Belum Ada Satu Pun Anggota DPRD DKI yang Serahkan LHKPN
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum ada satu pun dari 106 anggota DPRD DKI Jakarta yang menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara alias LHKPN untuk posisi harta 2017 kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Padahal, KPK telah memperpanjang masa penyerahan laporan itu dari semula 1 Januari sampai akhir Maret 2018 menjadi 31 Desember 2018. Namun, hingga memasuki Januari 2019 belum ada satu pun LHKPN dari DPRD DKI yang masuk ke KPK.
Kalau tidak melaporkan (LHKPN) tetapi mengaku bersih, jujur, dan antikorupsi, itu artinya omong kosong.
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (15/1/2019), mengatakan, kepatuhan dalam mengumpulkan LHKPN mencerminkan komitmen pejabat publik dalam menjunjung sikap antikorupsi.
”Kalau tidak melaporkan (LHKPN) tetapi mengaku bersih, jujur, dan antikorupsi, itu artinya omong kosong,” ujar Pahala.
Pahala mengatakan, mendorong anggota DPRD untuk patuh menyerahkan LHKPN itu memang masih sulit karena masing-masing anggota bersifat independen. Solusinya, partai politik harus mampu mendorong anggotanya yang duduk di DPRD untuk menyerahkan laporan itu.
Pahala pun mengingatkan agar kepatuhan dalam menyerahkan LHKPN itu dapat menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam memilih wakilnya di legislatif. Apalagi sebentar lagi Pemilu 2019 akan diselenggarakan pada 17 April.
”Kepatuhan menyerahkan LHKPN ini menjadi rekam jejak calon legislatif dalam mendukung sikap antikorupsi. Masyarakat perlu menjadikan ini sebagai referensi dalam menggunakan hak suaranya di pemilu,” katanya.
Saat diminta konfirmasi, beberapa anggota DPRD DKI yang dihubungi tidak memberikan respons. Mereka di antaranya Sekretaris DPRD DKI Muhammad Yuliardi dan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Iman Satria. Iman yang sempat merespons pun tetap enggan memberikan tanggapan.
”Saya tidak bisa berkomentar. Silakan tanyakan ke pimpinan (DPRD DKI),” ucap Iman.
Pengumpulan LHKPN juga menjadi alat kontrol terhadap pejabat publik.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng pun menilai, pengumpulan LHKPN merupakan bentuk membangun sistem integritas dan transparansi pejabat publik. Publikasi harta dan kekayaan penyelenggara negara menjadi salah satu langkah dalam mencegah tindak korupsi.
”Pengumpulan LHKPN juga menjadi alat kontrol terhadap pejabat publik. Kalau ogah-ogahan dalam mengumpulkan LHKPN, anggota DPRD DKI patut dicurigai,” ujar Robert.
Menurut Robert, penyerahan LHKPN tak hanya bisa mengandalkan komitmen masing-masing penyelenggara negara. Jika memang kepatuhan itu masih rendah, sudah semestinya mereka yang tak mematuhinya dapat ditindak secara hukum.
Robert memberikan contoh, Kementerian Dalam Negeri sebagai pembina politik dan pembina umum penyelenggaraan pemerintahan daerah itu seharusnya mampu memberikan sanksi kepada penyelenggara negara yang belum menyerahkan LHKPN. Adapun sanksi yang dijatuhkan dapat berupa penundaan gaji dan fasilitas pejabat sampai akhirnya LHKPN diserahkan.
Untuk jangka panjang, Robert berpendapat, LHKPN seharusnya dirumuskan sebagai instrumen insentif dan disinsentif bagi pejabat publik. Transparansi LHKPN juga dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai referensi pejabat publik yang layak dipilih jika mencalonkan diri lagi sebagai anggota legislatif. (JUD)