar virus pembasmi rasisme.
Lewis Hamilton
Lahir: Stevenage, Inggris, 07/01/1985
Profesi : Pebalap F1
Statistik di Formula 1
· 7 juara (2008, 2014, 2015, 2017, 2018, 2019, 2020)
· 163 podium
· 3738 poin
· 264 balapan
· 94 kali finis terdepan (hingga seri Turki 2020)
· 97 kali posisi start terdepan (hingga seri Turki 2020)
· 53 kali lap tercepat
· 47 kali finis balapan secara beruntun
Karier :
· 1993-2000 Gokar
· 2001-2005 Formula Renault & Formula 3
· 2006 GP2
· 2007-2020 Formula 1