Radikalisme Diharapkan Bisa Ditangkal dari Sekolah
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelibatan anak-anak dalam aksi terorisme di Indonesia saat ini mendapatkan kecaman dan keprihatinan dari sejumlah pihak. Paham radikalisme perlu segera ditangkal dari sekolah ataupun lingkungan sekitar agar anak tak terlibat lagi dan menjadi korban aksi teror di kemudian hari.
Pelibatan anak dalam aksi terorisme, seperti yang terjadi di Surabaya, merupakan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Namun, di sejumlah negara di dunia, seperti Vietnam dan Afghanistan, kasus ini kerap terjadi sebagai upaya mengelabui aparat ataupun intelijen negara.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto di Jakarta, Selasa (15/5/2018), mengatakan, kondisi kejiwaan anak-anak yang masih labil dan sangat mudah dimasuki pemahaman radikalisme menjadi alasan para teroris melibatkan anak-anak mereka dalam aksi terornya.
”Pelibatan anak-anak dalam berbagai level aksi teror ini menunjukkan terorisme di Indonesia terus mengalami pergeseran dari tahun ke tahun. Ada tiga modus sistem perekrutan yang dilakukan teroris ini, yaitu melalui perkawinan, indoktrinasi di jejaring media sosial, dan patronase guru,” ujar Susanto.
Menurut Susanto, penyusupan paham radikal lewat peran guru di sekolah ini perlu diwaspadai. Pasalnya, perekrutan teroris melalui peran guru cukup efektif karena anak atau siswa sangat mudah terpengaruh ajaran gurunya dan diyakini bahwa guru merupakan sosok pembawa kebenaran.
Perekrutan teroris melalui guru cukup efektif karena anak atau siswa sangat mudah terpengaruh ajaran gurunya dan diyakini bahwa guru merupakan sosok pembawa kebenaran.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, menyampaikan, banyak faktor yang dapat membuat benih radikalisme berkembang terhadap anak, khususnya siswa sekolah. Faktor tersebut berasal dari lingkungan keluarga, pertemanan, ajaran agama di sekolah, dan sistem pendidikan yang membuat anak didik tidak mampu menyaring informasi yang mereka konsumsi.
”Kami melihat para pelaku teror juga kerap kali berperan sebagai guru di sekolah. Teroris ini selalu punya perhatian lebih kepada anak-anak yang menjadi target sasarannya,” ujar Retno.
Berdasarkan survei dan penelitian yang dilakukan lembaga antiterorisme, kalangan siswa juga sangat rentan terpapar paham radikal.
Survei yang dilakukan Setara Institute terhadap siswa SMA di Jakarta dan Bandung menyatakan, 2,4 persen siswa masuk dalam kategori intoleran aktif dan radikal. Bahkan, 0,3 persen siswa tersebut berpotensi menjadi teroris.
Selain Setara Institute, Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) juga melakukan survei terhadap 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri di sejumlah daerah di Indonesia. Survei yang dirilis pada 2011 ini menunjukkan, 48,9 persen siswa bersedia terlibat aksi kekerasan yang terkait dengan agama dan moral.
Oleh karena itu, KPAI mengimbau adanya kontrol dari masyarakat, lingkungan, dan sekolah. Selain itu, penanganan terhadap anak-anak dan orang dewasa dalam kasus terorisme juga harus dibedakan. Hal ini karena anak merupakan korban dari orangtuanya dan perlu mendapatkan bimbingan, edukasi, serta rehabilitasi. Orangtua atau guru harus memahami cara berbicara kepada anak tentang kejahatan terorisme.
Tidak memublikasikan
Terkait beredarnya foto, gambar, ataupun video dari anak terduga pelaku tersebut, KPAI mengimbau agar masyarakat tidak memublikasikan identitasnya. Hal ini dikarenakan publikasi identitas anak, baik sebagai korban, saksi, maupun pelaku, merupakan sebuah pelanggaran hukum.
Dalam Pasal 19 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.
Pada Pasal 97 juga disebutkan, setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.