Supriyadi Hasanin (31) membuatkan baju baru untuk tradisi Melayu yang hampir layu. Lewat dendang Melayu yang bikin candu, ia mengemas artefak yang berdebu dengan tampilan baru agar bisa dinikmati secara lebih bebas.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
Di Kepulauan Riau, Supriyadi Hasanin (31) membuatkan baju baru untuk tradisi Melayu yang hampir layu. Lewat dendang Melayu yang bikin candu, ia mengemas artefak budaya yang berdebu dengan tampilan baru agar bisa dinikmati secara lebih bebas dan gembira.
Matahari hampir tenggelam di langit barat, saat seorang laki-laki ceking pelan-pelan menggesek biola di serambi rumahnya yang menghadap ke laut. Musiknya bagai ombak samudra yang sulit diterka. Mengalun pilu di awal, lalu mendadak mengentak bergairah.
Orang Kepri lebih mengenal laki-laki itu dengan nama panggung Adi Lingkepin. Menurut yang punya nama sendiri, Lingkepin adalah kependekan dari Lingga, Kepri, Indonesia. Lingga adalah kampung halaman Adi, gugusan pulau di Kepri bagian selatan. Letaknya sekitar 5 jam perjalanan menggunakan kapal laut dari Ibu Kota Kepri di Tanjung Pinang.
"Dulu, di kampung aku enggak ada listrik. Hiburan kami cuma main bola atau main musik. Di lingkungan yang serba terbatas itulah minat aku untuk bermusik awalnya tumbuh," kata Adi saat ditemui di rumahnya, Kota Tanjung Pinang, Kepri, Sabtu (5/12/2020).
Perjalanan musik Adi dimulai saat ia kelas V SD ketika ia bergabung dengan grup musik setengah religi setengah dangdut yang ngetren di kampungnya. Bersama Orkes Melayu itu, ia sering tampil di pesta pernikahan atau acara resmi pemerintah level kabupaten.
Waktu Adi Kelas IX SMP, kakaknya pulang kampung membawa oleh-oleh VCD Kuartet Bond. Ia kagum bukan main menyaksikan empat perempuan bule menggesek alat musik yang mirip gitar, tetapi lebih kecil dan senarnya hanya empat. Suara alat itu sedemikian indah sampai-sampai gitar dan rebana milik Adi tiba-tiba tak lagi tampak menarik.
"Wah, keren kali ini! Alat musik apa itu? Aku sudah cari-cari, kok, tak ada dapat di Lingga," ujarnya polos.
Sejak itu, diam-diam Adi menyimpan cinta yang sangat dalam kepada biola. Ia mencari lagu-lagu yang dimainkan Kuartet Bond untuk kemudian ia mainkan dengan gitar. Namun, tetap tidak pas, malah keinginan Adi punya biola bertambah kuat. Untuk pertama kali, ia merasa jengkel dengan kehidupan di pulau terpencil yang jauh dari kota.
Kesempatan Adi untuk bermain biola baru datang setelah Adi tamat SMA. Saat itu, ia bertemu Hamzah, pemilik sanggar tradisional di Lingga, yang piawai bermain musik Melayu dengan biola serta gambus. "Aku tak berkedip lihat dia main biola," ucap Adi.
Hamzah lalu meminjamkan satu dari dua biolanya kepada Adi. Ia memberi waktu satu bulan kepada Adi untuk belajar memainkan "lagu wajib" Tari Persembahan Melayu. Namun, Adi hanya perlu satu minggu untuk dapat memainkan lagu tersebut dengan lancar.
"Bukan karena aku pandai, tetapi mungkin karena sudah sangat lama memendam keinginan itu. Butuh lebih dari tiga tahun baru ketemu yang namanya biola, bayangkan berapa lamanya aku harus menungggu kesempatan itu," katanya tertawa lepas.
Pada 2009, Adi merantau ke Tanjung Pinang untuk kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji. Di samping kuliah, ia juga bergabung dengan Sanggar Budaya Warisan Pulau Penyengat yang dipimpin seniman kawakan di Kepri, Azmi Mahmud.
