Momentum untuk Menata Pesisir Selat Sunda
Ancaman tsunami di pesisir Banten dan Lampung harus diantisipasi. Penataan kawasan pesisir di Selat Sunda tersebut mutlak dilakukan.
LABUAN, KOMPAS - Tsunami yang melanda pesisir Banten dan Lampung pada 22 Desember 2018 menjadi momentum untuk menata kembali kawasan ini. Ancaman tsunami ke depan dinilai masih sangat tinggi, terutama yang dipicu oleh tsunami dari zona megathrust Selat Sunda.
Ancaman tsunami dari Anak Krakatau memang masih ada, namun tidak akan sebesar tsunami yang dipicu gempa megathrust atau pun seperti saat letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Sebelumnya, Gunung Krakatau meletus sekitar tahun 535. Jadi, menurut Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia Gegar Prasetya, butuh 1.400 tahun lagi bagi Anak Krakatau untuk tumbuh seperti saat ibunya (Gunung Krakatau) meletus.
Kajian paleotsunami yang dilakukan Eko Yulianto, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sejak beberapa tahun terakhir menemukan beberapa lapis deposit tsunami yang menunjukkan tsunami pernah berulang di kawasan ini. Tsunami terakhir yang ditemukan sekitar 300 tahun lalu.
“Melihat ancamannya ke depan, kita harus menyiapkan diri lebih baik. Harus ada penataan kawasan wisata, termasuk kawasan industri, juga pelibatan masyarakat dalam pengurangan risiko bencana,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, dalam pertemuan dengan Bupati Pandeglang, Irna Narulita, di Tanjung Lesung, Sabtu (12/1/2019).
Pertemuan juga dihadiri Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kasbani, dan beberapa pakar gempa dan tsunami. Selain menemui pemerintah daerah, dalam kunjungan lapangan ini Doni juga menemui kalangan industri kimia di Chandra Asri, Cilegon yang berada di zona rawan tsunami.
Doni mengharapkan, peran tokoh masyarakat, khususnya ulama di daerah Banten, untuk turut melakukan edukasi kebencanaan. “Ada beberapa hal yang bisa dilakukan dan disampaikan. Misalnya, kalau ada buoy tsunami jangan diambil. Ini mata dan telinga kita. Seperti pos tinjau dalam mekanisme pertempuran. Ini obyek vital nasional kita,” kata dia.
Bangunan evakuasi
Dalam pertemuan tersebut, Irna menanyakan mengenai penyebab tsunami yang lalu dan ancamannya ke depan. “Sampai sekarang BMKG masih menyatakan masyarakat waspada tsunami, sementara Badan Geologi menyatakan sudah aman. Penyebabnya juga masih beda,” kata Irna.
Irna juga mengeluhkan keberadaan tsunami shelter atau bangunan evakuasi tsunami yang telah dibangun di Labuhan, namun kondisinya tak terawat dan bermasalah karena dikorupsi. Dalam tsunami 22 Desember lalu, bangunan tersebut tak terpakai.
“Bangunan evakuasi ini juga tidak akan cukup. Ada dua kecamatan di tepi pantai yang landai dan jumlah penduduknya 35.000 jiwa. Kami memang akan melakukan revisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), namun untuk relokasi masyarakat di pesisir akan sangat sulit karena mereka sudah bergenerasi tinggal di sana. Jadi butuh lebih banyak bukit-bukit buatan dan tsunami shelter,” kata Irna.
Kami memang akan melakukan revisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), namun untuk relokasi masyarakat di pesisir akan sangat sulit karena mereka sudah bergenerasi tinggal di sana.
Peneliti tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Abdul Muhari mengatakan, dari survei yang dilakukannya terdapat beberapa kawasan permukiman yang selamat dari tsunami kali ini karena terlindung tanaman pesisir yang rapat.
“Vegetasi pantai cukup efektif untuk mengurangi energi tsunami seperti yang terjadi kemarin (22 Desember). Namun untuk tsunami besar seperti Aceh memang kurang efektif,” kata dia.
Mitigasi ke depan
Eko Yulianto mengatakan, berdasarkan kajian paleotsunami yang dilakukannya, ancaman tsunami di Selat Sunda yang harus diwaspadai ke depan terutama dari zona megathrust Selat Sunda. Hal senada dikatakan Gegar Prasetya mengatakan, ancaman tsunami dari Anak Krakatau masih ada, namun tidak akan sebesar tsunami yang dipicu gempa megathrust atau pun seperti saat letusan tahun 1883.
“Ke depan untuk tsunami dari Anak Krakatau lebih mudah dimitigasi karena sumbernya jelas dan ada prosesnya bisa dipantau, lebih sulit (tsunami akibat) gempa karena kita tidak tahu mana yang akan patah dan kapan,” kata Gegar.
Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Wisnu Widjaja mengatakan, risiko tsunami di kawasan Selat Sunda ini bisa dikelola. Untuk kawasan wisata, misalnya dengan menempatkan kamar-kamar hotel di lantai dua. “Di Padang ini sudah ada perdanya. Selain itu kesipsiagaan harus rutin, termasuk mengenali jalur evakuasinya ke mana,” kata dia.
Dwikorita mencontohkan adanya praktik baik pengelolaan wisata di daerah wisata. “Pengelola hotel di Bali bisa menjadi contoh, telah menyiapkan logistik dan melatih kesiapsiagaan terhadap risiko tsunami,” kata dia.
Sedangkan untuk pemantauan tsunami, Dwikorita mengatakan, BMKG telah memasang beberapa alat pantau di sejumlah titik di Selat Sunda, guna memantau aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut. Diantaranya di Pulau Sibesi, Ujung Kulon, Labuan, serta Pulau Sibesi. Selain itu juga akan dipasang di Pulau Panaitan.
Untuk pemantauan tsunami, BMKG telah memasang beberapa alat pantau di sejumlah titik di Selat Sunda, guna memantau aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut.
“Namun seringkali transmisi data terganggu. Di Pulau Sebesi sempat mati sehari. Karena itu kami mengharapkan ada pembangunan BTS (Base Transceiver Station) khusus di sekitar GAK (Gunung Anak Krakatau) dan Ujung Kulon,” kata dia.
Dwikorita menambahkan, untuk mendeteksi tsunami seawal mungkin juga masih dibutuhkan alat pemantau di laut. “Kita masih butuh buoy tsunami juga,” kata dia.
Baca juga: Pekerja Pariwisata Hidupkan Kembali Wisata Pantai di Anyer