"Kalau engkau bisa main lagu Melayu dengan betul, percayalah engkau tak perlu payah kerja lain di sini," kata Adi menirukan ucapan Azmi.
Nasihat itu disampaikan Azmi untuk menentramkan Adi yang sedang risau mencari kerja sampingan untuk membayar uang kuliah. Kata-kata Azmi terbukti benar. Pelan-pelan Adi merasakan buah-buah manis dari ketekunannya berkesenian.
Sejak bergabung dengan Sanggar Budaya Warisan Pulau Penyengat, Adi semakin sering tampil di Kepri. Dari hasil bermain musik mengiringi pertunjukan itu, ia mempunyai pendapatan yang cukup untuk membayar uang kuliah dan mulai belajar hidup mandiri.
Setelah malang-melintang bersama kelompok Pulau Penyengat, Adi kemudian mencoba peruntungan bermain biola solo. Ia menyuntikkan unsur musik modern ke dalam lagu tradisional yang biasa dipakai mengiringi pertunjukan teater tradisional Makyong.
Hasil aransemen berjudul Progressive Makyong itu dengan cepat jadi terkenal di Kepri. Musik Adi mudah akrab di telinga banyak orang karena membawa nostalgia yang penuh kenangan, sekaligus terasa segar karena mengandung kebaruan yang bikin penasaran.
"Sebetulnya hanya kasih baju baru ke budaya tradisional, sedangkan inti pesannya tetap sama. Itu caraku menarik perhatian anak muda. Kalau anak muda sudah suka, pasti bakalan ramai barang itu," kata Adi.
Setelah cukup sukses berkarir solo, Adi membentuk Seniman Muda Seperantauan (Samudra) Ensemble untuk menularkan virus world music di Kepri. Ia mengartikan world music sebagai karya yang lahir dari bumi setempat. Dalam bermusik, Samudra Ensemble melibatkan beragam jenis instrumen tradisional dan modern untuk memainkan lagu etnis.
"Dari alam sekitar inilah musik kami berasal. Untuk ngasih baju baru yang pas ke musik tradisional, orang harus hidup di lingkungan barang itu berasal," ucapnya serius.
Pada 2017, Samudra Ensemble melahirkan album pertama Sedayoung Kepri yang berisi delapan lagu. Salah satu judul, Tanjung Pinang Kampong Kite melejit hingga dikenal sebagai salah satu lagu wajib bagi anak-anak sekolah di kota pelabuhan tua itu.
Sebenarnya, tahun 2002 ini, Adi berencana meluncurkan album kedua. Namun, rencana itu berantakan. Pagebluk mengubah tahun ini menjadi masa terberat dalam tujuh tahun umur Samudra Ensemble. Redupnya sorot lampu panggung dan lenyapnya riuh tepuk tangan penonton adalah sebuah penderitaan hidup yang tiada terkira bagi para anak muda itu.
"Tampil itu kebutuhan utama bagi pegiat seni. Ketika hasrat untuk tampil tidak terpenuhi, maka efeknya bukan hanya soal uang, tetapi juga luka di batin," ujar Adi.
Meski demikian, ia menolak tenggelam dalam keputusasaan. Masa pagebluk ia manfaatkan untuk lebih jauh menggali keragaman budaya Melayu, baik yang lisan maupun tulisan. Ia menyambangi kampung-kampung untuk belajar dari para seniman tradisional. Hari demi hari, matanya semakin terbuka ada begitu banyak hal yang belum ia tahu soal Kepri.
"Hal itu mengingatkanku dengan nama album pertama, Sedayoung Kepri. Sedayung itu kan enggak jauh, cuma sekayuh saja. Yang selama ini kami ceritakan tentang Kepri baru secuil saja, masih banyak hal lain yang menunggu," ucapnya dengan senyum tersungging.
Supriyadi Hasanin
Lahir: Lingga, 16 September 1989
Istri: Lutfhi Efira
Anak: Alfi Zehan Khalifa dan Muhammad Alfarabi Dwi Haqana